Minggu, 25 September 2016

[Fiksi Horor dan Misteri] Irun Malang








            Gemericik alir bening menerpa bebatuan. Di sela rimbun pohon raksasa, matahari seperti menyelinap diam-diam, cahaya halusnya memberi hangat lumut-lumut hijau berhias tempias seolah butir embun.

            Air menetes di sela jari sepasang tangan yang menangkup alir air sungai itu. Berkali-kali membasuh dengan kesegaran yang tiada tara.

            “Ah, segarnya,” desah diiringi kibas rambut panjang yang baru saja digerai dari kondenya. Dagu runcingnya tengadah seolah hendak menangkap sinar matahari yang masih malu-malu.

            Tanpa tergesa, pemilik dagu runcing itu, menikmati segarnya udara pagi tepi hutan bukit Wonosalam. Tak ada siapa pun, karena tempat itu jauh dari pemukiman penduduk. Ia, gadis manis yatim piatu yang tinggal bersama kakeknya; menuruni bukit belasan kilometer bertahun-tahun sampai ia lulus SMA. Kini Ia memilih tinggal di rumah, merawat kakek dan  kebun sayur yang menjadi sumber penghidupannya.

            “Sudah selesai buat buburnya, Nduk? Suara Kakek mengagetkan si Gadis yang asik membuat bubur lima warna.

            “Sedikit lagi, Mbah.” Ia menjawab sambil terus menekuni pekerjaannya.

         Hari ini Minggu Kliwon, hari pasaran wetonnya—hari kelahiran dalam penanggalan Jawa. Kakeknya masih memegang tradisi leluhur, setiap weton harus membuat bubur lima warna. Bubur nasi cukup dari segenggam beras. Dibagi menjadi lima warna; putih, kuning, merah, hitam, dan hijau. Bagi si Gadis mudah membuatnya karena sejak ibunya meninggal, ia terbiasa membuatnya sendiri. Memberi warna menjadi bubur kuning, mencampur bubur beras dengan sedikit perasan kunyit, merah dengan menambahkan gula kelapa, hitam mencampurnya dengan bubuk kopi, dan hijau menambahkan air daun suji. Tidak perlu banyak-banyak, masing-masing warna cukup satu sendok.

            “Sudah selesai, Mbah.” Diletakkannya piring di atas bufet.

            “Diperiksa lagi letak warnanya, Nduk.” Kakek mengingatkan sambil memeriksa nyala ‘damar kambang’—lentera yang terbuat dari kapas sebagai sumbu, direndam dalam minyak kelapa—sebagai pendamping bubur.

            Meletakkan warna memang tidak boleh sembarangan karena menyangkut ketenangan batin si pemilik weton. Warna hijau harus selalu diletakkan di tengah, simbol dari keteduhan.

            Meski tak terdengar suara azan, Kakek tahu Maghrib sudah tiba. Mereka segera berwudu dan salat berjamaah. Bubur dalam bayang-bayang damar kambang menciptakan suasana mistis tersendiri di ruang tengah yang hanya diterangi lampu minyak.

            Ayu, pemilik dagu runcing, begitu khusuk dalam dzikir. Meski umurnya belum lagi 25 tahun, ia memiliki kepekaan batin. Mampu menangkap gelombang isyarat dari orang yang membutuhan pertolongan  atau jiwa yang mengembara dari raga yang mati.

            Jantungnya berdesir. Saat ia khusuk, mata batinnya menangkap rintihan. Jantungnya makin berdegup saat ia merasa, ada sosok duduk di hadapannya. Makin lama makin jelas, wajah perempuan muda memakai baju seragam SMA. Pucat pasi dan tidak berkata apa-apa, hanya sorot matanya seolah meminta tolong.

            Cukup lama Ayu meredakan getar dan meluruskan hati menekan rasa takutnya. Jika pun harus melihat penampakan jin dan bala kurawanya, telah tertancap di hati, ia tak boleh takut. Kata Kakek, manusia adalah makhluk yang memiliki derajat paling tinggi di antara semua makhluk ciptaan-Nya. Tidak pada tempatnyalah kalau justru manusia yang takut kepada makhluk-makhluk itu.

Selaras dengan usaha Ayu untuk menguasai diri, Kakek yang sudah menyelesaikan salatnya, melihat nyala damar kambang di ruang tengah bergerak gelisah, padahal tak ada angin masuk ke dalam ruangan itu.

            Ayu menatap wajah pucat penuh nestapa dari sosok  diam di hadapannya. Tapi tiba-tiba muncul  wajah seorang pemuda, berdiri di belakang sosok perempuan itu. Auranya terang, berusia sekitar 20 tahunan. Antara hilang dan timbul, wajah itu menyorotkan ekspresi bingung. Kemudian menghilang begitu saja.

            Ayu fokus kepada sosok perempuan yang duduk di hadapannya. Ayu tahu, sosok ini bukanlah dari jenis jin yang menyerupakan diri seperti manusia, sebab dzikirnya tidak membuat sosok itu menghilang.

            “Salam untukmu jiwa yang mengembara.” Ayu menyapa sosok itu dengan suara batinnya. Beberapa saat hanya suara burung kedasih terdengar di kejauhan rimba. Tak ada jawab, sampai wajah pasi itu mendongak mencari tatap mata Ayu.

            “Salaaam…Kakak,” lirih nyaris meratap.

            “Tolong akuuu….” Sosok itu merebahkan kepalanya di pangkuan Ayu. Tercekat, Ayu melihat dengan jelas, sosok itu adalah remaja cantik meski wajahnya pasi tak berdarah dan matanya nanar berselimut kabut nestapa. Ayu mengelus punggung tak kasat mata itu. Dengan lembut ia berusaha meredakan guncangan sayat tangisnya.

            Di ruang tengah, damar kambang menyala tenang. Ayu sedang mendengarkan cerita batin remaja tak kasat mata itu, yang menutup ceritanya dengan permohonan.

            “Tolong cari dia, Kakak. Aku akan pergi dengan tenang, aku tidak akan datang menemui Kakak lagi. Cari dia, Kakak….”

            Sebelum Ayu menjawab, sosok itu menghilang dari pangkuan Ayu. Meninggalkan cerita dan wangi jiwa murni dalam hati dan pikiran Ayu.

Ayu menarik napas panjang. Kemudian ia menemui Kakek dan menceritakan kejadian yang baru dialaminya. Banyak hal yang Ayu tanyakan kepada Kakek, bagaimana harus memenuhi permintaan jiwa yang sedang mengembara itu.

“Ini hari kejayaanmu, Nduk. Berkah Allah kalau mata batinmu semakin tajam.”

“Iya, Mbah. Doakan Ayu bisa berbuat kebaikan dengan berkah ini.” Ayu mencium tangan kakeknya dan melanjutkan dzikir demi mencari petunjuk-Nya agar dapat menolong jiwa remaja yang tadi hadir di hadapannya.

**

            Sementara itu, ada yang terseok-seok menaiki bukit. Gelap sehabis Isya’ membuatnya jatuh bangun di tanah lembek sehabis hujan. Engah napasnya lebih mengerikan daripada suara-suara hewan malam di sekitarnya.

            Entah berapa jauh sosok itu berlari. Ia tak peduli pada suara-suara pengejarnya yang terdengar semakin jauh. Ia hanya berharap, nyawanya bisa selamat dari amukan warga desanya.

            Sosok itu adalah Irun. Anak kabur kanginan yang dibuang oleh orangtuanya karena dianggap membawa sial. Ketika lahir, ayahnya bangkrut, tokonya disita oleh rentenir. Tak bisa bangkit dari keterpurukan, hidup miskin tak berkesudahan, tak berubah menjadi kaya meski hari-harinya dilewatkan di meja judi, membuat ayahnya gelap mata. Kala itu, Irun yang baru berumur satu tahun ditinggalkan di sebuah pos kamling desa tetangga. Ibunya meraung, tapi justru digebuki oleh ayahnya. Karena warga desa itu tak bisa menemukan orang tuanya, akhirnya ia diserahkan ke sebuah panti asuhan.

            Hidup di panti asuhan tak sepenuhnya membahagiakan. Kasih sayang yang didapat juga seadanya karena harus berbagi dengan anak-anak lainnya. Namun demikian, Irun tak pernah mendendam kepada orang tua yang ia tak ingat lagi bagaimana wajahnya. Disekolahkan oleh panti, ia mensyukurinya. Meski hanya sampai SMP ia bangga karena bisa bekerja menjadi pembantu di rumah seorang juragan sapi. Prilakunya baik. Ia disayang oleh juragan dan seluruh anggota keluarganya.

            Tapi kemalangan seolah menjadi garis hidupnya. Kini ia harus meninggalkan rumah juragannya, dikejar-kejar warga sampai ia harus menerobos rimbun hutan pada malam yang gelap seperti ini.

            Ayu yang mengambil air wudu di sumur untuk salat malam, mendengar kerisik di belakang dapur. Penerangan yang seadanya, tak menjangkau pandang di sana. Ayu hanya menoleh sebentar, tapi nyaris pingsan ketika di belakangnya berdiri sosok yang tak jelas wajahnya. Ketika akan berteriak, sosok itu sudah membekap mulutnya. Ia meronta, mencakar, dan menendang apa saja yang ada di sana, berharap kakeknya mendengar jerit ketakutannya.

            “Sttt…sttt..diam…diam….” Sosok itu berbisik di telinga Ayu.

        Ayu terus meronta, mencakar sekenanya, dan sempat menggigit bahu sosok yang membekapnya. Kakinya menendang kuat. Bekapan terlepas dan sosok tadi terpental membentur guci padasan tempat air wudu.

            Glomprang!! Brukk!!

            Sepertinya guci pecah diikuti suara jatuhnya sosok pembekap Ayu.

            Ayu tidak berpikir lagi, langsung masuk ke dapur yang pintunya tak tertutup. Dengan gemetar berusaha memasukkan kayu pengunci pintu. Sejenak ia lunglai dan terjerambab di lantai. Tapi segera dapat menguasai diri, memeriksa grendel jendela dan pintu-pintu. Kemudian masuk kamar Kakek, tapi tak berani membangunkan ketika mendengar dengkur halus teratur napasnya. Ayu bersimpuh di bawah tempat tidur Kakek, berdzikir memanjatkan rasa syukur karena terlepas dari mara bahaya. Ia berharap sosok itu pergi jauh-jauh dari rumahnya setelah gagal membekap Ayu.

            “Nduk…ada apa, kok, duduk di sini?” Kakek terjaga dan terkejut melihat Ayu bersimpuh di lantai dekat ia tidur. Terkantuk-kantuk, tapi tangannya terus memainkan biji tasbih.

            “Oh, Simbah…nuwun sewu, jangan ke sumur dulu, ya.” Ayu membantu Kakek turun dari tempat tidur.

            “Lah, kenapa?”

          “Ehm…Ayu lihat dulu, sudah pergi atau belum orang itu.” Bergegas Ayu mendahului Kakek menuju sumur.

            “Hei…orang siapa, Nduk? Ada tamukah?” Kakek memberondong Ayu dengan tanya tapi Ayu terlalu sibuk mematikan dan menyalakan senter. Menguji senter masih baik atau tidak nyalanya.

            Dengan sorot senter, Ayu memeriksa sumur dan tempat padasan. Langkah Ayu terhenti dan lututnya gemetar karena ia melihat ada sosok terbaring di lantai sumur di antara tebaran pecahana guci tanah yang cukup tebal.

            “Kakek…jangan keluar dulu.”

          Ayu mencegah Kakek untuk keluar dan menggenggam kayu pengunci pintu dapur kuat-kuat. Kakek yang masih tidak tahu apa-apa, menurut dan mengendap di belakang Ayu. Ketika mencoba mengintip dari bahu Ayu, rambut panjang Ayu terkibas mengenai wajahnya karena tiba-tiba Ayu memutar kepala, menempelkan jari yamg memegang senter di bibir sebagai isyarat agar Kakek jangan bersuara.

            Satu tangan memegang senter, lainnya Ayu pakai menyodok kepala sosok yang terkapar itu. Tidak ada reaksi. Entah mati atau sekadar pingsan. Setelah memastikan sosok itu tidak bereaksi, Ayu mendekat dan memeriksa, adakah sosok itu membawa senjata. Ternyata tak ada senjata sama sekali.

            Mungkin sosok itu kelelahan, langsung tidur setelah pingsan tertimpa guci padasan. Ayu akan memegang kepala sosok itu, tapi langsung menjauh karena mata sosok itu tiba-tiba terbuka. Belum sadar sepenuhnya, menggeliat, dan berusaha menutup mata dengan lengannya ketika sorot senter Ayu mengarah kepadanya.

            Belum sadar sepenuhnya, Kakek yang masih kekar, meringkus dan mengikat sosok itu dengan tambang yang masih terikat pada ember yang biasa dipakai untuk menimba.

            Sosok yang ternyata anak muda berumur dua puluhan, diam saja dalam ringkusan Kakek. Wajahnya penuh bekas cakaran, barangkali kuku Ayu mengukir wajah tampan pemuda itu ketika bergumul semalam.

            Saat tanah terang seiring riuhnya kokok ayam jantan, pemuda yang diikat pada batang pohon sirsak oleh Kakek, terlihat jelas begitu kumuh. Tanpa alas kaki, celana butut yang tak jelas lagi warnanya robek di sana sini, kaus kuning bergambar sapi dengan tulisan Juragan Ramli, semuanya berlepot lumpur. Menyempurnakan kemalangan pada wajah tampannya.

            Ketika Ayu mendekat dan mengamati pemuda itu, Ayu terperanjat.

           “Heh, bukankah itu wajah yang kemarin ada di belakang jiwa pengembara?” gumamnya sambil terus berpikir apakah ada hubungannya satu sama lain.

            Karena tidak memperlihatkan sikap membahayakan, Kakek membawa pemuda itu ke ruang depan. Masih dalam keadaan terikat, karena Kakek berjaga-jaga saja. Ayu memberinya teh hangat dan sarapan seadanya.

            “Namaku…maafkan tindakanku semalam, Mbak,” ujarnya setelah tubuhnya terasa segar. Kakek menatap Ayu penuh tanya tentang kejadian semalam. Tapi Ayu hanya mengedip dan menggeleng, seolah mengatakan tak ada apapun yang terjadi.

            Ayu kembali mengingat wajah pemuda itu ketika terlihat oleh mata batinnya. Mengapa auranya terang? Karena ternyata wajah ini masih hidup. Ayu hanya bisa melihat, tapi tak bisa berkomunikasi lewat batin dengannya. Lain halnya jika orang itu juga memiliki kepekaan mata batin, bisa berkomunikasi meski raga berjauhan. Ah, sudahlah, yang penting sekarang Ayu akan bisa mengorek semua hal yang masih misteri ini.

            “Tidak apa-apa, kan, kalau Kakek antar nak Irun ke Polsek terdekat?” Kakek meminta pendapat Irun setelah mendengar pengakuan menyedihkan sampai ia diburu warga desa.

            “Tidak apa_apa, Kakek…tapi aku tidak mau mati…aku tidak melakukannya.” Air mata kembali membasahi wajah tampan yang masih berlepot lumpur dan bekas cakaran.

            “Aku minta maaf, Mbak…semalam aku hanya ingin Mbak diam. Aku hanya ingin istirahat dan makan karena seharian lari dari kejaran warga.” Lirih katanya dan tak berani menatap Ayu. Ayu tak sepenuhnya memercayai apa yang diceritakan Irun, dikejar warga karena disangka melakukan perkosaan terhadap anak gadis Juragan Ramli, juragan tempat ia bekerja.

              Di Polsek Wonosalam, Irun diserahkan kepada petugas yang langsung menjembloskannya ke dalam sel tahanan.

        Di sel sempit itu Irun tetap berurai air mata. Ia merasa Tuhan tidak pernah berlaku adil kepadanya. Dibuang orang tua, hidup di panti asuhan, disangka memerkosa anak juragan yang sesungguhnya sangat ia lindungi. Sejak bekerja di rumah Juragan Ramli, ia sangat menyayangi Anna. Anak SMA yang cantik dan santun meski ayahnya terlihat seperti Abang Jampang. Galak dan menakutkan. 

          Hingga suatu hari, Anna ditemukan warga di kebun jagung belakang pasar sapi saat ia baru pulang karya wisata. Tubuh telanjangnya ditutup dengan seragam SMA-nya. Bercak darah di mana-mana. Bahkan di kuku jarinya ada secuil kulit, yang mungkin hasil cakaran saat ia meronta.

            Saat ditemukan warga, Anna masih hidup dan sempat menyebut satu nama, “Irun…Irun...,” kemudian terkulai dan tewas.

         Sejak itu warga memburu Irun dan menemukan Irun yang berkeliaran di kaki bukit Wonosalam.

           Ketika hasil otopsi Anna keluar, ada kesamaan golongan darah Irun dengan darah yang ada di kuku Anna.

          Irun makin histeris. Irun mengamuk dan membetur-benturkan kepalanya di dinding sel tahanan.

            “Tidak adil! Tidak adil! Aku tidak melakukannya…,” teriaknya.

           Teriakannya tidak digubris Polisi jaga, tetapi sebentar kemudian malah digotong ke Puskesmas karena percobaan bunuh dirinya yang gagal itu.

            Di bukit Wonosalam Ayu bernapas lega. Sosok perempuan muda yang ada di pangkuannya kemarin adalah Anna. Ayu mendoakan ketenangan jiwa Anna, agar tidak mengembara lagi karena pemerkosa dan pembunuhnya telah ditemukan.

            **

            Sementara itu di desa sebelah, seorang pemuda lebih muda tetapi berperawakan dan berwajah persis Irun, bermabuk-mabukan dan berjudi bersama lelaki tua yang juga mirip Irun. Dalam mabuknya, sesekali ia menggaruk luka bekas cakaran yang mulai bernanah.

            **

Catatan:
Nuwun sewu: permisi, maaf
           
*Tulisan ini diikutsertakan dalam Event Fiksi Horor dan Misteri Grup Fiksiana Community

#FiksiHorordanMisteri           
           

Jumat, 09 September 2016

Ada Apa Dengan Anglocita




 Membayangkannya seperti nama seorang gadis cantik berkulit putih, wajah kebule-bulean, tubuh tinggi semampai dengan rambut hitam tergerai di punggung berpinggang ramping.

Jika itu seorang gadis maka nama Anglocita sangatlah pas. Tapi yang nyata adalah sebuah buku kumpulan puisi berjudul Anglocita.

Barangkali terasa asing. Tapi jika dicari maknanya, anglocita bisa diartikan sebagai curahan hati. Dan dalam hal ini, kumpulan puisi yang ditulis oleh Alpaprana memang dimaksudkan sebagai karya yang lahir sebagai curahan hatinya.

Kegelisahan jiwa dalam pengembaraan daya ciptanya, dilukiskan melalui rangkaian kata dengan pendekatan kepada semesta. 

Puisi-puisi lahir dari rahsa Alpaprana dalam bahasa yang barangkali terasa asing untuk pembacanya. 
Yah, ia ingin menjadikan dirinya sebagai penulis yang mempunyai karakter unik, dalam hal ini ia mengajak pembaca untuk rajin membuka kamus Sanskerta.

Bikin pusing?
Tentu tidak. Bukankah Mbah Google selalu siap menolong siapa pun yang sedang dalam kesulitan?

Untuk memudahkan penyampaian maksud anglocitanya, Alpaprana mengelompokkan puisi-puisinya menjadi enam bab. Sebagai contoh, untuk menyampaikan rahsanya tentang sunyi, ia memberi judul babnya dengan Memiliki Kesunyian.

Dalam puisinya ia bertanya, "Untuk apa sunyi?"
Perenungannya kemudian berdenyut seperti detak nadi. Tidak berhenti namun terus bergerak dalam kelembutan.
Hingga tiba pada suatu perhentian, ia berkata, "Pada batas kekosongan nalar, waktu pun lenyap, makna menjawab. Isi jiwa memiliki kesunyian."
Ketika sampai pada relung atma terdalam, ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa 'dalam wujudku, rahsa memiliki kesunyian'

Wow...curahan hati yang cantik.

Alpaprana yang belum genap 30 tahun semakin liar dalam pengembaraan jiwa. Ia menelusuri pergerakan semesta, menghanyutkan diri dalam jiwa semua ciptaan-Nya. Bulan, angin bahkan daun mahoni pun dapat ia maknai perlambangnya.

Pada bab lain yang diberinya judul Syair Berdarah, secara spesifik ia tak memberi judul pada lima puisi yang tergabung di sana. Ia hanya menandai judulnya dengan #1 sampai dengan #5. Entah mengapa dibuat seperti itu. 
Dan mengapa ia menamai puisi-puisi itu dengan Syair Berdarah? Adakah ia menuliskan rahsa tentang peistiwa-peristiwa berdarah?
Gelebah. Kesedihan hati. Mungkinkah itu yang membuatnya menulis Syair Berdarah?

Masih banyak puisi lain yang menarik. Tapi jangan berharap dapat mengerti jalan cerita pada setiap puisinya. Sebab semua juga tahu, puisi itu mutlak hanya penulisnya yang tahu maksudnya secara detail. Pembaca hanya bisa menikmatinya, syukur-syukur bisa memahaminya, meski cuma sedikit. 

Anglocita, tampil begitu menawan, seperti noni-noni di atas. Diterbitkan oleh Penerbit Jentera Pustaka (Mata Pena Group), disunting oleh Nur Ridwan, hadir dalam ketebalan 140 halaman, terbit pada tahun 2016.

Satu hal penting yang membuat buku ini nyaman dibaca adalah kreatifitas layouter Kharisma Amalia menampilkan dua kolom dalam tiap halamannya. Karakter dan ukuran huruf pun pas, ruangan yang tidak berjubel dengan kata seolah memberi ruang untuk lebih bisa menikmati puisi yang terpampang di sana.

Melenakan, sampai tak terasa, 99 puisi dilahap dengan nikmat. 

Mau tahu keseluruhan isi Anglocita?
Miliki bukunya.
Kita bisa berbincang dan menggosipkannya nanti.

Tabik literasi!


Sidoarjo, menjelang Maghrib.