Minggu, 31 Januari 2016

HARI KE-9.125





                                                                  


                                                                                      Foto by Nanik Sarwono



Rama-rama mengecup sekejap, lalu kepakkan sayap indahnya di antara bunga ilalang.

Pualam tapaku, menatap jelmaan tubuh para belatung pejuang.

Masih tercium aroma cintamu, saat kau baringkan tubuhku di tanah basah.

Rintih meminta tetap bersama, melayang seperti daun gugur di hutan sunyi.

Bulir kristal di sudut matamu melukis janji, akan tiba jiwa kita membola surga.

Doa-doa dilantun menjadi nina bobok terindah, iringi musnah, raga mendebu jelaga.

Terbit asa kecambah rindu.

Bertahan tak tersesat, seperti biji zarah di gersang gurun Zahara

Kusemat satu demi satu menabir pembungkus raga fanaku.

Mulai menghitung magenta senja, menggantung harap pada penantian tak bertepi.

Dini hari datang, gantang kafanku meraih surya hingga senja.

Tetabuh dan terompet begitu cepat menyusui waktu.

Berkali sukma menghitung derap kaki pemanggul keranda berhias ronce bunga. 

Tubuh cahayaku berkilau saat doa-doa melayang meruang semesta jagad raya.

Sembilan ribu seratus dua puluh empat batang ilalang, mengering, menoktah penantian.

Mematah rerumputan sehari kemudian, derak cangkul mengetuk istirah, mengais jejak.

Seperti dengung lebah, orang-orang bergumam takjub, “Subhanallah...subhanallah.”

Kafan kelabu menyembul dari genangan air bercampur lumpur.

Seseorang sembunyikan air mata. "Tepat hari ke-9.125 Bunda damai di tanah ini," gumamnya.

Raga mendebu, menyatu kini di kubur yang sama: kekasih, cintaku.



                                                       
                                 
   
*Sidoarjo, 1 Pebruari 2016



Senin, 11 Januari 2016

MENGINTIP MUSEUM KANKER INDONESIA



 
 
 
 
Perjalanan singkat bersama Lathifah Edib, blogger, sobat Pedas --Penulis dan Sastra di Surabaya.
 
 
Demi seorang teman yang juga editor bukuku Goresan Suara Hati, kutaklukkan ruwet jalanan kota Surabaya. Berbekal sepotong kertas bertuliskan alamat ia menginap dan potongan peta yang kuunduh di Google, aku mencarinya (aku tak memakai GPS karena terus terang aku gagal paham dengan teknologi HP).
 
Sidoarjo - Surabaya kulintasi dengan sepeda motor sendirian. Hobi ‘mbolang’ membuatku nyaman saja meski harus beberapa kali menanyakan arah. Dan akhirnya kutemukan rumah tempatnya menginap. Rupanya ia menginap di rumah sobat Pedas yang juga turut andil membuat desain bukuku, Retno Ayu. Jadilah aku bertemu dengan orang-orang yang membidani lahirnya buku pertamaku.
 
Pertemuan dengan teman-teman dunia maya yang baru pertama kali itu, benar-benar terkesan seperti bertemu teman yang sudah lama kenal. Meski terkesan curi pandang menaksir usia satu sama lain. Tapi sejenak kemudian, kami sudah akrab meski raga kami nyata beda jauh, dari sisi usia. Biarlah raga kami mendulang beda banyak tahun, tapi jiwa kami tak mengenal batasan umur. Keakraban itu terasa begitu indah dan nyaman di hati.
 
Perjalananku lanjut. Berboncengan dengan mbak Lathifah, kutembus jalanan menuju Jl. Kayun. Sebenarnya sudah dibuatkan peta jalan oleh Ayu, tapi tak kutemukan jalan yang dimaksud. Feelinglah yang menuntunku menemukan Jl. Kayun.
 
Begitu masuk Jl. Kayun, penuh semangat kami mengurutkan nomor sampai menemukan nomor yang kami cari, nomor 16-18.
 
Kami masuk halaman sebuah rumah besar peninggalan jaman koloniaL. Di sana sini, pada lampu hias, papan nama dan bahkan di tembok atas dekat atap tertulis MUSEUM KANKER INDONESIA, dan logo-logo bertuliskan YAYASAN KANKER WISNUWARDHANA.
 
Benar, kami mengunjungi Museum Kanker Indonesia yang konon katanya, museum kanker pertama dan satu-satunya di Indonesia. Bahkan rumornya, satu-satunya museum kanker di dunia.
 
Pagi itu masih sepi pengunjung. Mbak Lathifah menulis sebagai pengunjung nomor 5 dan aku nomor 6 di buku tamu lembar bulan Nopember 2015.
 
Di pintu masuk, ada sebuah rak dengan serakan buku tentang kanker. Kulihat mbak Lathifah mengambil satu buku, dan diperlihatkan padaku. Ternyata di rak itu terselip satu buku sastra berisi puisi karya salah satu anggota keluarga Sidohutomo. Dan itu bukan satu-satunya buku sastra di situ, karena masih ada satu lagi buku heboh ‘3 in 1’ yang tidak ada kaver belakangnya karena semuanya menjadi kaver depan. Unik tampilannya, unik pula isinya. Itu adalah buku karya dr. Ananto Sidohutomo, pendiri Museum Kanker Indonesia ini.
 
Diresmikan sebagai Museum Kanker Indonesia pada tanggal 2 Nopember 2013, sebelumnya Jl. Kayun 16-18 ini menjadi pusat kegiatan Yayasan Kanker Wisnuwardhana. Sebuah yayasan yang memberikan konsultasi masalah kanker dan melakukan riset yang berkaitan dengan kanker.
 
Setelah mengisi buku tamu tiba-tiba ada seorang pemuda tanggung yang memperkenalkan diri sebagai pemandu di museum itu.
 

                                                             Alim, sang pemandu
 
Menunjuk siluet gambar perempuan di dinding atas sebelah kanan ruangan, pemuda ini menerangkan bahwa itu adalah gambar perempuan yang meninggal karena kanker. Sementara di sudut kiri bawah ada gambar laki-laki dan seorang anak, itu adalah suami dan anak dari perempuan yang meninggal tadi. Anaknya seolah berkata, “Mom...Please Don't Die!"
 
 
 
 
Di bawah gambar tadi, di dalam sebuah toples kaca, ada potongan organ terendam dalam cairan formalin. Menurut petunjuk yang ditempel di toples, organ itu adalah payudara yang terkena kanker. Jangan membayangkan bongkahan daging seperti bakso raksasa, sebab kanker yang diangkat itu sudah dipotong begitu artistik, rapi, sehingga yang terlihat adalah detail payudara yang menunjukkan letak kankernya.
 

                                                                 sayatan-sayatan rapi



                                                          merogoh payudara sintetis
 
 
Di sampingnya ada sebuah kotak kayu kecil, ditutup kelambu kuning. Ada dua lubang -- sekadar tangan bisa masuk-- dilapis kain hitam. Tapi hanya satu lubang yang berfungsi karena salah satu lubang ditutup dengan kertas bertuliskan ‘RUSAK’. Oh ya, pemuda pemandu tadi sebenarnya adalah putra kedua dr. Ananto Sidohutomo yang masih duduk di bangku SMA kelas tiga. Terhadap kotak ini, ia memberikan informasi tentang apa yang ada di dalamnya. Ternyata adalah replika payudara yang entah terbuat dari apa, tapi bentuk dan kelembutannya persis payudara asli. Menurutnya, peraga ini menjadi contoh bagaimana menemukan sebuah benjolan di payudara. Gunakan tiga jari: telunjuk, jari tengah, dan jari manis, tekan pelan dan telusuri sampai ditemukan benjolannya (semacam kelereng). Ih, dasar aku suka iseng, ketika tak kutemukan dengan petunjuk tiga jarinya, kupakai semua jari untuk mengobok-oboknya. Ternyata kelerengnya diletakkan di sudut terjauh payudara sehingga untuk menemukannya butuh beberapa saat menjelajahinya.
 
Aku masih asyik dengan payudara sintetis itu ketika Alim --namanya-- mengajakku dan mbak Lathifah menuju meja berikutnya. Sebuah microscop ganda, sudah siap dengan jaringan yang diletakkan di preparat, dengan mengintipnya kita bisa melihat jaringan yang sudah dikuasai sel kanker. Aku sebetulnya tidak ‘sreg’ dengan microscop ini, sebab yang kulihat adalah sel-sel yang katanya terkena kanker. Tapi mana aku tahu, bedanya dengan sel yang sehat. Di sana tidak diberikan pembanding sel yang sehat. 
 
                                                        mengintip jaringan sel kanker
 
Selanjutnya kami melihat koleksi museum, berbagai kanker seperti kanker serviks, kanker indung telur, kanker usus, kanker paru-paru, kanker kelenjar ludah, kanker kelenjar gondok, bahkan kanker ginjal anak (karena lama terendam dalam formalin, warnanya seperti organ rebus dalam soto jerohan--itu menurutku). Ada sekitar 30 toples kanker, koleksi museum ini.
 
 

koleksi museum


Tak hanya itu, museum juga punya koleksi alat-alat yang digunakan untuk mendeteksi dini adanya kanker. Bahkan untuk kanker serviks, Alim menjelaskan, bisa dilakukan dengan pap smear. Sedang untuk deteksi dini kanker payudara, bisa dengan SARARI (Pemeriksaan Payudara Sendiri) dan SARAMI (Pemeriksaan Payudara bersama Suami). Untuk yang terakhir ini bisa juga dilakukan sebagai fore play sebelum bersenggama bersama suami. Alim hanya sekilas mengatakan Sarami, kemudian bergegas mengajak kami ke lorong menuju halaman belakang. 
 
Pada dinding lorong ada gambar pohon dengan banyak cabang dan akar. Ini adalah gambaran tentang jenis kanker, gejala, dan faktor-faktor yang menjadi pemicu tumbuhnya sel kanker. Sama seperti yang sudah pernah kita dengar, bisa jadi karena pola makanm pola hidup yang amburadul. Bahkan Alim mengingatkan, jangan menyepelekan benjolan yang terjadi karena benturan. Jika tidak dipedulikan maka sel kankerlah yang akan memedulikannya.
 
Sejarah mula adanya kanker juga memenuhi lorong dinding. Dari fosil yang ditemukan, kanker ditemukan pada hewan. Entah bagaimana kisahnya sampai berpindah ke tubuh manusia (aku jadi ingat, beberapa waktu lalu heboh adanya berita tentang oraang utan yang dieksploitasi menjadi pelacur. Naudzubillahmindalik.)
Nama kanker diberikan oleh Hippocrates karena benjolan atau sel yang tumbuh tak terkendali itu memiliki banyak kaki dan menyebar seperti cancer/ kepiting. Itu pada tahun 400 Sebelum Masehi.
 
Dinding juga dipenuhi dengan informasi tentang perkembangan ilmu kedokteran terutama yang berkaitan dengan kanker.
 
Ruang-ruang yang terhubung dengan lorong belakang digunakan untuk layanan diagnostik dan deteksi dini kanker. Di sini melayani hal-hal yang terkait dengan organ kewanitaan bermasalah. Hari kerjanya Senin sampai Jumat. Untuk jam layanan dan tarif jenis layanan diberikan brosur dengan catatan harga bisa berubah sewaktu-waktu (di sini yang gratis hanya masuk museumnya saja).
 
Acara ngintip ini diakhiri dengan mengisi selembar kertas kecil berupa doa, harapan atau apa saja terkait kanker. Kemudian ditempel di dinding yang sudah digambari sebuah pohon besar. Dinding Berdoa, namanya. Warna warni kertas jadi pesona tersendiri selain harapan dan doa yang ditulis oleh semua pengunjung museum.
 
 
 
 
Ada rasa miris melihat hasil kerja ‘makhluk’ misterius dalam tubuh ini. Apalagi pilihan tempatnya organ tubuh vital. Ini menjadi cerminan manusia, berbenah, dan peduli untuk memperlakukan organ tubuhnya dengan benar. Untuk memperbaiki pola hidup yang lebih baik. Sedang untuk yang sudah terkena kanker, dapat peduli untuk menjalani pengobatan yang benar. Menjaga agar sel-sel kanker pergi dari tubuh untuk selamanya. Berbesar hati, berjuang menjalani hidup tetap penuh rasa optimis. Andaipun hanya kematian yang menjadi pilihan, tetap semangat dan menjadikan hari yang tersisa penuh makna. Dan tetap yakin, apa yang mustahil bagi manusia, tidaklah mustahil bagi Tuhan. 
 
Aku ingat tulisan seorang teman, ‘Hidup tidak sekadar jantung, maka tetaplah tersenyum’.
 
Aku dan mbak Lathifah pun menyudahi kunjungan ini, menyusuri jalanan Surabaya mencari obyek kunjungan lain.
Semoga menyenangkan, ya, Mbak.
 
Teriring colekan untuk Rien Amalia Fadzrina yang gagal ikut ‘mbolang’, juga Retno Ayu yang lembur tidur.
 
 
 
                                                    Aku, Retno Ayu, Lathifah Edib
 
 
 
*Sidoarjo, 10 Nopember 2015
 
SELAMAT HARI PAHLAWAN