Rabu, 28 November 2018

Sepeda Unto




Sepeda "unto", begitu disebutnya.
Sepeda ontel yang setangnya tinggi, rangkanya juga tinggi, sementara sadelnya dengan pongah seolah menjamin yang menaikinya pasti terlihat gagah dan keren.
Aku selalu kagum dan ingin sekali menaikinya.
Tapi tubuh kecilku untuk memegang setangnya saja harus berjinjit.
Setiap kali Bapak menyandarkannya di samping rumah, aku tak henti memegang bagian ini dan itunya.
Kubayangkan, angin akan menyapu seluruh tubuh ketika aku mengayuhnya.
Sesekali bel sepeda kumainkan, denting besi legendaris, kring...kring...
Sambil senyum-senyum, aku mencoba menegakkannya...
Eittt....berat sekali...
Berkali-kali mencoba, bisa juga tetap mempertahankan tegaknya dengan membuatnya bersandar di tubuh kecilku.
Tapi alamak....
Ia malah roboh ke arah sebaliknya, dan bodohnya aku, tak kulepas peganganku, dan aku pun jatuh di atasnya.
Aku tak berani menangis. Hanya tertunduk malu ketika Bapak menolongku dan membuat sepeda itu tegak kembali.
Setelah kejadian sepeda roboh itu aku tak berani lagi memegangnya.

Beberapa tahun kemudian ketika badanku sudah cukup tinggi, hasratku untuk menaiki sepeda itu muncul lagi. Apalagi teman-temanku sudah banyak yang bisa mengendarai sepeda unto.

Aku cari pijakan trotoar jalan untuk bisa melangkahkan kaki melewati rangka dan menginjak pedalnya.
Pandanganku terus ke arah pedal yang tak mampu kukayuh setengah pun.

"Sedeg sedeg...sedeg sedeg dulu?" teriak teman-temanku.

Aku berusaha sedeg sedeg, mengayuh pendek-pendek dan berusaha menaikkan kaki yang lain ke pedal. Tapi tak semudah mengucapkan, pantat geyal geyol, sepeda roboh kembali.

Aku garuk garuk kepala, "Susah banget, seee...."

Ah, mungkin kalau pantatku tidak geyal geyol aku akan bisa menaikinya.
Kusandarkan pantat di rangka (karena tidak sampai kalau naik di sadel) setelah sedeg sedeg.

Horeeee....aku melaju.

"Woiii...lihat ke depan...lihat ke depan," teriak teman temanku ketika aku melaju kemudian terjungkal menabrak trotoar.

Haaahhhh....aku meringis. Baru bisa melaju sebentar, harus dibayar dengan goresan di lutut dan siku.

"Kena selangkangan enggak?"

"Ehmmm...paha...pahaku sakit."

Dasar anak-anak tak kenal menyerah.
Besuknya lihat sepeda ontel Bapak tersandar di samping rumah, tanpa ragu langsung kubawa ke jalan.

Sedeg-sedeg sudah lancar. Pantat sudah mantap, pandangan sudah ke depan.
Satu hal ingin kulakukan, aku ingin bisa duduk di sadel seperti mereka.

Kuberanikan diri, setelah sepeda stabil, aku berdiri di rangka sepeda kemudian meletakkan pantatku di sadel.

Asiiikk...bisa...

Meski untuk mengayuh harus di dorong kuat-kuat katena kakinya tidak sampai.

Bhaaaaa....aku bisa...

Angin menyapu seluruh tubuhku...

Eeittt....aku belum tahu cara turun dari sadel...

.....eiittt.......gubraaaaakkk!!

Maunya loncat begitu saja dari sadel, tapi kakiku terlalu pendek, jadinya malah mencium aspal lagi.

Hiks!!

#sedegSedeg
#masaKecilku

#rumahSundukSate
Sidoarjo, 16 November 2018

Lail



Maka milik-Mu lah lail
Dan semua pujian tentang-Mu mengalir deras merayapi malam
Begitu hening hingga hati terpapar bening
Bukan lagi meminta
Bukan lagi menghiba
Semata memuja dan mencinta
Luruh luluh
Lantak melunglai
Berserah menyerah
Lail
Lail
Aku pun hilang
Dalam gelapmu
Dalam rasa-Mu

*Ndarjo, 29 November 2015

*02.43 Waktu Candiloka



Selasa, 23 Oktober 2018

Tapa Brata Usada



Ada getaran mengejutkan, membuatku tersadar dari keasikan bermeditasi.
Ya, aku selalu memasang alarm hape setiap akan memulai meditasi. Kusetel satu jam.
Menyelesaikan meditasi dalam waktu satu jam untuk pemula sepertiku memang berat. Terutama pada ketahanan kaki untuk bersila. Lima menit saja sudah bikin gusar dan itu membuat pikiran tidak bisa konsentrasi.
Tapi seiring berlalunya waktu, ketekunan bermeditasi dapat mengatasi itu semua.

Meditasi macam apakah yang kujalani?
Meditasi yang kujalani adalah meditasi Bali Usada.
Aku mengikuti meditasi ini sebenarnya berangkat dari ketidaktahuan.
Bermula dari ajakan seorang kawan yang dalam proses penyembuhan kanker kelenjar getah bening. Ia sudah menjalani proses kemoterapi 8 kali. Menurut pemeriksaan terakhir kankernya sudah tidak ada. Tapi efek kemonya masih meninggalkan jejak.
Dari perbincangan dengan banyak orang, katanya meditasi bisa membantu penyembuhan oleh diri sendiri. Dipilihlah Bali Usada Centre Health Meditation yang berpusat di Sanur Bali.
Mengapa aku diajaknya? Selain untuk menemani, ia ingin aku dapat memperoleh ilmu yang dapat membuat diri tenang dan bahagia.

Setelah menunggu selama 2 bulan, kami pun berangkat ke Bali.
Program yang diambil adalah Tapa Brata 1, selama 6 malam 7 hari.
Berangkat dari bandara Juanda pada tanggal 2 September 2018 dengan pesawat Citilink penerbangan pukul 07.55. Intinya kami sudah harus berkumpul di Sanur pukul satu siang.

Menunggu lama di kantor pusat, akhirnya sekitar jam setengah tiga sore, dengan bus kecil sejenis Elf kami berangkat ke Baturiti. Ada sekitar 35 peserta.
Sekitar jam lima kami sampai di Baturiti. Ternyata ada perubahan tempat. Yang semula akan dilaksanakan di Baturiti, dipindahkan ke Fores Island di daerah Peneng, Tabanan karena rumah yang di Baturiti mengalami kerusakan terdampak gempa Lombok yang terjadi bulan sebelumnya.



Forest Island ini semacam padepokan meditasi yang dibangun di tanah seluas 2 hektar, terpisah dari pemukiman dengan batas jurang terjal di sekelilingnya. Hanya ada satu akses masuk, jembatan yang menghubungkan Forest Island dengan dunia luar.


Kami pun menunggu acara selanjutnya yaitu pembagian tempat bermalam.
Tempat untuk bermalamnya unik. Ada bangunan yang dinamakan Lumbung, Joglo, dan Pondok.




Aku dan kawanku menempati pondok bertiga, dengan seorang kawan dari Denpasar.
Ada tiga ranjang berjejer, terpisah jarak setengah meteran.



Babak baru dimulai.
Masuk ke ruang meditasi kami mulai diperkenalkan dengan aturan-aturan.
Yang utama, mulai malam ini sampai tanggal 7 sore kami mulai tapa brata dengan tidak bicara satu sama lain, membaca ataupun menulis.
Dengan diam ini, dimaksudkan agar pikiran menjadi tajam.
Semua harta karun dititipkan kepada asisten, dari uang, barang berharga sampai hape. Dimasukkan ke dalam amplop besar ditulisi nama masing-masing.



Hari itu adalah hari terakhir kami mendapat makan malam, karena hari selanjutnya makan akan diberikan hanya pada pagi dan siang hari, di mana 15 menit sebelum makan pagi ada acara makan buah. Malam hari hanya mendapat makanan kecil. Dan bersiap untuk kehilangan kegarangan, karena makanannya 'vegetarian only'.

Kami bertiga nyaris tidak mendapat makan malam terakhir karena kami asik berbincang saling kenal dan belum memahami tanda-tandanya. Ternyata ada bel berbunyi satu kali untuk peserta segera pergi ke ruang makan. Tapi petugas di sana baik-baik. Sebelum meditasi pertama malam itu dimulai, dengan mengendap aku ke ruang makan dan memberitahu kalau kami bertiga belum makan. Akhirnya dengan bahasa hati, usai meditasi kami bertiga makan dalam diam karena tapa diam sudah dimulai.

Meditasi pertama ini suara sendawa datang dari berbagai penjuru. Pertama aku heran mengapa ada yang bersendawa terus menerus. Lama-lama aku menyadari kalau meditasi ini adalah meditasi kesehatan. Berarti banyak yang sakit. Dan semakin aku menyadari kedua kawan sekamarku juga sakit, yang satu kanker plus lambung, satunya juga sakit lambung.

Aturan tentang diam ini membuat kami menjadi diri sendiri, seolah hidup sendiri. Aku yang kata anakku kalau tidur suka ngorok, tidak sungkan untuk tidur blegseg sambil ngorok. Pun demikian dengan kedua kawanku, sakit lambung membuat mereka suka buang angin.
Aku yang berada di posisi tengah tak protes dengan serangan kentut dari dua arah, karena mereka pun tidak protes dengan suara ngorokku. Ah, tenggang rasa yang manis.

Hari pertama sampai hari ketiga ini, konon adalah hari terberat.
Aku pernah membaca tulisan blogger, kalau hari-hari awal ini begitu berat bahkan karena tidak kuat ada hasrat untuk melarikan diri dari sana. Tapi rupanya pengelola sudah memahami apa yang akan timbul pada hari berat ini, makanya semua harta karun tidak boleh dibawa oleh peserta.
Baru terjawab pada akhir nanti, bukan mengekang, tetapi untuk keselamatan peserta sendiri, yang akan mengalami pusing berat jika tiba-tiba pergi ke dunia ramai.

Dan memang menjadi hari terberat karena berdasarkan penuturan bapak Merta Ada, guru meditasi utama, hari pertama sampai hari ketiga ini memori peserta diaduk-aduk. Seperti membersihkan bak, air akan menjadi keruh ketika semua kotoran diangkat dari dasar dan bagian-bagian bak.
Reaksi yang timbul, badan akan terasa sakit semua, pegal-pegal, perasaan tidak nyaman dan segala macam keluhan akan bermunculan.

Dengan sabar para asisten tetap mendampingi peserta untuk bermeditasi di bawah bimbingan langsung bapak Merta Ada melalui video. Meski hari pertama sampai hari ketiga 'sosok' bapak Merta Ada tidak ada, tetapi beliau serasa ada karena semua intruksi yang melalui video itu tertanam di kepala peserta secara terus menerus. Baru pada hari keempat beliau hadir, memimpin langsung meditasi.

Yang utama, meditasi ini selalu diniatkan untuk melatih pikiran harmonis.
Apa pikiran harmonis itu?
Pikiran yang dilatih untuk konsentrasi, kesadaran, lepasnya reaksi buruk dari memori, kelembutan, cinta kasih, dan kebijaksanaan.

Aku yang sama sekali tidak mengetahui dasar-dasar meditasi, benar-benar mulai dari nol untuk mengawalinya.
Inti meditasi ini adalah pernapasan. Kita diajak untuk mengenali napas kita sendiri. Bernapas secara alami, tetapi disadari. Tubuh sudah pandai mengatur kebutuhan oksigen. Tugas kita hanyalah mengamati napas yang masuk, napas yang keluar. Kemudian dikenali perubahan-perubahannya, disadari bahwa semua itu berubah, tidak kekal.

Setelah mengenal tata kerja meditasi melalui pernapasan, kemudian diaplikasikan untuk merasakan semua bagian tubuh. Hal ini nantinya akan berkaitan dengan upaya penyembuhan penyakit di dalam diri sendiri.

Bagiku meditasi ini begitu menyenangkan. Aku bisa mengenal apa yang di dunia meditasi disebut dengan cakra. Ada cakra mahkota, cakra kepala (mata ketiga), cakra tenggorokan, cakra uluhati, cakra sex, dan cakra dasar.
Selain itu juga ada pengenalan tentang tubuh yang sejatinya bisa dikategorikan menjadi 4 tubuh yaitu badan kasar, badan meredian, badan cakra, dan badan mental (ini aku masih terus belajar untuk memahaminya).


Hari-hari lewat begitu cepat. Enam hari bertingkah seperti orang aneh. Ada dalam satu komunitas, tapi masing-masing hidup dengan dirinya sendiri.
Meski di ruang makan berkumpul, tapi suasana senyap. Masing-masing mengambil makanan dengan tertib antre, kemudian menempati kursinya sendiri-sendiri sesuai dengan nomor di tikar ruang meditasi.

Ada cerita lucu di kamar.
Pada hari ketiga, usai meditasi malam kami berangkat tidur. Kami bertiga tanpa suara menyembunyikan diri dalam selimut karena udara di Forest Island dingin.
Tengah malam ada yang membangunkanku. Aku terjaga. Ternyata temanku dengan wajah ketakutan, dengan bahasa isyarat meminta berganti tempat tidur.
Aku menurutinya, menempati ranjangnya yang menempel dengan tembok.
Di samping tempat tidur ada jendela yang diberi kasa nyamuk, tidak ditutup daun jendelanya.
Aku sempat memeriksa ke luar jendela. Gelap dan hanya terlihat tembok tinggi dan tanaman-tanaman. Biar tidak terlihat yang di luar jendela dari sela gorden, aku mengambil posisi kepala justru di bawah gorden.
Baru saja aku terlena, ada suara besar di sampingku, "Opo, Mbak!"
Aku langsung meloncat dari ranjang. Suara itu mirip suara adik iparku.
Dalam keadaan terkejut setengah panik, aku langsung baca surat Al Fatiha. Di mata batinku, ada bayang yang meletup lalu hilang.
Ah, hari yang aneh.
Dan saat tapa brata berakhir, temanku bercerita kalau dia malam itu ketakutan karena dalam halusinasinya ada hewan seperti ular yang akan masuk lewat jendela.
Yah, mungkin kejadian itu bisa juga dianggap sebagai lepasnya reaksi buruk dari memori. Bak air yang diaduk-aduk tadi.
Kalau aku, pada hari itu kakak iparku yang tinggal satu kota dengan adik ipar meninggal dunia.
Mungkin menjadi tanda yang mengokohkan pengalaman anehku, pada hari itu dalam meditasiku aku melihat gambar dunia kematian, tapi tidak tahu siapa yang meninggal.
Setelah boleh buka hape, baru tahu karena adik ipar mengabarkan lewat WA.

Hari keenam, meditasi malam terakhir.
Diadakan acara meditasi terbuka, artinya, peserta dibebaskan untuk bermeditasi seberapa lama kuat melakukannya.
Aku yang pada hari awal mengamati ruang yang dipenuhi sendawa dari berbagai penjuru, pada malam terakhir ini tidak kudengar suara sendawa sedikit pun. Mungkin kawan-kawanku tidak menyadari. Tapi aku mencatatnya dengan baik di hatiku, dan menyimpulkan, meditasi ini membawa kesehatan yang membaik. Nyatanya suara begitu hening. Apalagi ketika bunyi alarm tanda meditasi telah mencapai satu jam, aku membuka mata. Hahhh, di ruangan untuk yang perempuan tinggal aku berdua, sedang yang laki-laki ada beberapa ditambah bapak Merta Ada dan tiga asisten.
Tapi kesimpulanku tetap benar. Bukan karena mereka keluar dari ruang meditasi sendawa tak terdengar.
Paginya masih ada satu sesi meditasi di luar ruangan, yaitu di bawah rindang pohon bodi (pohon legendarisnya sang Budha).
Dilakukan dalam suasana pagi, benar hening, tidak ada suara sendawa sampai akhir meditasi.

Meditasi di luar ruangan ini juga membawa cerita aneh untukku.
Sedang khusyuk-khusyuknya meditasi, seperti ada hewan yang menggigit pipiku, sakit sekali.
Aku menahannya dan berpikir, ah, biar sajalah. Kalau memang hewan dan bengkak nanti aku kasih minyak kayu putih. Tapi ketika meditasi selesai, tak ada tanda ada hewan yang pernah menggigitku di situ, Padahal pedih, perih, panas rasanya.
Ketika ada sesi bertanya kepada bapak Merta Ada, beliau mengatakan kalau itu adalah lepasnya reaksi buruk dari memoriku. Kalau tadi aku membuka meditasi dan menggaruknya, reaksi itu akan masuk lagi.
Alhamdulillah... aku bisa bertahan.






Masih banyak cerita lainnya.
Tapi ini saja dulu.
Kalau ingin tahu tentang Bali Usada Centre, bisa dicari di FB, Ig, dan Youtube.


....
#RumahSundukSate
#Sidoarjo22Oktober2018

Kamis, 02 Agustus 2018

Ekor Kucrit




Di negeri kepala fantasi, seorang gadis kecil menangis di pangkuan kakeknya.
"Kenapa, Nduk?"
Si Gadis semakin menjadi tangisnya. Sang Kakek dengan penuh kesabaran membelai punggung kecil itu tanpa bertanya lagi.
"Kucrit, Mbah...Kucrit...." Si Gadis terbata-bata di sela tangis yang masih menyisakan sesengguk.
"Kucrit kenapa?" Setahu Kakek, Kucrit, kucing kesayangan Ayu Srintil, tak pernah berpisah ke mana pun ia pergi.
"Ini...."
"Owalah...apa itu, Nduk?"
Si Gadis yang bernama Ayu Srintil kembali menangis di pangkuan Kakek. Di genggamannya ada sejumput bulu, dan ketika Kakek membukanya ia begitu terkejut.
"Hah? Ini ekor kucing, Nduk...."
"Iya, Kakek...ini...ini...ekor Kucrit," jawabnya tanpa mengangkat kepala dari pangkuan Kakek.
"Apa yang terjadi?" Kakek mengambil ekor itu dari tangan Ayu Srintil. Ujung ekor terpotong seperti robekan paksa. Masih tersisa darah di tangan Ayu Srintil."Kucrit tadi main sembunyi-sembunyian di pinggir hutan, Kek. Ketika kutemukan, separuh badannya sudah ada di mulut ular sanca. Aku merebut dengan menarik ekornya. Tapi...tapi...." Tangisnya meledak kembali.
"Ah, Nduk..." Kakek tidak dapat berkata apa-apa. Ia bersyukur karena cucunya yang pemberani selamat meski harus berebut dengan ular sanca.
Ia peluk Ayu Srintil sampai tangisnya betul-betul reda.
"Kakek, ekor ini Ayu kubur di halaman depan saja, ya," pintanya.
Kakek pun membantunya mengubur ekor itu.
....
Selang seminggu kemudian, dari kubur itu tumbuh tunas. Ayu Srintil rajin menyiraminya. Ia anggap itu penjelmaan Kucrit. Sebab ketika berbunga, bunganya berbentuk persis ekor kucrit.
"Kunamai ekor Kucrit sajalah," gumamnya sambil membelai bunga-bunga yang mirip ekor kucing itu.
....
#sekadarKhayal
#tentangBunga
#liarDiBukitTrawas
...
Maaf, ini sekadar khayalanku saja, sebab tak tahu nama bunga yang kutemukan di Bukit Trawas.

Sabtu, 21 Juli 2018

SGPC(Kuburan Dangkal Kenangan)



Gara-gara komen di status seorang kawan yang memosting gambar nasi pecel di atas daun jati, ingatanku tentang SGPC seperti zombi, muncul dari kubur kenangan.
SGPC adalah singkatan dari Sega Pecel, makanan murah meriah anak kampus yang warungnya nyempil di dekat balairung UGM. Yogyakarta? Ya, iyalah. Kan, ndak mungkin Universitas Gajah Mungkur(yang memang tidak ada).

Aku tahu tempat itu karena diajak senior ketika usai berkegiatan di kampus. Kampusku memang bukan UGM, tapi apa salahnya kalau anak UII juga nyasar ke sana untuk menikmati pecel bayam yang kadang bisa juga disiram dengan kuah, jadi sop bayam.
Tapi aku bukan mau cerita tentang warung SGPC yang sangat terkenal itu.
Ini hanyalah awal bagaimana aku bisa menyukai suasana kampus UGM terutama balairungnya yang diam-diam menjadi saksi, aku dan seniorku berdiam diri pada tangga batu ke sembilan entah dia mikir apa, aku mikir apa, terbawa oleh suasana heningnya meski cuaca panas musim kemarau sedang ganas-ganasnya.

Upayanya untuk mengenalkanku pada tempat nyaman untuk merenung sendirian membuatku kecanduan.
Sering aku pergi sendiri ke sana, terutama pada jam-jam salat Asar, panas cenderung sejuk menuju senja.
Suasana sepi membuatku leluasa bersandar di tembok teratas dari tangga yang sembilan itu, melihat sesekali ke ujung sepatu teplek kebanggaan dan tas karung motif goni di pangkuan.
Sementara ketika memandang ke arah Utara, di ujung pagar hutan ada sebuah tanaman besar, pohon bodhi yang dikloning dari pohon bodhi di Candi Borobudur.
Untuk pertama kalinya aku terbawa oleh rasa yang tak bisa kunamai, ketika pandangan tersuruk pada pohon yang ketika itu mendapat sinar dari arah Barat.
Jadi tampak kuning bersinar, dan hatiku berdesir melihat sehelai daun meliuk pelan jatuh dari pucuk pohon. Aku tak berkedip sampai daun itu terdiam di tanah. Subhanallah. Subhanallah. Seperti ada yang tercabut dari hatiku.
Bersyukur aku sendirian. Sebab jika tidak, barangkali akan ada yang melihatku ternganga tanpa sadar(ah, memalukan).

Kukejap mata berkali-kali sambil terus bertanya dan kagum.

"Kok, bisa, ya, hatiku seperti tercabut melihat sehelai daun jatuh ditimpa sinar matahari sore?"

Beberapa saat aku terbengong-bengong di tangga batu itu.
Sadar sudah sore, aku beranjak pulang, mengambil sepeda motor pinjaman(punya mbak Dwi teman kos yang kuliah di UPN kalau ndak salah). Ke Timur menyusuri jalan yang teduh oleh pepohonan. Lewat asrama Colombo, asrama tempat teman SMA Stella Duce dulu, kemudian balik lagi lewat RS Panti Rapih ke Selatan.

Dalam perjalanan itu pikiranku penuh dengan perenungan.
Di seputar kampus jalannya mulus, terus menuju jalan asrama banyak yang berlubang. Mulus lagi, berlubang lagi.
Hatiku membuat kesimpulan, barangkali seperti inilah perjalanan hidup itu.
Kadang melewati jalan mulus(ujian lulus) dan kadang penuh godaan(ujian harus remidi).
Pikirannya belum sampai ke masalah kehidupan yang ruwet. Ya, masih seputar lulus dan tidak lulus ujian mata kuliah, sebab berkaitan dengan bea siswa, yang malu kalau sampai tidak bisa bertanggung jawab dengan otak yang dibiayai dengan belas kasihan ini.
Kubilang belas kasihan karena memang benar aku hampir putus kuliah karena Ayahku nyaris tidak bisa membiayai kuliahku.
Bersaing dengan banyak teman untuk mendapat beasiswa itu. Dan alhamdulillah aku bisa mendapatkannya meski harus kubayar dengan prestasi menjadi mahasiswa teladan tingkat UII dan mahasiswa teladan Kopertis Wilayah V DIY.

Antara sedih dan senang karena masa-masaku di kampus menorehkan banyak kenangan yang berkontribusi besar dalam perjalanan batiniahku.

Dari jalan depan Panti Rapih aku pelan-pelan saja menuju Selatan. Berbagi jalan dengan colcampus yang banyak ngetem di bundaran UGM. Hidup riuh rendah dengan sopir-sopir yang mencari penumpang.
Terus ke Selatan, putar Mandala Krida, lewat rel Lempuyangan, sampailah aku di kosan. Perumahan Pegawai KA Lempuyangan.

Mendung mengikuti sejak aku sampai di stadion Mandala Krida.
Sinar matahari sore yang tadi kutemui di tangga batu balairung tidak kutemukan di sini.
Mendung yang menjadi tamu pada akhir musim kemarau rupanya.

Sampai kosan kepalaku masih penuh dengan pikiran tentang pelajaran hidup yang tadi kutemukan.
Meski mendung, aku naik ke atap lewat pohon belimbing yang tumbuh di samping kamar.
Aku biasa melakukannya sejak awal kos di situ ketika SMA, bahkan sampai sudah kuliah seperti saat itu. Dan ibu kosku cuma bisa mengingatkan dari bawah.

"Peny, ayo, turun. Tidak pantas anak gadis naik ke atap."

Tapi aku ndableg saja.
Ada rasa nyaman naik ke atap. Seperti dekat dengan langit, bergumul dengan angin, dan berasa udara begitu kaya memasuki paru-paruku.
Dan sore itu aku memeluk lutut di atap. Menatap mendung yang bergulung seperti sedang bergulat dengan angin. Makin lama makin gelap dan dingin.
Aku menggigil dan ada rasa takut.

"Ya, Allah, begitu kecil aku di antara pertarungan pesuruh-pesuruh-Mu itu."

Bergegas aku turun, membawa rasa dahsyatnya kekuatan alam yang menggulung hati kecilku.
Dan ketika azan Maghrib berkumandang, kulipat diriku sekecil mungkin dalam sujud. Memohon ampunan karena aku masih suka bolong-bolong salatnya.

Sebuah permohonan sederhana menjadi penutup rasa terima kasih dengan semua pengalaman batin hari itu.

"Teguhkan hatiku untuk bisa salat lima waktu tanpa bolong-bolong, ya, Allah."


...
#Rumah_Sunduk_Sate
22 Juli 2018
*Bangkit dari kubur kenangan



Selasa, 17 Juli 2018

Pergolakan Batin Sufi


Foto di atas adalah rekayasa terhadap cover buku yang ditulis oleh Dues K. Arbain. Seorang bankir (banker?) yang mencintai dunia tulis menulis dan sastra.
Buku ini entah masuk kategori apa, novel bukan, cerpen bukan, prosa atau puisi juga bukan. Mungkin bisa disebut sebagai kisah perjalanan anak manusia yang mencari jalan sufi sebagaimana tokohnya yang bernama Sufi.
Diterbitkan oleh Penerbit Jentera Pustaka pada cetakan pertama Februari 2017. Editornya almarhum Ardian Syam yang semasa hidupnya begitu dekat dengan dunia tasawuf sehingga sangat tepat membidani lahirnya buku ini yang juga sarat dengan pencarian Sufi pada dunia itu.
Dan buku ini sepertinya meninggalkan kenangan tersendiri, karena pendesain sampulnya, Kharisma Amalia juga mengikuti jejak editornya, sudah berpulang.
Buku ini ditulis dalam gaya bertutur seorang ayah kepada anaknya. Jika kemudian pembaca merasa seperti menjadi seorang anak ketika menelusuri kisahnya, itu tidaklah salah.
Ada kekuatan dari penulis untuk mengajak pembaca menjadi Sufi, terutama pada kisah awal, di mana Sufi sebagai mahasiswa, dongkol dengan keadaan ibunya yang sakit dan selalu minta tolong ini dan itu.
Seperti ketika hendak berangkat kuliah, ibunya qkqn salat Duha, minta dipapah ke kamar mandi, kemudian minta juga dipasangkan mukenahnya. Ia tersulut gundah dan berkata:

"Kenakan sendiri, kenapa, sih, Bu?"

Ibunya terhenyak.
Ekspresi ibunya semakin membuat galau. Ia sadar betapa ia merasa jiwanya redup. Pikirannya mengulas semua kebaikan dan juga penderitaan serta pengabdian seorang ibu membesarkan dirinya.
Bagian cerita ini begitu meguras emosi pembaca. Pembaca merasa Sufi itu adalah mereka yang juga pernah merasakan hal yang sama, jengkel, dongkol kepada ibunya yang dianggapnya mengatur ini dan itu. Perasaan seorang anak usia belasan yang masih galau dan dalam pencarian jati diri.

Dues, mencurahkan isi hati Sufi dalam bahasa yang mampu mengoyak rasa haru dan sesal.
Sufi yang merasa dirinya berada dalam jelaga dosa, tersadar untuk mencari arti kehidupan. Mencari Tuhan sandaran hatinya.
Berangkat dari kotornya jiwa, ia membersihkan dengan laku perbuatan-perbuatan baik.
Ia kemudian menamakan dirinya sebagai Sufi Anak Zaman.
Ia berharap anak-anaknya kelak dapat meneladani perbuatan baik sebagaimana ia sudah lakukan dalam pencarian arti kehidupan itu.

"Beribadah itu tetap harus bertanggung jawab kepada nafkah keluarga. Tidak harus mengasingkan diri." Begitu kurang lebih prinsip yang hendak disampaikan penulis dalam buku ini.

Membaca buku ini memang harus cermat, terutama ketika penulis mulai menyebut istilah Sufi Anak Zaman.
Petuah kepada 'Nak', sebagai Sufi Anak Zaman, akan terasa sedikit membingungkan. Tapi lambat laun akan mengerti, semua anak yang ia sebut dengan Nak, itulah Sufi Anak Zaman.

Kutipan hadits maupun ayat-ayat alquranul Karim membuat pembaca lebih luas wawasannya tentang perbuatan-perbuatan baik yang telah diisyaratkan dalam hadits maupun ayat-ayat itu.

Bacaan ini membuat kaya batin pembacanya. Dan tentunya membuat kaya penulis dan penerbitnya jika best seller. Semoga.

...
Sidoarjo, 18 Juli 2018
#Rumah_Sunduk_Sate
#PWI

Minggu, 03 Juni 2018

Berbisik Lagi Dengan-Nya


Kalam-Nya seperti belantara aksara hijaiyah. Jutaan diksi dengan susunan syair ajaib. Rima dan makna yang sungguh ajaib, tersurat dan tersirat.
Akan mudah tersesatkah ?
...
Langkah terjejak fokus, fokus, dan fokus.
Maka setapak demi setapak, terbuka jalur yang harus dilalui.
Kata, kalimat, selesai satu judul surat. Maka surat demi surat terlampaui pada malam bertabur ampunan.
...
Khatam.
...
Rndu kepada-Nya seperti candu.
Dan aksara yang hanya lewat pada ujung lisan meracuni hati.
Terjemah.
Yah, terjemah.
Subhanallah, walhamdulillah, wa la illahailallah wallahuakbar.
...
Kisah para nabi dan orang-orang yang dijadikan contoh kehidupan, kejadian, dan semua kebesaran-Nya, penuh dengan kalimat sastra yang begitu indah.
...
Juz Amma, surat-surat pendek, jelas nyata rima dan maknanya yang begitu dahsyat.
...
Sesungguhnyalah Allah SWT, Mahapenyair penguasa diksi semesta.
...
Salahkah aku jika sebutir debu kepenyairan-Nya, membalut hati dan napasku untuk mengikuti jejak-Nya?
...
#ada_bahagia
#dahsyat_di_dada
#tadarus
#pada_malam_ramadan

...
Sidoarjo, #Rumah_Sunduk_Sate

Berbisik Kepada-Nya




Kuketuk pintu malam-Mu

Sibakkanlah kabut-kabut alam ini  agar tak satu pun bintang pecah oleh ketak hati-hatianku

Tunjukilah aku jalan dengan cahaya-Mu yang sekilas nampak redup namun sesungguhnya menggelorakan hidup

Tunjukilah aku tempat di mana kuharus menyerahkan iman dan taqwaku ini

Aku tahu sisi-Mu taklah bertepi

Setiap manusia yang pergi menghadap-Mu berharap tempat di sisi-Mu, sedekat-dekatnya dengan-Mu

Lantas sisi yang manakah yang Kau ikhlaskan untukku?

Di ujung paling tepi sisi-Mu jika itu mau-Mu, aku akan menerimanya dengan penuh syukur

Sebab aku merasa, dosa dan kesalahanku masihlah lebih besar dibanding timbangan amal ibadahku

Aku akan tetap bersyukur, meski aku harus menggantungkan diri ini pada sehelai rambut yang terikat hanya pada ujung berkas cahaya-Mu

Dan sungguh aku akan tersungkur pada rasa syukur yang meledakkan jiwa, jika Engkau pada akhirnya mengikhlaskanku, terlelap nyaman dalam pelukan-Mu.
Dan bukan sekedar di sisi-Mu. ( Subhanallah walhamdulillah wala ila ha ilallah huallahuakbar)
#Rumah_Sunduk_Sate Sidoarjo, 3 Juni 2018

Minggu, 06 Mei 2018

KRECO SERAPAH


Masyarakat Jawa Timur tidaklah asing dengan sejenis molusca yang banyak ditemui diperairan dangkal seperti sungai-sungai kecil dan sawah.
Nyaris seperti bekicot tapi lebih bulat dan ukurannya sebesar ibu jari orang dewasa. Cangkangnya hitam berlumut hijau.
Di pasar banyak dijual 'telanjang', artinya sudah dibuang cangkangnya. Hati-hati jangan salah dengan keong emas.

Cara membedakan dengan keong emas, pada perut keong emas ada gumpalan bulat kecil isi perut. Sedang pada kreco gumpalan bulat berisi kotoran kekuningan itu tidak ada.
Mungkin untuk afdolnya, beli saja kreco yang masih bercangkang.

Minggu pagi, keluyuran ke Limgkar Barat Sidoarjo yang sepanjang jalan dari depan Mc D sampai ujung jalan menuju Pasar Larangan dipenuhi pedagang kaki lima.
Pakaian, alat masak, sepatu, buah, pecel, makanan siap saji sampai sempak ada di sana.
Nah, kulirik di antara macetnya kendaraan lewat yang nyaris semuanya melongok-longok dagangan, ada ibu yang sudah sepuh menyandarkan sepeda motor bebek.
Pada boncengannya ditancap sebuah banner kecil bertuliskan KRECO SERAPAH.
Ah, penasaran aku.

Baru sekali ini aku membcanya. Apa sih, serapah itu. Mosok sumpah serapah?
Aku menepi dan langsung memesan satu porsi bungkus.

"Pinten, Bu?"

"Sedasa ewu, Ning!" jawabnya sambil mengambil selembar plastik satu kiloan.

Tangannya mengaduk panci penuh kreco dengan sebuah irus besar.
Kuperhatikan, gerombolan kreco berenang di dalam kuah berselimut putih-putih entah parutan apa.
Dituangkan dua irus kreco kemudian diikat begitu saja tanpa karet.
Dimasukkan dalam kresek dilampiri sebuah tisu kuning dalam plastik yang disemat dua buah tusuk gigi.

"Hmmm, enak nih," gumamku sambil membayangkan rasanya seperti apa.

Sampai kubuka plastiknya di rumah, aku belum tahu rasanya seperti apa.
Yang menarik perhatianku adalah serutan putih dalam kuah tadi. Kujumput dengan jari.

"Kelapa tapi, kok, gak gurih?"

Eh, malah menggigit sepotong rasa jahe dan sepotong lagi rasa lengkuas.
Kuseruput kuahnya. Pedas gurih tapi tidak berminyak seperti kuah lodeh.
Ah, embuhlah bumbu apa, yang penting enak dimakan siang-siang yang panasnya luar biasa.
Dengan tusuk gigi, kucongkel si Kreco agar keluar. Kalau masih bandel, terpaksalah kuisap-isap tanpa ampun. Eh, hati-hati ada lempeng yang menutup permukaannya, jangan sampai tersedak, ya.

Usai menyisakan cangkang dalam kresek, kucari di kumpulan resep Mbak Google.
Ealah, ternyata bumbu serapah itu bumbu asli Indonesia yang bahan bakunya mudah dicari.
Bawang merah, bawang putih, cabe rawit, jahe, lengkuas yang ditumbuk halus kemudian ditumis.
Setelah harum, masukkan santan encer dan tambahkan air sesuai banyaknya kreco.
Kreco yang sudah dimandikan dengan bersih, artinya digosok semua lumut dan tanah yang melekat, kemudian ceples pantatnya dengan pisau dan keluarkan kotorannya.
Lubang di pantat ini selain membersihkan kotoran, juga memudahkan keluarnya kreci saat diisap-isap.
Setelah masak, masukkan kelapa parut (kebetulan yang aku beli kemarin kelapanya rasanya tinggal ampas doang karena tidak gurih sama sekali) lalu biarkan mendidih lagi lalu angkat.
Tentu saja jangan lupa garam dan gula jawanya dengan perbandingan seseimbang mungkin, hingga terasa gurih.

Ya, itu hasil keluyuranku pada Minggu Pagi.
Jangan takut keracunan. Kalau masaknya bener, dijamin tidak akan keracunan. Apalagi kreco ini mengandung protein dan zat-zat lain yang manfaat untuk tubuh.

Mau lebih seru?
Mari terjun ke saaah dan sungai-sungai kecil, berburu kreso.


*Sidoarjo, 7 Mei 2018
#Rumah_Sunduk_Sate


Kamis, 03 Mei 2018

Sekadar Meong





Hampir tengah malam. Kepala masih sering sedut senut datang dan pergi. Sudah dua hari ini begitu tanpa kutahu apa sebabnya. Tepat di atas telinga kanan, diikuti dengan gembuk yang sakit jika disentuh.
Ah, sudahlah. Penyakitku memang begitu. Datang dan pergi tanpa permisi. Tempatnya pun berubah berpindah tempat.
Pernah tak bisa jaga dari jongkok. Benar-benar tak mampu kaki ini mengangkat tubuh bagian atas.
Aku yang biasa loncst dan lari sebagai pemain voli, harus berhenti total. Jika kupaksa berlari, saat lari bisa melesat, tapi sesudahnya lumpuh tak berdaya, tidak kuat lagi berdiri.
Pernah juga didiagnosa sakit jantung karena ada hubungannya dengan tensi tinggi. Dada gedebag gedebug dan kadang seperti bendera berkibar.
Paling akhir yang agak miris adalah datangnya kesemutan di tangan kanan pada setiap Subuh di kamar mandi. Jalan mengantisipasinya adalah membaringkan tubuh telentang, lurus, diam, seka dengan minyak kayu putih sekujur tubuh. Untuk beberapa waktu dapat teratasi.
Puncaknya rasa semutan itu menjalar ke pundak lalu ke pipi sebelah kanan.
Aku berusaha untuk tidak panik. Tetap dengan cara yang sama penanganannya sambil kusambat.

"Berhentilah. Jika memang tiba waktuku, jangan seperti ini."

Alhamdulillah, semutan mengendur dan tubuh kembali normal.
Kuperiksakan ke dokter, katanya hanya kecapekan. Diberi obat generik pereda nyeri, pengencer darah, dan vitamin darah.
Kemudian lama aku tidak sakit apa-apa lagi.
Baru kini dengan modus baru tusukan di kepala.
Lucunya kalau dibawa beraktifitas rasa sakit itu hilang. Hla, apa harus ngerumpi terus?

Pernah juga terjadi, lututku nyeri amat sangat yang datangnya juga setiap Subuh.
Kali ini aku tak tinggal diam. Pikirku, sakit di dalam pasti ada sebabnya.
Kubawa ke klinik untuk rongent lutut dan jantung.
Hasilnya, jantung normal. Sedang pada lutut ada peradangan, bukan osteoporosis.
Diobati, sembuh.

Dengan berlalunya waktu sering aku bertanya kepada diri sendiri.

"Adakah orang lain pernah sakit seperti diriku? Datang dan pergi dengan sakit yang berbeda dan tak pernah balik lagi?"

Bhaaa...
Kuhibur diriku sendiri dengan rasa syukur.
Masih diberi sehat tanpa sakit yang berarti sampai hari ini.

Mungkin pola hidup dan pola berpikir yang menjadi penyembuhnya.
Sejak memutuskan untuk hidup ikhlas, hidup dengan kesadaran bahwa aku itu sejatinya tak punya milik apa-apa, bahkan terhadap pasangan hidup dan juga anak-anak yang kesemuanya adalah amanah untukku, hidupku terasa begitu ringan.
Keikhlasan yang melahirkan rasa sabar, pengendalian diri terhadap amarah, bicara maupun prilaku yang lebih tenang. Menghindari konflik apa pun dengan siapa pun.

Bukan tanpa sebab.
Aku bisa begitu karena pernah jatuh bangun berusaha merebut yang fana dari kehilangan.
Rasa sakit, kesedihan, penderitaan, airmata yang menyungkurkanku pada kesadaran baru.

"Takabur aku jika aku menganggap milik semua ini. Semua milik Allah SWT. Aku hanyalah pengemban amanah."

Rumah tangga yang dihiasi dengan ribut dan pertengkaran, berangsur mulai tenang.
Aku lebih banyak diam dan tak meladeni amarah yang masih sering dilontar kepadaku.
Sesakit apapun penderitaan ditimpakan, aku pasrahkan semuanya kepada Tuhanku.
Lama kelamaan aku seperti kehilangan semua nafsu dan harapan.
Harapan kepada manusia yang sering hanya menjanjikan kecewa.
Laku hidupku benar-benar hanya untuk menyelesaikan waktu yang tersisa, mengisinyagerbang  dengan banyak hal baik dan menghamba sepenuhnya kepada Yang Maha Kuasa.

So?
Lanjut seperti ini sampai tiba waktuku.
Menjadi anggota baru alam barzah yang dingin dan sepi dirasa manusia.
Yang menakutkan saat harus memasuki gerbang kematian.
Subhanallah.
Alhamdulillah.
Astaghfirullah.

...
Sidoarjo, 3 Mei 2018
#Rumah_Sunduk_Sate