Selasa, 23 Oktober 2018

Tapa Brata Usada



Ada getaran mengejutkan, membuatku tersadar dari keasikan bermeditasi.
Ya, aku selalu memasang alarm hape setiap akan memulai meditasi. Kusetel satu jam.
Menyelesaikan meditasi dalam waktu satu jam untuk pemula sepertiku memang berat. Terutama pada ketahanan kaki untuk bersila. Lima menit saja sudah bikin gusar dan itu membuat pikiran tidak bisa konsentrasi.
Tapi seiring berlalunya waktu, ketekunan bermeditasi dapat mengatasi itu semua.

Meditasi macam apakah yang kujalani?
Meditasi yang kujalani adalah meditasi Bali Usada.
Aku mengikuti meditasi ini sebenarnya berangkat dari ketidaktahuan.
Bermula dari ajakan seorang kawan yang dalam proses penyembuhan kanker kelenjar getah bening. Ia sudah menjalani proses kemoterapi 8 kali. Menurut pemeriksaan terakhir kankernya sudah tidak ada. Tapi efek kemonya masih meninggalkan jejak.
Dari perbincangan dengan banyak orang, katanya meditasi bisa membantu penyembuhan oleh diri sendiri. Dipilihlah Bali Usada Centre Health Meditation yang berpusat di Sanur Bali.
Mengapa aku diajaknya? Selain untuk menemani, ia ingin aku dapat memperoleh ilmu yang dapat membuat diri tenang dan bahagia.

Setelah menunggu selama 2 bulan, kami pun berangkat ke Bali.
Program yang diambil adalah Tapa Brata 1, selama 6 malam 7 hari.
Berangkat dari bandara Juanda pada tanggal 2 September 2018 dengan pesawat Citilink penerbangan pukul 07.55. Intinya kami sudah harus berkumpul di Sanur pukul satu siang.

Menunggu lama di kantor pusat, akhirnya sekitar jam setengah tiga sore, dengan bus kecil sejenis Elf kami berangkat ke Baturiti. Ada sekitar 35 peserta.
Sekitar jam lima kami sampai di Baturiti. Ternyata ada perubahan tempat. Yang semula akan dilaksanakan di Baturiti, dipindahkan ke Fores Island di daerah Peneng, Tabanan karena rumah yang di Baturiti mengalami kerusakan terdampak gempa Lombok yang terjadi bulan sebelumnya.



Forest Island ini semacam padepokan meditasi yang dibangun di tanah seluas 2 hektar, terpisah dari pemukiman dengan batas jurang terjal di sekelilingnya. Hanya ada satu akses masuk, jembatan yang menghubungkan Forest Island dengan dunia luar.


Kami pun menunggu acara selanjutnya yaitu pembagian tempat bermalam.
Tempat untuk bermalamnya unik. Ada bangunan yang dinamakan Lumbung, Joglo, dan Pondok.




Aku dan kawanku menempati pondok bertiga, dengan seorang kawan dari Denpasar.
Ada tiga ranjang berjejer, terpisah jarak setengah meteran.



Babak baru dimulai.
Masuk ke ruang meditasi kami mulai diperkenalkan dengan aturan-aturan.
Yang utama, mulai malam ini sampai tanggal 7 sore kami mulai tapa brata dengan tidak bicara satu sama lain, membaca ataupun menulis.
Dengan diam ini, dimaksudkan agar pikiran menjadi tajam.
Semua harta karun dititipkan kepada asisten, dari uang, barang berharga sampai hape. Dimasukkan ke dalam amplop besar ditulisi nama masing-masing.



Hari itu adalah hari terakhir kami mendapat makan malam, karena hari selanjutnya makan akan diberikan hanya pada pagi dan siang hari, di mana 15 menit sebelum makan pagi ada acara makan buah. Malam hari hanya mendapat makanan kecil. Dan bersiap untuk kehilangan kegarangan, karena makanannya 'vegetarian only'.

Kami bertiga nyaris tidak mendapat makan malam terakhir karena kami asik berbincang saling kenal dan belum memahami tanda-tandanya. Ternyata ada bel berbunyi satu kali untuk peserta segera pergi ke ruang makan. Tapi petugas di sana baik-baik. Sebelum meditasi pertama malam itu dimulai, dengan mengendap aku ke ruang makan dan memberitahu kalau kami bertiga belum makan. Akhirnya dengan bahasa hati, usai meditasi kami bertiga makan dalam diam karena tapa diam sudah dimulai.

Meditasi pertama ini suara sendawa datang dari berbagai penjuru. Pertama aku heran mengapa ada yang bersendawa terus menerus. Lama-lama aku menyadari kalau meditasi ini adalah meditasi kesehatan. Berarti banyak yang sakit. Dan semakin aku menyadari kedua kawan sekamarku juga sakit, yang satu kanker plus lambung, satunya juga sakit lambung.

Aturan tentang diam ini membuat kami menjadi diri sendiri, seolah hidup sendiri. Aku yang kata anakku kalau tidur suka ngorok, tidak sungkan untuk tidur blegseg sambil ngorok. Pun demikian dengan kedua kawanku, sakit lambung membuat mereka suka buang angin.
Aku yang berada di posisi tengah tak protes dengan serangan kentut dari dua arah, karena mereka pun tidak protes dengan suara ngorokku. Ah, tenggang rasa yang manis.

Hari pertama sampai hari ketiga ini, konon adalah hari terberat.
Aku pernah membaca tulisan blogger, kalau hari-hari awal ini begitu berat bahkan karena tidak kuat ada hasrat untuk melarikan diri dari sana. Tapi rupanya pengelola sudah memahami apa yang akan timbul pada hari berat ini, makanya semua harta karun tidak boleh dibawa oleh peserta.
Baru terjawab pada akhir nanti, bukan mengekang, tetapi untuk keselamatan peserta sendiri, yang akan mengalami pusing berat jika tiba-tiba pergi ke dunia ramai.

Dan memang menjadi hari terberat karena berdasarkan penuturan bapak Merta Ada, guru meditasi utama, hari pertama sampai hari ketiga ini memori peserta diaduk-aduk. Seperti membersihkan bak, air akan menjadi keruh ketika semua kotoran diangkat dari dasar dan bagian-bagian bak.
Reaksi yang timbul, badan akan terasa sakit semua, pegal-pegal, perasaan tidak nyaman dan segala macam keluhan akan bermunculan.

Dengan sabar para asisten tetap mendampingi peserta untuk bermeditasi di bawah bimbingan langsung bapak Merta Ada melalui video. Meski hari pertama sampai hari ketiga 'sosok' bapak Merta Ada tidak ada, tetapi beliau serasa ada karena semua intruksi yang melalui video itu tertanam di kepala peserta secara terus menerus. Baru pada hari keempat beliau hadir, memimpin langsung meditasi.

Yang utama, meditasi ini selalu diniatkan untuk melatih pikiran harmonis.
Apa pikiran harmonis itu?
Pikiran yang dilatih untuk konsentrasi, kesadaran, lepasnya reaksi buruk dari memori, kelembutan, cinta kasih, dan kebijaksanaan.

Aku yang sama sekali tidak mengetahui dasar-dasar meditasi, benar-benar mulai dari nol untuk mengawalinya.
Inti meditasi ini adalah pernapasan. Kita diajak untuk mengenali napas kita sendiri. Bernapas secara alami, tetapi disadari. Tubuh sudah pandai mengatur kebutuhan oksigen. Tugas kita hanyalah mengamati napas yang masuk, napas yang keluar. Kemudian dikenali perubahan-perubahannya, disadari bahwa semua itu berubah, tidak kekal.

Setelah mengenal tata kerja meditasi melalui pernapasan, kemudian diaplikasikan untuk merasakan semua bagian tubuh. Hal ini nantinya akan berkaitan dengan upaya penyembuhan penyakit di dalam diri sendiri.

Bagiku meditasi ini begitu menyenangkan. Aku bisa mengenal apa yang di dunia meditasi disebut dengan cakra. Ada cakra mahkota, cakra kepala (mata ketiga), cakra tenggorokan, cakra uluhati, cakra sex, dan cakra dasar.
Selain itu juga ada pengenalan tentang tubuh yang sejatinya bisa dikategorikan menjadi 4 tubuh yaitu badan kasar, badan meredian, badan cakra, dan badan mental (ini aku masih terus belajar untuk memahaminya).


Hari-hari lewat begitu cepat. Enam hari bertingkah seperti orang aneh. Ada dalam satu komunitas, tapi masing-masing hidup dengan dirinya sendiri.
Meski di ruang makan berkumpul, tapi suasana senyap. Masing-masing mengambil makanan dengan tertib antre, kemudian menempati kursinya sendiri-sendiri sesuai dengan nomor di tikar ruang meditasi.

Ada cerita lucu di kamar.
Pada hari ketiga, usai meditasi malam kami berangkat tidur. Kami bertiga tanpa suara menyembunyikan diri dalam selimut karena udara di Forest Island dingin.
Tengah malam ada yang membangunkanku. Aku terjaga. Ternyata temanku dengan wajah ketakutan, dengan bahasa isyarat meminta berganti tempat tidur.
Aku menurutinya, menempati ranjangnya yang menempel dengan tembok.
Di samping tempat tidur ada jendela yang diberi kasa nyamuk, tidak ditutup daun jendelanya.
Aku sempat memeriksa ke luar jendela. Gelap dan hanya terlihat tembok tinggi dan tanaman-tanaman. Biar tidak terlihat yang di luar jendela dari sela gorden, aku mengambil posisi kepala justru di bawah gorden.
Baru saja aku terlena, ada suara besar di sampingku, "Opo, Mbak!"
Aku langsung meloncat dari ranjang. Suara itu mirip suara adik iparku.
Dalam keadaan terkejut setengah panik, aku langsung baca surat Al Fatiha. Di mata batinku, ada bayang yang meletup lalu hilang.
Ah, hari yang aneh.
Dan saat tapa brata berakhir, temanku bercerita kalau dia malam itu ketakutan karena dalam halusinasinya ada hewan seperti ular yang akan masuk lewat jendela.
Yah, mungkin kejadian itu bisa juga dianggap sebagai lepasnya reaksi buruk dari memori. Bak air yang diaduk-aduk tadi.
Kalau aku, pada hari itu kakak iparku yang tinggal satu kota dengan adik ipar meninggal dunia.
Mungkin menjadi tanda yang mengokohkan pengalaman anehku, pada hari itu dalam meditasiku aku melihat gambar dunia kematian, tapi tidak tahu siapa yang meninggal.
Setelah boleh buka hape, baru tahu karena adik ipar mengabarkan lewat WA.

Hari keenam, meditasi malam terakhir.
Diadakan acara meditasi terbuka, artinya, peserta dibebaskan untuk bermeditasi seberapa lama kuat melakukannya.
Aku yang pada hari awal mengamati ruang yang dipenuhi sendawa dari berbagai penjuru, pada malam terakhir ini tidak kudengar suara sendawa sedikit pun. Mungkin kawan-kawanku tidak menyadari. Tapi aku mencatatnya dengan baik di hatiku, dan menyimpulkan, meditasi ini membawa kesehatan yang membaik. Nyatanya suara begitu hening. Apalagi ketika bunyi alarm tanda meditasi telah mencapai satu jam, aku membuka mata. Hahhh, di ruangan untuk yang perempuan tinggal aku berdua, sedang yang laki-laki ada beberapa ditambah bapak Merta Ada dan tiga asisten.
Tapi kesimpulanku tetap benar. Bukan karena mereka keluar dari ruang meditasi sendawa tak terdengar.
Paginya masih ada satu sesi meditasi di luar ruangan, yaitu di bawah rindang pohon bodi (pohon legendarisnya sang Budha).
Dilakukan dalam suasana pagi, benar hening, tidak ada suara sendawa sampai akhir meditasi.

Meditasi di luar ruangan ini juga membawa cerita aneh untukku.
Sedang khusyuk-khusyuknya meditasi, seperti ada hewan yang menggigit pipiku, sakit sekali.
Aku menahannya dan berpikir, ah, biar sajalah. Kalau memang hewan dan bengkak nanti aku kasih minyak kayu putih. Tapi ketika meditasi selesai, tak ada tanda ada hewan yang pernah menggigitku di situ, Padahal pedih, perih, panas rasanya.
Ketika ada sesi bertanya kepada bapak Merta Ada, beliau mengatakan kalau itu adalah lepasnya reaksi buruk dari memoriku. Kalau tadi aku membuka meditasi dan menggaruknya, reaksi itu akan masuk lagi.
Alhamdulillah... aku bisa bertahan.






Masih banyak cerita lainnya.
Tapi ini saja dulu.
Kalau ingin tahu tentang Bali Usada Centre, bisa dicari di FB, Ig, dan Youtube.


....
#RumahSundukSate
#Sidoarjo22Oktober2018