Rabu, 30 Desember 2020

Introspeksi

 

Pada waktu yang tak mengenal angka, berhitung tidaklah mutlak perlu.

Biar saja bijak terungkap lewat pancar tatapan, bahwa hidup sudah lama membuat kapal di jejari.

Lisan perlahan membeku demi untuk kedamaian siapa pun.

Hati berderap tenang mengunci emosi dan kemarahan.

Sudah menemukan keteduhan jiwa.

Waktunya yang muda memunguti tapak bijaknya.

Selamat tinggal yang muda, selamat datang yang tua.

Saatnya pertapaan bertahta di jiwa.

...

Rumah Sunduk Sate

Sidoarjo 31 Desember 2020

Tetap bersabar meski pandemi belum kunjung usai. 

Tiga O:

Ojo lali

Ojo ngeyel

Ojo Ndableg

Maskerku menyelamatkanmu

Maskermu menyelamatkanku



Selasa, 29 September 2020

Review Novel : Evil Green Buah Tangan Rudie Chakil

 


Janji adalah mantra yang menuntut untuk ditepati.

Sudah berbulan lalu novel digital ini selesai kubaca. Hasrat untuk mereviewnya begitu kuat. Tetapi selalu saja alasan dijadikan alibi untuk menunda-nunda menuliskannya (padahal, sih, malas).

Awal membacanya aku sangatlah terpengaruh oleh novel Rudie Chakil  terdahulu dalam bentuk cetak yang berjudul Aradhea. Mungkin karena nama dan latar salah satu tokoh yang disebut, nyaris mirip dengan tokoh dalam Aradhea.

Ah, bodo amatlah. Kubuang pikiran tentang Aradhea, lanjut saja aku membacanya.

Saat membaca prolognya, tak ada sedikit pun gambaran novel ini mau bercerita apa. Kesan, sih, sadis sebab ada belati dan parang berlumur darah. Tapi makin penasaran karena ada yang tertawa sambil menyebut kata Nyai.

Kalau melihat judulnya, Evil Green, pastinya novel ini akan bercerita yang horor-horor. Ada iblis  hijaunya. Masak iya, sih?

Maunya, sih, iya.

Garis besar ceritanya, dimulai dari kisah seorang lelaki yang merasa Tuhan tidak punya sifat pengasih dan penyayang kepada umatnya karena semua anggota keluarganya dibantai dengan cara kejam oleh serdadu Jepang. Ini menjadi dendam berkepanjangan, membuat lelaki itu ingin mempunyai ilmu yang tiada tanding.

Tidak dalam keadaan gelap mata, ia menyerahkan jiwa pada raja iblis dengan melakukan ritual di sebuah tanah keramat di ujung Timur Pulau Jawa. Iblis dengan cahaya hijau itu yang kemudian penulis jadikan judul.

Setelah mumpuni dalam ilmu, lelaki itu pun menuntaskan dendamnya dengan mengirim banyak tentara Jepang ke dunia kematian, bersamaan dengan merdekanya Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Setelah itu, lelaki yang sudah dalam cengkeraman iblis hijau, menjadi manusia paling laknat sebab ilmunya digunakan semata untuk kepentingan pribadi, keluarga dan golongannya saja.

Eh, di mana horornya?

Menurutku, pada awal cerita rasa horornya kurang greget. Kurang ada adegan-adegan yang bisa bikin hati ini dag dig dug.  Tapi bagaimana dalam perjalanan cerita selanjutnya?

Yang membuat lelaki itu (yang kemudian kutahu namanya Warmo) kelihatan makin sadis (kurang horor) adalah saat ia ingin menurunkan ilmu kepada anak-anaknya, tapi tak satu pun ada yang mau, sehingga keluarlah kutukan yang menjadi imbalan untuk  iblis junjungannya, anak-anak itu akan mati setiap 40 hari setelah kematiannya.

Apakah terasa cengkeram ngerinya? 

Awalnya terasa seperti konflik keluarga biasa. Yang membuat terasa sedikit ngeri adalah kematian Warmo yang aneh, dan peristiwa Jodi Pratama (salah satu anak Warmo yang terlahir autis) kerasukan jiwa Warmo. Salut aku pada penulis yang menggambarkan cerita dengan kata mengalir dan rasa seolah pembaca sedang mengalami adegan itu.

Lalu kapan Aradhea muncul?

Sebenarnya dari awal Aradhea sudah muncul. Bersama Duljana, putra dari seorang ibu yang menjadi teman Lastri, anak perempuan Warmo. Duljana adalah tokoh yang meminta tolong kepada Aradhea untuk menolong keluarga Warmo yang masih tersisa dari kutukan kematian setiap 40 hari.

Pandainya penulis berkisah, pembaca sampai tidak bisa membedakan rasa ketika Aradhea sudah memasuki negeri Salakabuana, negeri yang memang bukan tempat bagi bangsa manusia.

Kehadiran Aradhea kali ini makin menguatkan obsesiku pada Aradhea pada novel terdahulu. Kemampuan spiritualnya yang mampu melihat dan berkomunikasi dengan makhluk dari dimensi lain, benar-benar menguatkan dugaan itu.

Perjalanan ke negeri Salakabuana bersama Duljana membuat Duljana makin kepo saja tentang dunia gaib. Ini menjadi media untuk penulis memperlihatkan pengetahuan sejatinya tentang dunia dari dimensi lain. 

Aku mulai merasa Aradhea memasuki dimensi lain dalam chapter Batas Realita, ketika ia berpesan kepada Duljana, agar dalam perjalanan Duljana selalu mengikuti perintahnya, tidak pernah menengok kalau ada yang panggil nama, serta bernapas pakai mulut kalau napas terasa sesak.

Benar juga, aku makin terbuai dengan kisah perjalanan yang mulai beraroma mistis dengan hadirnya sosok perempuan telanjang di sebuah aliran sungai yang kemudian melesat ke pepohonan di seberang aliran, dan peristiwa-peristiwa aneh lainnya. Ukh.... benar-benar makin penasaran.

Aradhea dan Duljana bisa terbang di negeri Salakabuana. Masak iya, sih?

Aku baca sambil melongo. Berasa jadi Aradhea yang bisa terbang di negeri Salakabuana.

Adegan paling mencekam adalah saat Aradhea bertemu si Iblis Hijau dengan wujud seperti iguana berekor panjang, berwajah panjang dan berwarna hijau. Mencekam, tapi Aradhea tak bisa mengalahkannya. Sedikit kecewa, jagoanku tidak bisa menang.

Ternyata menurut alur cerita, si Iblis Hijau hanya bisa dikalahkan oleh seorang perempuan.

Bhaaa....novel ini benar-benar bagus. Cerita mengalir dan membuai pembaca. Pilihan katanya sederhana, meski ada istilah yang tak biasa seperti nama Firyis Kenarya.

Salut untuk penulis sudah menjawab kekepoan tentang Aradhea di awal cerita. Ternyata ini benar Aradhea sebelum jadi pacar Lina Carolina, bintang cewek di novel Aradhea.

Sepertinya Aradhea bakal jadi 007 versi misteri, berganti cewek setiap serialnya. 

Sidoarjo, 29 September 2020

cc. Rudie Chakil.

Terus berkarya, ya.

Salam hangat!



Sabtu, 04 Juli 2020

Bayang Purnama Bulan Juli

Langit bersih ketika kuintai dari balik tirai.
Bintang tanpa halangan menyapa dari tempat yang paling jauh sampai terdekat.
Cahaya kebiruan mengharu biru,  seolah cemburu pada bintang kuning.
Bulan Juli baru saja mengantar purnama pada putaran hari ke empat.
Sinar berkilau membias memenuhi langit
Sedang angin seperti mati memberi ruang bulan menari di hati pecinta keindahannya.
Dekat sekali.
Konon ia berada pada edar terdekat,  berbalikan dengan matahari yang berada pada edar paling jauh dari bumi.
Aku tidak tahu mengapa seharian terbawa perasaan.  Ada kesedihan diam-diam menarik hasrat untuk menangis.  Padahal sudah bertahun-tahun aku tak pernah lagi menangis.
Mungkinkah sebab kepalaku yang kurasa seperti semangka masak hendak meledak?
Sudah kubawa meditasi.  Sebentar ringan,  lalu memberat lagi.
Mungkinkah sebab aku yang selama ini tenggelam dalam hidup tenang tiba-tiba kembali memikul beban tanggung jawab kewajiban terhadap orang lain?
Gempuran kenyataan hidup yang membuat pikiran bertumpuk tanpa tersadari?
Aku merenung saat menatap rembulan di atas kepalaku.
Ia membuatku sadar. 
Rencana-rencana menguasai pikiran.  Padahal pada harinya nanti,  semuanya akan berjalan alami.
Lantas kenapa aku terburu-buru merealisasikannya dalam kepalaku?
Harusnya aku tak perlu begitu.  Cukup sekali merencana,  kemudian meletakkan pada rencana-Nya.
Dan semangka itu tak perlu juga menjadi kepalaku.
Ah,  purnama...
Terima kasih sudah menginspirasiku untuk kembali waras.

...
Rumah sunduk sate
Juli 2020

Sabtu, 15 Februari 2020

Berkhayal Lagi


*Berkhayal lagi

Jiwa sejatimu selalu pulang dalam mimpiku, padahal ragamu ada bersamaku.
Masihkah tirai misteri menjadi dinding di antara kita?
Dalam mimpi tawamu masih seperti dulu.
Ketika kita mencuri sepotong surga penuh cinta, lalu kita terkapar di bawah pohon waru tepi pantai Pasir Putih.
Bisikmu berkejaran dengan deru angin laut,  mendesis pada cuping telingaku yang hanya dapat menerka sebagian makna.
Hatiku,  rasaku,  bahasa tubuhku,  dapat mengenali jiwa sejatimu, meski dengan mata terpejam.
Kemudian kamu masuk sepenuhnya dalam dunia mimpiku.  Tawa kita menyatu.
Bertahun-tahun, sampai datang awan gelap penuh misteri, mencabut paksa kehadiranmu.
Memisahkan jiwa dengan tetap meninggalkan raga di sisiku.
Raga yang tak lagi kukenali.
Raga yang ditinggalkan jiwa sejati.
Aku terjebak pada sepi dan patah hati,  yang perlahan tapi pasti kehilangan aroma cinta.
Tetap kubiarkan kelebat raga lalu lalang di hadapan hatiku yang lengang.
Aku hanya menggenggam hatiku sendiri,  menunggu jiwa sejati kembali pulang.
Bertahun kemudian, barisan titik air jatuh berderak begitu saja di teratak.
Meluah merambati dinding dan lantai hati.
Mimpi tentangmu lama memudar.
Kutinggalkan semua harap pada hidup selibat.
Tiba-tiba aku terjebak pada bimbang.
Ketika kamu berkeras, agar kusentuh ragamu.
Maka selibat pun kupasrahkan.
Sebab jiwaku memang seharusnya menyatu dengan jiwamu.
....

*Sudah selesai berkahayalnya.
*Banyak diksi berkarat sebab lama tak menulis
*Rumah Sunduk Sate,  13 Pebruari 2020

Jumat, 29 November 2019

Jalan Pulang


*Sekadar fiksi

"Yun, Yuyun.... Mana hape Bapak?" Suara bariton memecah hening dini hari. Sesosok tubuh renta merabai sprei.

"Gelap sekali, lampu mati, Yun?"

Tubuh besar itu beringsut ke tepi ranjang. Menjulurkan kaki perlahan ke lantai.

"Hih, dinginnya... " Tak jadi kaki itu turun. Tangannya terus meraba dalam gelap. Ia ingat ada foto hasil editannya yang semalam belum sempat ia posting di grup WA.
Hampir seluruh permukaan ranjang ia raba, tapi tak menemukan apa pun.

"Yuuunnn...." Biasanya tak butuh lama, yang dipanggil sudah menghampiri. Tapi kenapa ini begitu lama?

"Ah, gelap sekali. Tapi sebentar, cahaya apa itu?"

Dari pembaringan lelaki itu melihat seberkas cahaya menyilaukan. Ia melihat bayangan di tengah sinar.

"Lho, Bu...."

Ketika bayangan itu dalam jangkauan pandangan, wajah istrinyalah yang tampak. Begitu cantik, bersih, bercahaya.
Ia terpukau, terperangkap senyum manis yang meluluhkan masa mudanya.

Diterimanya uluran tangan istrinya. Air matanya tak dapat lagi dibendung.

"Bu, aku kangen... Ini tepat tiga tahun kau tinggalkan aku. Sekarang engkau kembali."

Direngkuhnya sang istri penuh kerinduan. Serasa ia bersatu kembali dalam gelora cinta yang menggelegak.

Tak ia lepaskan, sampai ia tersadar, ada jeritan histeris di sisinya.

"Bapak...."

"Yun... Yuyun...."

Tubuh rentanya berusaha memeluk anak yang sejak tadi dipanggilnya. Bergeming, seperti meraih asap.
Sang Istri memeluknya, membimbing lengannya, pergi ke arah cahaya dari mana ia datang.
Ia hanya bisa mengikutinya dengan takzim.

"Innalillahi wa innailaihi roji'un."

Yuyun mengusap wajah bapaknya. Kakinya menyentuh sesuatu. Hape. Dan dia tak peduli.
Meski sejatinya, bapak terpisah ruh dari raga dini hari itu, dalam kesadaran mencari hapenya.

*end

Pelajaran moralnya, saat usia senja, meski menemukan kesenangan dalam bermedia sosial, seyogyanya selalu ingat kontrak hidup yang sewaktu-waktu berakhir. Banyaklah mendekatkan diri kepada-Nya.

*Rumah Sunduk Sate
*Sidoarjo, 30, bulan N 2019

Kamis, 08 Agustus 2019

Berlatih Bela Diri

                          Sumber: google



Di Shorinji Kempo Yogya, Simpei Hari Yatman pernah berpesan: " Berlatih tak perlu di lapangan seluas GOR. Di kamar kos juga bisa dilakukan. Tidak ada alasan untuk tidak berlatih. Osh! Rapatkan siku menutup perut samping. Turunkan lutut membentuk kuda-kuda yang kuat."

Ia selalu mengingatkanku untuk mengubah gaya pencak silatku saat melakukan gerakan Kempo.

Mau apa lagi, basic-ku memang pencak silat sedari kecil.

Meninggalkan Kempo, aku belajar di Perguruan Silat Perisai Diri.

Gerakannya beda lagi. Tiap berpindah jurus, kuda-kudanya mengejut, setengah melompat.

Meski tidak ingat lagi sampai sabuk warna apa, aku pernah mengikuti kompetisi silat Perisai Diri antar perguruan tinggi  di Malang. Waktu itu aku bergabung di bawah kontingen UII Yogyakarta. Gak bodoh-bodoh amat, bisa melaju mengalahkan senior dari ITB, meski harus dibayar dengan tulang kering nyut-nyut dan bengkak segede pentung maling. Ini karena kakiku jarang berlatih dengan benturan karung pasir.

Pada program JICA 1985, ketika berangkat ke Jepang, staf Kemenpora waktu itu memintaku untuk memeragakan pencak silat di Nippon Budokan.

Aku sempat kelimpungan karena tidak membawa pakaian silatku. Waktu begitu mepet dengan keberangkatan, tas kresek diselipkan ke bagasiku.

Dan ketika akan tampil, alamak, ternyata itu pakaian silat dari perguruan Tapak Suci. Merah hati dengan plisir kuning.

Di depan cermin aku tercenung.

Yowislah, yang kuperagakan adalah pencak silat, asli Indonesia.
Bajunya Tapak Suci, gerakan silatnya Perisai Diri, Disiplinnya Shorinji Kempo.
Tampilnya di Nippon Budokan, Jepang.
Siapa peduli?

*Itulah kehidupan. Mixing membuat hidup jadi terasa komplit. Jangan tanya soal setia, sebab ini pertarungan rasa.

*Sidoarjo, 8 Agustus 2019

*Kangen Salam Bunga Sepasang, Mliwis, Harimau, Garuda, Gejug ( dengkul sudah pensiun jadi kuda - kuda )

*Mari kembali ke alam nyata. Aku sudah dalam perjalanan menuju tua ( bangka )
Sendi dan otot melemah. Kekuatan berubah menjadi angan saja.
Raga tak menyisakan kegagahan masa lalu. Yang tertinggal hanyalah disiplin untuk menjaganya agar tidak meluluh lantak sebab cedera.

Pada akhirnya semua yang dilatih oleh tubuh, tidak berdaya pada kodrat usia.

Tidak demikian dengan melatih pikiran agar tetap harmonis seimbang.
Manakala sesaat ada yang terlupa, memang butuh waktu untuk mengingatnya. Insyaallah tetap akan ingat jika mengingatnya dengan rileks.
Jika dipaksakan, semakin berusaha untuk mengingat, yang ada malah semunya jadi kosong.

Hidupku sudah menjejak dunia lupa itu.
Gamangkah?
Tidak! Kuncinya hanyalah menerima dengan sadar bahwa tua dan lemah itu adalah proses untuk setiap saat meninggalkan raga yang tak mampu lagi menjalankan fungsinya.

Raga akan tidur panjang.
Takutkah?
Tidak. Yakinkan diri jika tidur panjang itu tidak berasa apa-apa lagi.
Tidur yang tidak akan tersadar lagi di alam nyata. Dinikmati saja dan membesarkan hati penuh rasa syukur.

Ruh akan kembali ke pusat cahaya. Menjadi bagian cahaya semesta Sang Agung.

Hmmm...

Selasa, 06 Agustus 2019

Dahulu Kala (Sekadar Mengenang)

                    Sumber: google

Masa-masa masih tinggal di Jogja, sesekali Bapak datang menengok anak bungsu yang jarang pulang ke Bondowoso.
Bhaaaa...
Selain aktif meninba ilmu di kampus, rupanya si Bungsu juga menimba ilmu kehidupan, menjalin komitmen rasa atas dalih cinta. Maklumlah, kan, masih remaja, muda, banyak bergaul dengan sesama yang juga muda dan 'petakilan'. Singkat kata punya pacar, gitu...
Boleh pacaran?
Ya, bolehlah. Daripada dilarang lalu backstreet, kan, malah gak bagus jadinya.
Alhasil kalau Bapak datang, kami biasa pergi ramai-ramai.

Malam satu Suro, niat ingsun, ke Parangtritis.
Sepeda motoran. Bapakku boncengan dengan masku. Aku bonceng pacarku.

Ba'da Isya' sudah grendeng-grendeng beriringan. Sampai di sana, pantai penuh orang-orang yang tak dapat kulihat dengan jelas wajahnya.
Ada yang hanya menyusuri pantai, ada juga yang membawa 'uba rampe' untuk ritual. Bakar-bakar dupa dan kemenyan juga ada.
Menurut orang aliran Kejawen, ini adalah saat yang tepat untuk unjuk kekuatan yang dilontar ke Laut Selatan. Ada yang memakai sarana bakar kelapa muda dan bunga-bunga, duduk bersila bersemedi menghadap laut.
Ada juga yang melakukan gerakan-gerakan silat yang berakhir dengan gerakan melontar ke arah laut.

Untuk yang bisa melihat dengan indra ke enamnya, kekuatan-kekuatan itu nampak seperti seleret sinar. Jadi seperti nyala kembang api saling silang. Kadang ada yang saling bentur. Pertarungan kekuatan terjadi tanpa tahu di mana tepatnya si empunya kekuatan. Dan si kalah akan dengan sportif mengakui kekalahannya, berlatih lebih keras lagi. (Itu sih, kata Bapak. Kalau aku, mah, mana bisa lihat yang tak kasat seperti itu. Bisanya cuma memandang wajah pacarku yang cakep seperti Rano Karno  😁).

Aku, Bapak, mas dan pacarku memandang kegelapan laut. Hanya terdengar debur ombak serta aroma asin terbawa angin  terhirup cukup memerihkan hidung..
Sesekali dapat melihat, lata air laut menuju kaki kami.
Beberapa kali tak sampai menyentuh kami.
Tiba-tiba datang ombak besar. Kami tak sempat menepi. Aku, mas dan pacarku basah kuyup sampai paha.
Tapi ajaibnya, Bapak tak setetes pun tersentuh air laut yang datang menerpa, padahal posisi kami bersisihan.
Aku meraba-raba celana dan sepatu Bapak. Bapakku cuma senyum-senyum saja.

"Bapak, kok bisa?" tanyaku masih tak percaya.

"Lha, kamu tahu sendiri, Bapak juga diterpa ombak, to?" kilah Bapak membingungkanku.

"Iya...tapi Bapak, kok tidak basah?" Aku masih mengejar jawab penuh rasa penasaran.

Mas dan pacarku juga menanyakan hal yang sama, sambil melihat celana dan sepatu Bapak yang tetap kering.

Akhirnya, entah bergurau entah sungguhan, Bapak berkata, "Bapak tadi dibopong Kanjeng Ratu Kidul. Makanya tidak basah sama sekali."

Haaahhh??? Kami bertiga serempak ternganga-nganga.

"Masak iya, sih?"

Aku menggandeng lengan Bapak erat-erat. Takut Bapak dibawa Kanjeng Ratu Kidul ke keratonnya.


  • *Cuthel. Bahasa kerennya, end.


Tulisan yang kubuat di:

*Sidoarjo, 13 Oktober 2015. Malam 1 Suro. Malam 1 Muharam 1437 H

*Kenangan bersama Bapak, di masa mudaku.

Bukan maksud mengajak syirik atau pun musyrik. Hanya menceritakan apa yang terjadi kala itu.

Seperti kata banyak orang, " Suka kau bacalah, tak suka lewatilah. Tak perlu kau telan mentah-mentah. Jadikan sekadar penanda bahwa cerita semacam ini akan terus ada, bersama laju kehidupan."