Selasa, 29 Desember 2015

MENYELAMI KEDALAMAN ' SKETSA SEBUAH SENYUM '



Menjadi kejutan akhir tahun 2015, sebuah buku berjudul Sketsa Sebuah Senyum dihadiahkan kepadaku. Tak nyana, sebab Elisa Koraag, penulisnya, telah memilihku menjadi salah satu penerima bukunya, tanpa kutahu alasan apa ia memilihku. Senang tentunya, dapat tambahan ilmu dari seorang pecandu puisi yang telah berkelana ke banyak kota untuk membaca puisi.

Sebuah buku mungil dengan cover putih bersih, dihiasi sebuah sketsa kepala feminin dari seorang perempuan bergincu merah. Penasaran ingin segera melahap lembar demi lembar, mengunyah dan menelan isinya tanpa sisa.

Menyimak ungkapan pada pengantarnya, alasan utama lahirnya buku ini adalah sebagai tanda,  Elisa Koraag, berulang tahun ke-50, telah menorehkan jejak pemikiran dan ungkapan rasa sebagaimana tertuang dalam puisi yang ditulisnya. Bertahan dalam keabadian, bahkan sepeninggalnya kelak.

Entah disengaja atau tidak –tampaknya disengaja- bukunya berisi 50 judul puisi, selaras dengan jumlah umurnya pada saat buku ini terbit. Tidak dijelaskan apa alasan ia memilih judul Sketsa Sebuah Senyum.
Tapi alasan itu terjawab, setelah membaca puisinya dari judul yang sama di halaman 73. Ia berkisah tentang penantian di ujung senja dalam balutan duka yang lama ia simpan. Sebagaimana ia tulis,

      Kau tak akan lihat duka di telaga mataku
      Karena air telaga telah mengering
      ...........
     Mimpi yang kurajut telah menjadi permadani kesabaran
     Yang terbentangkan di jalan kehidupanku
     Dan sore ini kuberikan sebuah sketsa senyum

Tampaknya puisi ini sangatlah spesial sehingga terpilih menjadi judul bukunya.

Aku tercekat saat membaca lebih banyak lagi lembar demi lembarnya. Bahasanya lugas, tegas, sederhana, tak bersayap ataupun penuh misteri sebagaimana biasa digunakan penyair-penyair. Ini memudahkan pembaca menangkap dan memahami rasa apa yang sedang Elisa remas dalam puisinya.

Seperti rasa muaknya kepada para koruptor, bebas lepas ia tuangkan dalam beberapa judul puisinya. Berapi-api begitu garang sebagaimana tertulis dalam Aku Harus Mencaci Atau Berdoa?

     Kalian tak lebih dari tikus got jorok dan berpenyakit
     Kalian menjilat bokong berlemak, berisi tai para penyogok
     Yang tertawa di atas derita rakyat atas sejumlah proyek fiktif
     (halaman 18)

Ini semacam kegalauan berat, sampai-sampai ia menutup puisi ini dengan bait,

     Aku harus mencaci atau berdoa?
     Mencaci kebiadaban kalian
     Atau berdoa agar kalian disambar petir
    (halaman 19)

Elisa juga gemas melihat ketimpangan-ketimpangan sosial yang tak berpihak kepada si miskin, kaum perempuan, dan masalah sumber daya alam Indonesia. Darahnya menggelegak. Merah putih jiwanya tak diragukan, tercermin dalam puisi Merah Darahku, Putih Sukmaku .

Elisa juga sangat menyayangi keluarganya. Saat merasa bersalah kepada anak-anaknya, dengan rendah hati ia tak malu meminta maaf, sebagaimana ia tulis dalam Bunda Mencintaimu! Dan untuk ibundanya, ia menulis Doamu Kekuatanku.

Pengembaraan jiwa sebagai perjalanan rohani, telah pula dilaluinya. Hingga ia menemukan apa yang ia cari. Dalam Kelana Jiwa ia bertutur,

     Mengembara rasa di hati mencari Altarmu ‘tuk kubersimpuh
     Pada-Mu ‘kan kuakhiri kelana jiwa ini
     Tuhan, peluk aku dengan erat

Secara keseluruhan, puisinya sarat makna. Kata mengalir dalam kesederhanaan. Di awal buku, puisi yang ditulis pada tahun 2009 terasa sangat datar dan belum menunjukkan jati diri Elisa yang sesungguhnya. Apalagi ilustrasi pendampingnya kurang greget, mengingatkan pada ilustrasi buku Bahasa Indonesia anak sekolahan. Barangkali akan lebih menggigit jika ilustrasi pendampingnya goresan seperti yang tertera pada cover.

Tentang bentuk puisi, sangatlah beragam. Ada yang ditulis hanya dua baris saja, ada yang rapi berbaris pada bait empat baris, ada yang campuran, ada pula yang bebas seperti jalan tol. Itu tidak menjadi kekurangan, tetapi justru menunjukkan betapa luasnya rasa yang hendak Elisa tebar lewat puisi yang ia penuhi rongga-rongganya dengan ruh. Menjadi perangkap untuk pembaca agar larut dan hanyut sampai ujung kisah.

Seharian bersama Sketsa Sebuah Senyum, membuat rasaku menyatu dengan ruh Elisa Koraag. Ada marah, ada garang, ada bijak, ada manja, ada sendu, tapi serius. Tak ada yang slengekan atau main-main. Itulah Elisa Koraag yang menyatu dengan puisi-puisinya.

Semoga karya-karyanya yang lain menyusul terbit, tak kalah indahnya dengan buku ini.
Salam.


 *Sidoarjo, 29 Desember 2015
     

       

Sabtu, 05 September 2015

( HARUSNYA) JADI PEREMPUAN CERDAS

Sungguh suatu anugerah terindah, jika diciptakan menjadi perempuan. Makhluk yang sekilas tampak lemah, tapi menyimpan "tenaga" yang sangat luar biasa. Bagaimana tidak?
Awal mula kehidupan manusia, Allah SWT titipkan segumpal darah yang IA tiup ruh di dalamnya, tumbuh menjadi bakal manusia. Perubahan raga secara menyeluruh, di dalam tubuh maupun tampilan luar, bukanlah hal yang mudah untuk dilalui. Dalam kodratnya, perempuan menyimpan kehidupan lain yang selalu bertasbih kepada Ilahi. Jiwa dan raganya berkalang cahaya Ilahi.

Ketika makhluk-makhluk kecil terlahir dari gua garbanya, lahir pula tugas baru untuk seorang perempuan. Ia adalah penjaga kelestarian dunia. Anak-anak yang dilahirkannya akan menjadi pelestari atau perusak dunia, semuanya sangatlah bergantung pada kasih sayangnya kepada anak-anak itu.

Karenanya, perempuan adalah makhluk yang sangat istimewa. Tapi mengapa hingar bingar dunia menutupi semua keistimewaan itu? Mengapa justru perempuan banyak diperlakukan semena-mena dan dijadikan sekedar pemenuhan hasrat biologis saja? Yah, barangkali karena perempuan banyak yang tidak tahu dan tidak merasa bahwa dirinya sebenarnya adalah makhluk istimewa.

Sebagai contoh kasus, maraknya pernikahan sirri di negeri ini, yang tersingkap bersamaan dengan banyaknya kasus korupsi oleh pejabat pemerintahan maupun petinggi partai politik. Perempuan-perempuan (katanya) sudah dinikah secara sirri.

Adakah mereka menyadari, apa konsekuensi mereka jika dinikah secara sirri? Sebenarnya, apa sih, nikah sirri itu?

Yang pertama, nikah sirri itu adalah pernikahan yang dihadiri wali dan dua orang saksi tetapi saksi-saksi itu tidak boleh mengumumkan kepada khalayak ramai alias bungkam.
Yang kedua, nikkah sirri itu adalah pernikahan yang dilakukan dengan wali dan dua saksi, tetapi pernikahan itu tidak dicatatkan di KUA.

Secara agama, nikah sirri itu dianggap sah karena dihadiri wali, dua orang saksi dan diucapkannya ijab qabul. Tapi secara hukum negara, pernikahan sirri ini dianggap tidak sah.

Perempuan cerdas, dengan alasan apapun (harusnya) menolak pernikahan jika yang diminta oleh pihak laki-laki adalah pernikahan sirri. Sebab apa?
Perempuan yang dinikah secara sirri, tidak punya kekuatan hukum apapun jika sewaktu-waktu lelaki yang menjadi suaminya tidak menjalankan kewajibannya. Baik itu kewajiban menafkahi lahir maupun batinnya.
Bahkan untuk menceraikannya pun semudah ia melakukan pernikahannya dahulu. Cerai lewat sms? Boleh jadi. Bahkan lari begitu saja, siapa yang bisa mengejarnya?
Alasan supaya menghindari zinah? Itu hanya mau ambil enaknya saja. Kalau mau hindari zinah ya menikahlah dengan benar. Tak usah sembunyi-sembunyi. Toh jika terjadi kehamilan (bukankah nikah itu adalah kegiatan menabur benih) akan terlihat juga nantinya.

Dan apa yang terjadi jika dari pernikahan itu lahir anak-anak?
Ada atau sudah pergi bapaknya, anak hanya akan mempunyai hubungan perdata saja dengan ibunya. Di dalam akta kelahirannya, hanya tercantum nama ibunya saja, nama bapaknya tidak ada. Sebab salah satu syarat membuat akta kelahiran adalah akta nikah bapak dan ibunya.
Barangkali ini (harus) menjadi pemikiran perempuan cerdas. Sebagai seorang ibu yang mendapat amanah menjadi pelindung dunia, anak-anak harus diberi kenyamanan dalam kehidupannya. Aturan negara tentang sekolah dan semua aspek kehidupan yang harus dijamin dengan kepastian hukum diri seorang anak, berawal dari kejadiannya yang juga harus dilindungi oleh hukum.

Meski dalam perkembangan hukum Indonesia, Mahkamah Konstitusi memberikan terobosan hukum, jika secara teknologi pengetahuan, anak dapat dibuktikan sebagai anak ayahnya, ia dapat minta pengakuan sebagai anak. Tetapi untuk perempuan yang belum terlanjur melakukan pernikahan sirri, berjuang keraslah untuk mengenyahkan ajakan nikah sirri itu.

Nikah sirri dan nikah secara hukum negara itu sama enaknya. Tetapi jika terjadi permasalahan dan berakhir dengan perceraian, nikah secara hukum negaralah yang akan terasa lebih enaknya.
(Harusnya) jadi perempuan cerdas tidak perlu menunggu kalau mau nikah saja, tetapi harus dikondisikan dalam otak mulai anak mengenal hasrat terhadap lawan jenisnya.
Jika bukan diri sendiri yang memperjuangkan hari depan, siapa lagi?
Ayolah kawan perempuan, lindungi diri dengan tameng hukum di negeri yang semuanya serba hukum ini.


* Sidoarjo, 6 September 2015
* Perempuan Garda Bangsa







Kamis, 12 Februari 2015

TEMPURUNG KITA

" Aku membacamu. Aku membacamu. Sungguh aku membacamu "
" Ah kau hanya main-main saja. Lihatlah, belum kau buka sama sekali apa yang kutulis untukmu."
" Maafkan aku. Maafkan aku. Aku sedang fokus pada tulisanku untukmu."
" Kau menulis untukku? Sejak kapan? Mengapa tak pernah sampai padaku?"
" Ya..ya...aku menulis beribu bahkan berjuta kata untukmu. Sungguh aku menuliskannya."
" Tapi mana?"
" Bersabarlah. Bersabarlah. "
Klik. Layar komputer padam. 
Klik. Layar komputer nyala kembali.
" Selamat malam. Engkau masih di situ?"
Dag dig dug  adalah satu-satunya musik mendebur seluruh raga.
Dag dig dug adalah satu-satunya denyut tanda jantung masih berdegup. Masih hidup.
Notifikasi berdentung.
"Selamat malam. Ya, aku masih di sini "
Blar. Seperti jebol bendung Katulampa. Dad dig dug berubah menjadi desir.
" Maafkan aku kalau aku sungguh tak bisa sabar. Aku tahu, sabar itu adalah tidak bertanya apapun sampai kau menerangkannya sendiri nanti padaku. Maafkan aku."
" Ah sudahlah. Bukankah tadi sudah kukatakan kalau aku sedang menulis untukmu?"
" Ya selesaikanlah. Tapi tolong baca aku malam ini. Kepalaku serasa tercabik jika kau tak melahap tulisan-tulisanku ini."
" Memangnya kau tulis apa? Hah ? Hanya satu kata? KANGEN? "
" Ya. Aku kangen sekali padamu. Komentar-komentarmu selalu membuatku merasa nyaman. Merasa tenang."
" Kau mulai mengeluarkan jurus pendekar mabuk kepayang. Apa saja yang sudah merasuki pikiranmu?"
" Tidak tahu. Aku tak pernah sekalipun berusaha membayangkan wajahmu. Sama sekali tidak. Aku selalu ingat pada rambu-rambu yang sudah kita sepakati bersama."
" Oh ya? Yang utama apa?"
" Yang utama, kita tidak akan pernah -selamanya- saling mengenal raga kita. "
" Yang berikutnya?"
" Yang menjalin hubungan ini adalah hanya jiwa saja. "
" Lainnya?"
" Tidak ada rambu-rambu agama, tidak ada rambu-rambu sosial, tidak ada rambu-rambu hukum, tidak ada rambu-rambu apapun."
" Konsekuensinya?"
" Kita tidak saling bicara tentang status, tentang ketentuan agama mengenai status, tentang sanksi sosial mengenai status, tentang apapun status raga kita."
" Dan?"
" Pikiran kita bisa leluasa memosisikan diri sebagai adik, kakak, teman, musuh bahkan boleh sebagai suami istri."
" Lalu?"
" Ayo kita sekarang memosisikan diri sebagai suami istri. Aku kangen."
" Apa yang akan kau tulis saat engkau menjadi suamiku dan aku menjadi istrimu?"
" Sayang, percayailah aku. Akupun akan mempercayaimu. Fondasi utama suami istri itu adalah saling percaya. Kita lakukan itu dengan ketulusan dan keikhlasan. Jika aku berada di luar rumah, iringi pikiranku dengan doa keselamatan dan pikiran-pikiran yang positif. Jangan pernah pikiranmu terkunci dan tak membangun komunikasi denganku. Katakan apa saja yang ingin kau tahu. Dan akupun akan melakukan hal yang sama padamu. Tidak ada setitik rahasiapun di antara kita. Pikiranku dan pikiranmu tak terhalang oleh tempurung apapun. Semuanya dapat dilihat secara transparan dari sudut manapun."
" Ya. Aku setuju dengan pikiranmu itu. Namun demikian, ada hal yang kadang tak bisa dinalar. Para suami atau para istri terkontaminasi oleh perubahan pikirannya terhadap berubahnya waktu. Di masa-masa awal hubungan, bisa jadi komitmen masih dipegang teguh. Begitu kebersamaan memasuki tahun ke-3, ke-5, ke-8, ke-11 dan seterusnya, misi dan visi mulai memudar. Kadang karena ada kesenjangan pola berpikir, salah satu mengalami kemajuan pesat dalam pikir karena pendidikan, karir dan status soaial yang tinggi, sementara pasangannya pikirannya masih jalan di tempat, masih seperti yang dulu."
" Ya. Aku juga tidak bisa memungkiri kenyataan itu. Bahkan pikiran yang mampu membuat raga berubah, bisa jadi membuat komitmen bisa diingkari. Suami merasa istrinya sudah seperti jemuran lusuh karena berkutat dengan kesibukan rumah tangga, atau merasa istrinya seperti artis papan atas yang glamour dengan pekerjaannya. Atau istri merasa suaminya seperti bos-bos banyak duit yang tidak tahu bagaimana cara memanfaatkan kekayaannya selain membeli perempuan-perempuan yang haus uang, atau justru suami yang terpuruk dengan kesuksesan istrinya."
Klik. Layar komputer padam. Listrik tiba-tiba mati.
" Sayang. Sayang. Kenapa padam? Biarlah kali ini kubisikkan pikiranku dalam hatimu. Aku akan terus setia padamu. Sungguh. Aku akan terus mengasah pikiranku dan pikiranmu dalam langkah yang setara. Aku akan selalu menunggumu jika engkau merasa lelah untuk terus berpikir maju. Sebaliknya, lakukanlah hal yang sama padaku. Peluklah pikiranku ini dengan pikiran cinta tak bertepi. Seperti rimbunnya hutan yang mampu menyimpan banyak misteri kehidupan. Tumbuhkanlah di hati kita, lembah manah seluas samudra, yang tak bergeming sedikitpun dengan kesalahan yang tercebur di dalamnya. Jadikanlah pikiranku adalah pikiranmu dan pikiranmu adalah pikiranku. Sampai tempurung kepala kita meledak, menghancurkan kepala kita berdua."
Klik. Layar komputer padam.
Di ranjang nyata, lelaki menggauli istrinya seperti menunggang kuda liar.
Di ranjang nyata, perempuan diam-diam menitikkan air mata, memandangi ranjang yang dingin dan kosong, meratapi suaminya yang bergumul dengan maksiat.

#imbasduniamaya