Minggu, 07 Juli 2013

RETRET

Sejenak di titik rindu

oleh Peny Wahyuni Indrastuti (Catatan) pada 22 Maret 2013 pukul 21:48
 Deru kipas angin memenuhi ruang itu. Selebihnya adalah detak detik jam dinding. Jarinya masih terus menelusur huruf demi huruf, dan otaknya berseluncur dengan ringan meraih rasa hatinya.
Sesekali ia menghela nafas panjang. Menatap layar mencari sebentuk wajah yang dirindunya.
Tapi layar tak memberi signal apapun bahwa ia ada.
Justru di matanyalah terbayang wajah itu.
**
Ia mencoba mengaduk rasa hatinya. Bahwa wajah itu ada, adakah masih meriakkan aliran darahnya.
Jumpalitan cinta tak menemukan jejaknya. Kemesraan kekasih luluh lantak kehilangan visi dan misinya. Jalan sudah bercabang arah, dan bisu mengheningkan rasa.
**
Wajah itu lambat memburam.
Kemudian hilang menjadi noktah sebiji debu.
Dulu, kini dan nanti...
Sudah kehilangan makna....
Yang tersisa hanyalah deru kipas angin, dan detak detik jam dinding di ruang itu....
**
**
** ( proyek asah rasa )

Kamis, 20 Juni 2013

REVOLUSI MENJELANG "MAGHRIB"

Ada denyit halus di relung hati. Barangkali terlalu halus untuk di dengar dengan telinga telanjang. 
Butuh perenungan panjang. Kontemplasi yang terus menerus bahkan pengheningan riuh rendah nurani.

Berawal dari obrolan dengan kakak kelas semasa kuliah di Universitas Islam Indonesia.
Sebenarnya tak pernah intens kami berkomunikasi. 
Meski demikian keterikatan rasa persaudaraan yang kami bina tak membuat kami lupa satu sama lain meski kami terpisah oleh jarak yang begitu jauh dan terpisah waktu selama lebih kurang 30 tahun. Facebook mempertemukan kami kembali.

Sebuah pertanyaan sederhana dari sebut saja namanya Sholeh Amin :
"Saya ingin nanya, kapan kamu berijab (berjilbab).? Jangan marah dan jangan tersinggung ya."

Waktu itu spontan kujawab :
"gpp mas....saya belum terpikir...hidup saya masih penuh air mata. saya ingin menghadapkan diri padaNya apa adanya....biar hati dan prilaku saya murni karena saya, bukan karena hijab saya....anak2 saya dua2nya sdh berhijab karena hasrat mereka sendiri..sementara saya tidak ingin mengotori hijab saya nantinya, selama saya masih mencari dan berusaha memahami bagaimana akhir cerita yang hendak ditunjukkanNya pada saya....Insyaallah walaupun belum berhijab saya berusaha untuk hidup dalam jalur agama yang benar ( secara hakikat saya shalat, saya mengaji, saya mendidik anak dg syariat Islam, saya berprilaku bgmn seharusnya istri dlm Islam....) Insyaallah...casing saya aja yang masih spt preman, tapi hati dan prilaku saya insyaallah perempuan sholihah."

Dan ia pun membalas dengan pernyataan ini :
"Kalau religiusitasnya adinda Peny sejak dahulu saya tahu dan tidak saya ragukan, saya hanya menanyakan ttg ijab ."

Sayapun menjawab kembali :
"Insyaallah mas....sekarang masih buka tutup."

Percakapan pendek itu terjadi antara 18 Mei sampai 26 Mei 2013. Sedemikian lama karena memang sesempatnya kami membuka facebook.

Saat itu memasuki bulan Rajab menurut penanggalan Hijriah.
Diingatkan oleh teman, Yusmi Hariyatun Suwarto, berpuasalah di bulan Rajab kalau bisa sebulan penuh, kalau tak bisa tiga hari, kalau masih tak bisa minimal satu hari lakukanlah. Dan aku memulainya tepat di hari keenam di bulan Rajab sehari setelah temanku mengingatkan.

Apa hubungannya dengan hijabku?
Di hari ke sepuluh setelah aku berpuasa, air mata yang biasanya selalu berderai-derai saat usai shalat fardlu, tak lagi mengalir, seolah sumbernya di hati ini mengering. Hati dan pikiran menjadi satu kata, hilang lenyap semua kedukaan. Fantastis. Hampir aku tak percaya atas apa yang kurasakan ini. Barangkali di dunia ini hanya aku sendirilah yang bisa memahami keajaiban ini. Tangan Allah SWT sudah bekerja menjawab doa-doaku. Aku bersujud syukur dan berusaha untuk tetap memeluk-Nya atas perasaan ini.

Menyelinap dalam pikiran ini percakapanku dengan Sholeh Amin. Bahwa aku akan berhijab jika tak ada lagi air mata yang akan mengotori hijabku.
Berhari-hari aku dikejar oleh hasratku. Di kepala ini ada rasa hangat kalau aku akan keluar rumah tanpa hijab. Aku sempat mengurung diri. Tapi dengan bismillah, aku mulai keluar rumah dengan berkerudung pakai kerudung anak-anakku. Langkah awal adalah membuat seragam kantor. Selanjutnya semua teratasi dengan mudah. Apalagi si sulung, Tika, yang baru belajar cari duit sendiri, berkeras membelikanku banyak kerudung. Sedang baju yang lain aku tak masalah karena dalam keseharianku, aku selalu berpakaian menutup aurat, kecuali kurang satu : kerudung.

Alhamdulillah
Perjalanan panjang pencarian kebutuhan rohaniku,di saat akhir, seperti sebuah revolusi yang berproses demikian cepat penyempurnaannya. Di saat usiaku memasuki usia senja, menjelang "maghrib".




 Kilas Balik :
Perjalanan pencarian kebutuhan rohaniku sangatlah unik.

Ketika aku duduk di bangku SD, ibuku mengajarkan puasa di bulan Ramadhan untuk semua anaknya.
Kami tidak paham untuk apa, tapi kami melaksanakannya tanpa bertanya. Kenapa demikian, karena kami tidak tahu Islam itu apa. Dalam keluarga kami Islam adalah agama yang tertera dalam KTP. Pengenalan kami terhadap Tuhan lebih pada pendekatan kejawen, Islam abangan. Percaya bahwa Tuhan itu ada tapi tak berjalan pada satu kitab apapun untuk memandu jalan kepada-Nya.

Pada masa itu sekolah-sekolah negeri masih dianggap sekolah kampung yang jauh dari ingin para orangtua memberi bekal ilmu yang memadai pada anak-anaknya. Kamipun disekolahkan di sekolah swasta berbasis agama Nasrani. Dan dari TK sampai SMA kujalani di sana.

Pencarianku seperti tautan benang merah perjalanan dari Nabi Isa kepada Nabi Muhammad SAW.
Pendidikan tentang keagamaan di masa aku kecil sangat kental dengan nuansa Nasrani. Karena memang di rumah tidak ada pembinaan keagamaan secara khusus. Pada masa itu aku melewatinya dengan kegembiraan seorang anak. Hanya di bulan puasa dimana tetangga banyak yang berpuasa, kami juga berpuasa.
Rumah kami di pinggir alun-alun kota, saat itu sungguh sangat menyenangkan menunggu waktu berbuka dengan melihat blenggur ( petasan besar ) yang dinyalakan di depan masjid besar, dan suara sirine dari penjara di samping rumah.

Hari Raya pun kami juga menyiapkan baju baru dan kue, saling bersilahturahmi dengan tetangga. Dan itu mengalir begitu saja. Tak ada keresahan, tak ada cibir-cibiran sekolah di sekolah Nasrani kok lebaran, semuanya begitu damai. Gembira.

Selepas SMP aku melanjutkan sekolah di kota Yogyakarta. Masuk sekolah Nasrani lagi. Pada masa ini aku mulai menyadari pentingnya hubungan dengan Penciptaku.
Masa remaja yang tidak stabil tidak menjadikanku lepas kendali. Karena Bapak Ibu guruku dan teman-temanku di sekolah ini sangatlah dekat denganku dalam pergaulan dan kegiatan-kegiatan yang positif. Membuat majalah sekolah, pramuka, volley, sepakbola, bahkan dalam kegiatan keagamaan seperti mengikuti jalan salib di Kulon Progo, retret di Sangkal Putung dan ibadah di gereja.

Keadaan ini menggelitik hatiku untuk mendalami agama ini. Waktu itu aku masih kos di Blok Patook ( dekat pusat bakpia ). Gereja yang terdekat dengan kosku adalah Gereja Kemetiran. Mula-mula aku hanya ikut kebaktian dengan mengambil tempat di sudut paling belakang. Dan selalu begitu setiap aku mengikuti kebaktian. Rupanya keadaan ini tak lepas dari pantauan seorang pastur. Dan di akhir kebaktian sempat berdialog, kenapa aku tak ikut magang di sana saja, sarannya.
Tanpa pikir panjang akupun ikut magang di sana. Berbulan-bulan belajar, sampai tiba waktu ada pembabtisan. Saat akan babtis itu aku bertanya pada Ibuku, bolehkah aku masuk agama ini. Ibuku hanya menjawab pendek, " terserah ".
Aku terhenyak. Dengan jawaban ini bukan membuatku berjingkrak gembira, tetapi malah menimbulkan pemikiran baru.
Aku memang sering berbeda pendapat dengan ibuku. Tapi aku sangat sayang kepadanya. Setelah berpikir lama, kutanya pada diriku sendiri, kenapa ibuku menjawab dengan kata "terserah", bukan dengan kata "boleh". Dan hatiku pun berbisik. Itu berarti ibuku berat melepasku untuk masuk agama ini.( Di kemudian hari kutahu, Ibuku mengharapkan aku dapat menjalani agama Islam dengan baik. Menjelang akhir hayatnya, Ibuku sudah belajar Islam, rajin sholat, rajin puasa dan ikut pengajian di RT. Bahkan semua anaknya yang dulu tak tahu cara menjalani hidup beragama, menjadi muslim dan muslimah semua. Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah atas hidayah ini. )

Kembali padaku, setelah kejadian itu, aku tidak lagi pergi ke gereja. Aku berdoa dengan caraku sendiri. Toh Tuhan tak akan pernah marah meski aku berdoa kepada-Nya dengan caraku.
Menjelang akhir SMA aku pindah kost ke Lempuyangan. Di sana berkumpul dengan mbak-mbak yang sudah mahasiswa, mayoritas beragama Islam. Aku sendiri yang masih SMA dan dianggap sebagai adik paling bontot. Nah pada saat Idul Qurban, aku diajak sholat, waktu itu digelar di perempatan Korem, dekat kampus UII Cik Diro. Aku dipinjami mukenah. Aku bilang tidak bisa sholat. Tapi mereka bilang, wis ikut saja daripada di kosan sendiri. Lucunya rakaat demi rakaat aku ikut juga, tapi istilah Jawanya "ngrubuh gedhang". Ruku' ya ikut ruku', sujud ya ikut sujud. Bacaan doanya tidak tahu.

Selepas SMA aku maunya melanjutkan ke PTN. Tapi tidak diterima dan malah diterima di Fakultas Hukum Universitas Islam  Indonesia Yogyakarta.
Sejarah perjalanan rohaniku mengalami perjalanan dahsyat di sini.
Pada awal penerimaan mahasiswa baru, kami dikumpulkan di kampus Cik Di Tiro. Karena Universitas ini berbasis Islam, setiap acara selalu diawali dengan pembacaan kitab suci.
Duh Gusti, pada saat ayat suci dibacakan, padahal aku tak tahu apa artinya, ada dorongan dari hati ini akan hadirnya sesuatu yang aku tak tahu apa, air mataku berlinangan. Aku seperti tersuruk dalam ruang yang begitu pekat, menyesakkan dan seolah menyungkurkanku untuk mengakui kekerdilanku di hadapan-Nya.
( Di kemudian hari, Wakapolres Sidoarjo, Bpk. Fadli Widiyanto menunjukkan padaku ayat Al Qur'an yang menggambarkan keadaanku ini yaitu Surat Al Isra' ayat 107 , terjemahannya kurang lebih begini : Katakanlah : Berimanlah kamu kepada Al Qur'an ini atau tiada beriman. Sesungguhnya orang-orang yang berilmu sebelum turunnya, apabila dibacakan Qur'an kepada mereka, lalu mereka meniarap sujud, atas dahinya. )

Di UII ini aku dituntut untuk bisa sholat. Akupun belajar sendiri sebisaku, sholat sambil membuka panduan sholat di buku. Lama-lama hafal dan tak perlu buka buku lagi. Sholatnya juga masih bolong-bolong .

Untuk masalah ibadah aku sudah mulai bisa. Sedang untuk motor di hati dan otakku masih mengalami pergumulan. Di saat ini aku mengenal senior-senior seperti mas Sholeh Amin, AE Priyono, Fauzi Kadir, Moch Nasir Rosyid dan banyak lagi lainnya. Mereka adalah petinggi-petinggi di Senat Mahasiswa, LPM dan juga HMI. Mereka sangatlah kental dengan pemikiran-pemikiran tentang Islam. Aku suka sekali mengikuti kegiatan kelompok diskusi yang mereka bimbing di OSPEK saat itu. Bahkan sebagai satu-satunya organisasi ektra kurikuler, aku tidak ragu untuk masuk HMI. Aku seperti mualaf rasanya. Haus akan pengetahuan ke-Islam-an. Mengikuti basic training HMI aku pernah didapuk untuk mengisi kultum. Waktu itu hijab belum populer. Banyak mahasiswi UII yang tidak berhijab. Jadi aku berdiri di mimbar tanpa hijab, seperti pidato sambutan saja.

Kegiatan-kegiatan fisik itu aku jalani. Sampailah aku pada masa dekat dengan alam. Waktu itu aku mulai dekat dengan seniorku AE priyono. Pribadi yang sangat dekat dengan perenungan-perenungan. Seperti ngengat mencari sumber cahaya, aku menempel padanya. Teman di kampus menganggap kedekatan ini adalah kedekatan asmara. Tetapi sebenarnya bukanlah demikian.
Ia hadir menjadi katalisator dalam aku mencari kesejatian diri dalam soal rohani ini.
Kami bertukar catatan tentang perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidup kami.
Dalam hal ini aku ingat sekali. Suatu kali ia menulis : Peny adalah sosok pribadi yang cepat membangun diri.
 ( penilaian ini sampai hari ini lekat di dalam diri dan selalu aku ingat, jika aku terpuruk aku akan cepat bangkit )
Kedekatanku dengan alam seperti ini :
Saat aku duduk di tangga batu di kampus UGM menghadap ke Utara, ada pohon besar berbatang putih tertimpa cahaya matahari ashar. Ada selembar daun jatuh meliuk, hatiku berdesir mengikuti jatuhnya daun itu.
Ketika pulang kembali ke kosan aku berputar lewat Colombo. Di sepanjang jalan aku merenung saat melewati jalanan yang sesaat rusak berat, dan sesaat yang lain begitu mulus. Seperti perjalananku, kataku dalam hati. Hidup tak selalu mulus jalannya.

Mendung hitam bergulung mengikuti arah angin.
Di kosku ada sebatang pohon belimbing manis. Setiap pulang kuliah aku menyempatkan untuk memanjatnya dan melompat ke atas atap. Aku senang melihat langit dari sana.
Saat mendung gelap itu aku sedang di atas atap. Hatiku bergidik. Ya Allah begitu besar kuasa-Mu. Aku tak lebih dari sebutir debu yang akan tersungkur sebelum jentikan-Mu menyentuhku.
Terasa aku begitu dekat dengan alam. Begitu dekat dengan-Mu ya Allah. 

Setelah masa-masa dekat dengan alam, aku merasakan kehampaan yang begitu hebat. Tak mau sholat, tak mau dekat dengan alam. Tak mau berpikir apapun.

Sampai suatu pagi menjelang subuh, antara sadar dan tidak, aku seperti berhadapan dengan seorang bapak agak tua, kecil, berkulit terang, memakai kopiah. Hanya wajahnya tak dapat kulihat dengan jelas.
Ia seperti menantangku. Bisa atau tidak aku membaca surat Al Fatihah.
Dengan semangat kukatakan, aku bisa tapi sambil duduk aja ya ( aku menawar )." Boleh", katanya.
Dan akupun membaca surat Al Fatihah dengan irama seperti Qiro'ah di masjid-masjid.
Seusai mengucap kata "amin", masih takjub karena aku kok bisa ya qiro'ah seperti tadi, pria itu menepuk bahuku sambil mengangguk-angguk, kemudian hilang.
Aku tersadar penuh. Masih termangu untuk beberapa saat. Dan akupun bangkit untuk melaksanakan sholat subuh. Subhanallah. Subhanallah.
Sejak saat itu mantap aku jalani agama Islam yang kuperoleh dengan cara aneh seperti itu. 

**

Terimakasih : Mas AE Priyono, mas Sholeh Amin. Engkau memang ditakdirkan untuk membimbingku dari awal sampai akhir.


Sabtu, 01 Juni 2013

KENTRUNG - KESENIAN YANG NYARIS PUNAH

     Masa kecilku di sebuah kota kecil di ujung Timur Pulau Jawa ini, tepatnya di Bondowoso, sungguh masa kecil yang sarat dengan kenangan indah. Rumah berhalaman luas di sebelah lapas ( waktu itu disebut penjara ) dan berbatas jalan dengan alun-alun yang di tengahnya ditumbuhi satu pohon beringin ( sampai sekarang masih ada ), tak pernah sepi dari jerit toa entah itu ludruk, layar tancap ataupun  kentrung.
     Bagiku yang sungguh sangat membuat gembira anak seumurku adalah banyolan-banyolan dari pemain kentrung, saat itu yang terkenal adalah Trio Nor. Banyolan dalam bentuk pantun berbahasa Madura yang diselingi Bahasa Indonesia berisi sindiran-sindiran dan juga petuah-petuah, dan juga egol pemainnya mengikuti irama kentrung dari alat musik semacam rebana ( iramanya nyaris seperti hentakan dang dut koplo ).
     Di masa kini, kentrung tak terdengar lagi. Kota kecilku sudah menjadi kota modern. Seni tradisional menjadi barang langka untuk ditemukan. Bahkan anak-anakku tak kenal sama sekali yang namanya kentrung. Untuk itu aku mencoba mencari informasi sebanyak mungkin tentang kesenian ini. Sebagai awal mungkin informasi dari Wikipedia dapat membuka cakrawala untuk mengenal seperti apa seni kentrung itu.

Kentrung

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Kentrung sebuah kesenian asli Indonesia yang berasal dari pantai utara Jawa. Kesenian ini menyebar dari wilayah Semarang, Pati, Jepara, hingga Tuban - dimana kesenian ini dinamakan Kentrung Bate[1] karena berasal dari desa Bate, Bangilan, Tuban.[1] Kentrung Bate pertama kali dipopulerkan oleh Kiai Basiman di era zaman penjajahan Belanda tahun 1930-an.[1]
Seni Kentrung diiringi alat musik berupa tabuh timlung (kentheng) dan terbang besar (rebana). [2]. Seni Kentrung sendiri syarat muatan ajaran kearifan lokal[2] Dalam pementasannya, seorang seniman menceritakan urutan pakem dengan rangkaian parikan dengan menyelipkan candaan - candaan yang lucu di tengah-tengah pakem walaupun tetap dengan parikan yang seolah dilakukan luar kepala.[2] Parikan berirama ini dilantunkan dengan iringan dua buah rebana yang ditabuh sendiri.[2] Beberapa lakon yang dipentaskan di antaranya Amat Muhammad, Anglingdarma, Joharmanik, Juharsah, Mursodo Maling, dan Jalak Mas.[2]
Berdasarkan pernyataan yang didapat dari situs forum budaya Kesenian Kentrung dianggap terancam punah karena gagal melakukan regenerasi. [3] Sejumlah orang yang masih mampu memainkan kesenian ini dan kebanyakan sudah lanjut usia.[3] Isyu yang kini ada di antara para pemain Seni Kentrung adalah permintaan agar pemerintah segera mendokumentasikan kesenian tradisi, termasuk kentrung bate, dengan harapan terdokumentasinya (tidak hilang) budaya dan kesenian asli daerah.[3] Dokumentasi kentrung dianggap oleh pemainnya sangat penting mengingat sudah tidak ada penerus dalam kesenian ini.[3]

     Ada satu tulisan yang mungkin dapat memberi gambaran riil tentang kesenian ini.

PDF Cetak E-mail
Seni tradisi, Kentrung Bate asal Desa Bate, Kecamatan Bangilan, Kabupaten Tuban, nyaris punah. Pasalnya, seni yang sarat makna siar kebajikan ini kesulitan mencari generasi penerus. Kentrung Bate yang semula dipopulerkan Kiai Basiman di era zaman penjajahan Belanda tahun 1930-an, masih tersisa tiga orang yang berusia lanjut. Mereka yakni, Mbah Surati (90) sebagai Dalang Kentrung Bate, Mbah Setri (86) penabuh timlung (kentheng) dan Mbah Samijo (88) sebagai penabuh terbang besar (rebana). "Saya tidak tahu siapa yang akan meneruskan ngentrung. Anak-anak sekarang malu melakoni seni kentrung," kata Mbah Surati saat ditemui di rumahnya Desa Bate, Kecamatan Bangilan, Tuban kepada detiksurabaya.com, Rabu (22/10/2008).

Mbah Rati, panggilan perempuan yang penglihatannya sudah buta ini mengaku kesulitan mencari pemain pengganti. Dalam perhelatan seni tradisional bernuansa magis, hanya dimainkan tiga personel. Dirinya pun selain dalang kentrung, juga merangkap sebagai penabuh kendang.

Sementara Mbah Setri dan Mbah Samijo, memegang perangkat irama, sekaligus bertindak sebagai penembang. Praktis tiga pelakon seni yang banyak ditanggap karena nadzar warga masyarakat itu berperan ganda. Sebagai penabuh gamelan dan pelantun syair-syair sarat pesan moral.

Saat digelar perhelatan di rumah Mbah Rati, dalam rangka nadzar meminta turun hujan, puluhan warga Desa Bate, baik anak-anak dan orangtua memadati pelataran rumah papan sederhana tanpa plester. Mereka khusuk mengikuti irama tetabuhan kentrung, sekaligus menyimak bait demi bait syair yang dilantunkan Mbah Rati.

Bersamaan itu, 12 pelaku seni kontemporer dari Komunitas Soh dari Desa Sukorejo, Kecamatan Parengan, turut hadir mengikuti perhelatan di tepi tegalan kering. Mereka terlibat ikut meramu irama dengan perangkat rebana.

"Kita membantu Kentrung untuk persiapan festival Kesenian Pantai Utara yang akan digelar di Probolinggo minggu ini," kata Eko Kasmo dari Komunitas Soh saat di lokasi.

Tak hanya Mbah Rati, Mbah Wiji, suami Mbah Rati juga mengaku kesulitan mencari penerus seni kentrung. "Anak cucu saya tidak ada yang mau menggantikan pemain kentrung. Mereka malu melakoni seni tradisional. Tapi mereka justru tak malu kalau disuruh nembang dangdut," kata Mbah Setri yang terhitung masih saudara sepupu Mbah Rati.(fat/fat)

Sumber: detik

     Sebagai akhir dari pengenalan atas seni kentrung ini, ada nukilan mengenai detail kentrung yang lengkap aturannya, bahkan contoh parikannya.

     Kentrung mempunyai be­berapa unsur yang ada di setiap pertunjukan yaitu:
  1. Dalang, adalah pemba­wa cerita yang sekaligus menjadi pengatur jalan ce­rita. Dalang Kentrung hampir sama dengan dalang wa­yang, kesamaan tersebut dalam hal mengubah karak­ter suara sesuai dengan la­kon yang sedang berdialog.
  2. Cerita, merupakan un­sur kedua dalam pertunjukan kentrung. Cerita yang biasa diangkat oleh dalang adalah cerita kerajaan, legenda, Wali, Nabi, dsb.
  3. Instrumen pengiring merupakan hal yang penting dalam membawakan sebuah cerita, karena dengan Instru­men masyarakat tertarik mendengarkan cerita.
Instrumen-instrumen po­kok dalam pertunjukan Ken­trung, antara lain:
  1. Kendhang Kentrung, adalah sebuah alat yang ber­fungsi sebagai pamurba ira­ma dan sebagai variasi lagu atau dengan kata lain bertu­gas mengatur irama dan ja­lannya sajian. Kendhang se­cara ukuran berbeda dengan kendhang Jawa, kendhang Kentrung biasanya berukur­an lebih panjang, Seringkah Dalang berperan ganda de­ngan memainkan kendhang.
  2. Terbang/Kempling/Rebana (frome drum), alat pe­mukul yang lahir dari Jawa Te­ngah ini dari kayu berbentuk bulat dan dibalut dengan kulit kambing, berfungsi sebagai variasi instrumen lagu.
  3. Bonang, tidak semua dalang kentrung mengguna­kannya, alat yang dibuat dari perunggu/kuningan/besi me­rupakan salah satu pelengkap alat instrumen gamelan Jawa. Fungsi aslinya adalah pamur­ba lagu (pembuka jalannya sajian) pada beberapa gendhing, bonang digunakan se­bagai penghias lagu dalam pertunjukan Kentrung.
  4. Panjak, adalah penabuh instrumen dalam pertunjukan Kentrung. Selain yang telah disebutkan sebelumnya, di dalam pertunjukan Kentrung juga terdapat parikan. Parikan adalah sejenis pantun yang dilagukan atau dinyanyikan oleh dalang beserta panjaknya dengan iringan musik sederhana. Parikan juga memuat pesan-pesan moral terhadap masyarakat, Parikan juga memiliki kategori yaitu bagus, cacat dan jelek (Hutomo, 1993:xxxix).
Contoh parikan Kentrung kategori bagus:
Tuku karet dhuwite ilang
Tak baleni sandhale keri
Yen kepepet aja sumelang
Wis disedhiyani kantor ko­perasi
(Beli karet uangnya hilang Ketika kuambil sandalku tertinggal  Kalau terdesak janganlah bimbang Sebab sudah disediakan kantor koprasi) (Hutomo, 1993:49).
Contoh parikan kategori cacat:
Kembang terong abang
biru moblong-moblong,
sak iki wis Bebas ngomong,
tapi ojo clemang-clemong
(bunga terong berwarna merah biru mencorong, sekarang ini sudah bebas berbicara, tetapi jangan celometan).
Ijo ijo lak ijo ijo
Ijo-ijo godonge sawi
Paling enak duwe bojo
Lek bengi onok sing mijeti
(Hijau-hijau daunnya sawi, paling enak punya istri bila malam ada yang mijiti)
Banyolan
Kentrung juga memiliki ciri banyolan, berguna untuk mengatasi rasa bosan pe­nonton. Bentuk banyolan ini bisa berupa kritikan tidak langsung sehingga menjadi lucu ataupun berupa kata erotis yang agak berbau porno.
“Pemerintah dan masya­rakat diharapkan turun ta­ngan ikut menguri-uri kesenian rakyat yang hampir pu­nah ini,” ujar Pengamat Bu­daya Dari Universitas Jember (Unej) Prof Ayu Sutarto da­lam diasnatalis ke 10 Fa­kultas Ilmu Budaya (FIB) Uni­versitas Airlangga (Unair).
Bahkan pemerintah harus secepatnya menginventarisasi kesenian daerah di Ja­tim seperti ludruk, ketoprak, sandur, terbang jidor, jaranan, campursari, tandak bedes dan kentrung. Setelah itu segera dipatenkan agar ti­dak diakui negara lain seperti Reyog Ponorogo.
Sementara peran masya­rakat dan pemerintah juga harus ikut bertanggung ja­wab tentang kelangsungan kesenian tersebut dengan ja­lan mencintai seni budaya sendiri. “Apresiasinya ya ha­rus mau nanggab jika ada hajatan acara-acara lainnya,” katanya. (Sunaryo)
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: POTENSI JAWATIMUR, EDISI 12, TAHUN VIII/2008, hlm. 16.


Jumat, 31 Mei 2013

Perempuan Dalam Bahtera

     Perempuan dalam bahtera, punya problem yang berbeda satu sama lain. Tapi seperti sebuah kutukan turun temurun, sejak jaman yang tak diketahui kapan bermulanya, permasalahan perselingkuhan menjadi urutan teratas dalam kehidupan bahtera rumah tangga. Banyak terjadi tapi tak pernah menjadi contoh yang memberi efek jera untuk yang lain. Dari jaman ke jaman, perselingkuhan tak pernah hapus dari muka bumi ini.

      Perselingkuhan kadang tak mampu memberikan alasan yang logis. Ia mengalir begitu saja. Pada banyak kasus, perselingkuhan lebih banyak dilakukan oleh pihak laki-laki. Mungkin karena ruang gerak lelaki lebih leluasa karena pada umumnya lelakilah yang bebas bertemu dengan banyak orang karena kodratnya atau karena pekerjaannya.

   Pendapat-pendapat tentang perselingkuhan ini pada umumnya dikembalikan pada keadaan yang menyudutkan kaum perempuan. Perempuan selalu dituntut untuk menjadi pihak yang harus selalu dapat menyenangkan kaum lelaki.

    Lihatlah, dalam pengarahannya, ketua-ketua organisasi kewanitaan di Indonesia selalu menekankan bahwa menjadi istri itu haruslah dapat merawat diri. Kalau suami pulang kerja, istri jangan pakai daster lusuh yang berbau bawang. Istri harus selalu tampil cantik di hadapan suami. Istri harus dapat menjaga keharmonisan rumah tangga, sebab rumah tangga yang bermasalah dapat menjadi pemicu prilaku kurang baik sang suami di tempat ia bekerja. Dan segala hal lainnya yang pada intinya perempuanlah yang harus menjaga hati suami.

      Sementara dari pihak laki-laki, perselingkuhan selalu mendapat permakluman sebagai hal yang sangat kodrati, yaitu adanya kecenderungan watak dasar laki-laki untuk tidak puas hidup hanya dengan satu perempuan. Secantik apapun, sebaik apapun, sesetia apapun seorang istri, tidak menghalangi laki-laki untuk menduakan istrinya dengan perempuan lain. Tidak peduli bagaimana hancurnya hati seorang istri yang dikhianati cintanya, lelaki tetap jalan terus dengan tidak merasa bersalah sedikit pun. Bahkan yang amat sangat menyakitkan hati,  lelaki memakai topeng agama untuk menghalalkan perzinahannya. Dengan dalih tak ingin berzinah di hadapan Allah, lelaki melakukan perkawinan sembunyi-sembunyi dengan banyak perempuan untuk memuaskan syahwatnya.

      Dikatakan sebagai nasib buruk untuk kaum perempuan rasanya tidaklah adil. Sebab kaum perempuan juga manusia, sama seperti kaum lelaki. Kaum lelaki punya rasa sensitif maka perempuan juga punya perasaan itu.
Dan tentang rasa dendam terkhianati, perempuan dalam bahtera punya sejuta topeng untuk menutup perasaan hatinya. Di wajah ia pemaaf, tapi jauh di lubuk hatinya, iblis selalu mengipas panas dendam, bahkan kematian menjadi taruhan untuk menuntaskan dendamnya jika ia terluka. Satu hal yang kaum lelaki tak sadari, bahwa perempuan di satu saat bisa sangat lembut tapi di saat yang sama bisa sangat keras dan kejam. 

      Perempuan adalah makhluk Allah yang unik. Jika sudah mencintai satu lelaki ia dapat berbuat apa saja untuk mempertahankan cintanya. Bisa jadi cinta itu menjadi madu yang sangat manis, tapi bisa juga ia menjadi malapetaka  yang meluluhlantakkan dunia.

    Perempuan dalam bahtera adalah tetap perempuan sebagaimana perempuan-perempuan yang lain. Mereka adalah perempuan dengan segala keunikannya. Tak seorang lelaki pun dapat memahami perempuan  dalam waktu yang lama, sepanjang hidupnya sekali pun.Perempuan tak akan pernah dapat selesai untuk dipahami keunikannya. Maka jika ada lelaki yang mengatakan bahwa ia telah memahami pasangan hidupnya maka sebenarnya, ia tak punya ketertarikan lagi kepada pasangannya. Dan bersiaplah untuk masuk pada fase mengejar perempuan lain untuk dipelajari.

      Maka neraka cemburu lah yang kini meraja. 
Hal perempuan dalam bahtera, berlanjut tak pernah tahu kapan dapat berhenti di bumi ini......
Dan hal lelaki dalam bahtera, ....... mungkin ada yang bisa membocorkan rahasianya di sini??


**** sebuah perenungan subyektif ..
     
     
      
     


Rabu, 29 Mei 2013

pertarungan

pertarungan

oleh Peny Wahyuni Indrastuti (Catatan) pada 24 April 2011 pukul 20:55

Dalam masalah poligami. jumlah perempuan yang anti poligami dan pro poligami ternyata sebanding. Ibarat dua sisi mata uang yg tak terpisah. Satu sisi pro, satu sisi anti. Seandainya semua perempuan ogah jadi istri kedua dst maka wusss wusss poligami hapus dari muka bumi ini......tetapi ternyata" tidak" untuk sebaliknya. Jadi poligami sebenarnya adalah pertarungan antara para perempuan sendiri, dan lelaki memanfaatkannya dengan sebaik- baiknya.

Pertarungan yang hasilnya tak dapat menjadi contoh jera.
Lelaki yang sebenarnya hanya memanfaatkan kondisi ini, menjadi kambing hitam.
Kunci dunia ini terletak pada perempuan. Kalau perempuan berani berkata TIDAK maka perselingkuhan apalagi poligami pasti tak akan pernah terjadi.
Yang jadi masalah adalah karena banyak faktor yang membuat sebagian perempuan tidak berani berkata tidak. Bisa jadi karena faktor ekonomi yang diiming-imingkan oleh para lelaki, atau rayuan cinta membara dari lelaki, atau justru memang perempuan tak punya hati lagi yang hanya memenangkan egonya sendiri. Banyak faktor lainnya.

So what nex???  Selanjutnya terserah anda.