Menjadi
kejutan akhir tahun 2015, sebuah buku berjudul Sketsa Sebuah Senyum dihadiahkan kepadaku. Tak nyana, sebab Elisa
Koraag, penulisnya, telah memilihku menjadi salah satu penerima bukunya, tanpa kutahu
alasan apa ia memilihku. Senang tentunya, dapat tambahan ilmu dari seorang
pecandu puisi yang telah berkelana ke banyak kota untuk membaca puisi.
Sebuah
buku mungil dengan cover putih
bersih, dihiasi sebuah sketsa kepala feminin dari seorang perempuan bergincu
merah. Penasaran ingin segera melahap lembar demi lembar, mengunyah dan menelan
isinya tanpa sisa.
Menyimak
ungkapan pada pengantarnya, alasan utama lahirnya buku ini adalah sebagai tanda,
Elisa Koraag, berulang tahun ke-50, telah
menorehkan jejak pemikiran dan ungkapan rasa sebagaimana tertuang dalam puisi
yang ditulisnya. Bertahan dalam keabadian, bahkan sepeninggalnya kelak.
Entah
disengaja atau tidak –tampaknya disengaja- bukunya berisi 50 judul puisi,
selaras dengan jumlah umurnya pada saat buku ini terbit. Tidak dijelaskan apa
alasan ia memilih judul Sketsa Sebuah
Senyum.
Tapi
alasan itu terjawab, setelah membaca puisinya dari judul yang sama di halaman
73. Ia berkisah tentang penantian di ujung senja dalam balutan duka yang lama
ia simpan. Sebagaimana ia tulis,
Kau tak akan lihat duka di telaga mataku
Karena
air telaga telah mengering
...........
Mimpi
yang kurajut telah menjadi permadani kesabaran
Yang
terbentangkan di jalan kehidupanku
Dan
sore ini kuberikan sebuah sketsa senyum
Tampaknya
puisi ini sangatlah spesial sehingga terpilih menjadi judul bukunya.
Aku
tercekat saat membaca lebih banyak lagi lembar demi lembarnya. Bahasanya lugas,
tegas, sederhana, tak bersayap ataupun penuh misteri sebagaimana biasa
digunakan penyair-penyair. Ini memudahkan pembaca menangkap dan memahami rasa
apa yang sedang Elisa remas dalam puisinya.
Seperti
rasa muaknya kepada para koruptor, bebas lepas ia tuangkan dalam beberapa judul
puisinya. Berapi-api begitu garang sebagaimana tertulis dalam Aku Harus Mencaci Atau Berdoa?
Kalian
tak lebih dari tikus got jorok dan berpenyakit
Kalian
menjilat bokong berlemak, berisi tai para penyogok
Yang
tertawa di atas derita rakyat atas sejumlah proyek fiktif
(halaman 18)
Ini
semacam kegalauan berat, sampai-sampai ia menutup puisi ini dengan bait,
Aku
harus mencaci atau berdoa?
Mencaci
kebiadaban kalian
Atau
berdoa agar kalian disambar petir
(halaman 19)
Elisa
juga gemas melihat ketimpangan-ketimpangan sosial yang tak berpihak kepada si
miskin, kaum perempuan, dan masalah sumber daya alam Indonesia. Darahnya menggelegak.
Merah putih jiwanya tak diragukan, tercermin dalam puisi Merah Darahku, Putih Sukmaku .
Elisa
juga sangat menyayangi keluarganya. Saat merasa bersalah kepada anak-anaknya,
dengan rendah hati ia tak malu meminta maaf, sebagaimana ia tulis dalam Bunda Mencintaimu! Dan untuk ibundanya,
ia menulis Doamu Kekuatanku.
Pengembaraan
jiwa sebagai perjalanan rohani, telah pula dilaluinya. Hingga ia menemukan apa
yang ia cari. Dalam Kelana Jiwa ia
bertutur,
Mengembara
rasa di hati mencari Altarmu ‘tuk kubersimpuh
Pada-Mu
‘kan kuakhiri kelana jiwa ini
Tuhan,
peluk aku dengan erat
Secara
keseluruhan, puisinya sarat makna. Kata mengalir dalam kesederhanaan. Di awal
buku, puisi yang ditulis pada tahun 2009 terasa sangat datar dan belum
menunjukkan jati diri Elisa yang sesungguhnya. Apalagi ilustrasi pendampingnya
kurang greget, mengingatkan pada ilustrasi
buku Bahasa Indonesia anak sekolahan. Barangkali akan lebih menggigit jika
ilustrasi pendampingnya goresan seperti yang tertera pada cover.
Tentang
bentuk puisi, sangatlah beragam. Ada yang ditulis hanya dua baris saja, ada
yang rapi berbaris pada bait empat baris, ada yang campuran, ada pula yang
bebas seperti jalan tol. Itu tidak menjadi kekurangan, tetapi justru
menunjukkan betapa luasnya rasa yang hendak Elisa tebar lewat puisi yang ia
penuhi rongga-rongganya dengan ruh. Menjadi perangkap untuk pembaca agar larut
dan hanyut sampai ujung kisah.
Seharian
bersama Sketsa Sebuah Senyum, membuat
rasaku menyatu dengan ruh Elisa Koraag. Ada marah, ada garang, ada bijak, ada
manja, ada sendu, tapi serius. Tak ada yang slengekan
atau main-main. Itulah Elisa
Koraag yang menyatu dengan puisi-puisinya.
Semoga
karya-karyanya yang lain menyusul terbit, tak kalah indahnya dengan buku ini.
Salam.
*Sidoarjo, 29 Desember 2015