Rabu, 24 Agustus 2016

Menyingkap Tirai "Duka Darah Biru"






            Sebuah novel tak kunyana hadir begitu saja. Dari seseorang yang tak kukenal baik di dunia nyata maupun dunia maya. Lama aku menimangnya sambil terus berpikir, ‘jatuh dari langit mana, buku ini?’

            Buku ini ternyata dikirim oleh Erna Riyana Dewi yang baru saja berteman denganku di Face Book. Merealisasikan komitmen bagi buku dapat buku dengan teman-temannya dan temanku juga.

             Judul buku: Duka Darah Biru
             Pengarang: Dewi Sumardi
             Editor: Sekar Mayang
             Penerbit: Penerbit Jentera Pustaka (Mata Pena Group)
             Tahun terbit:2016

Sesuai dengan judulnya, novel ini berkisah tentang perjuangan hidup seorang gadis ningrat yang 'mbalelo', lari dari rumah hanya berbekal sepotong asmara.

          Terlahir dari keluarga ningrat Solo, memilih jalan hidup keluar dari keningratannya yang telah dijalaninya selama 24 tahun demi keagungan cintanya kepada lelaki dari kalangan rakyat biasa. Sri Khadijah, putri Raden Mas Haryo Kusumo, lari dari rumah dan dianggap sebagai ‘endog ilang’, telur yang hilang oleh ayahandanya yang marah hebat, sebab menolak dijodohkan dengan Raden Bagus Purnomo Sidi. Ia meninggalkan Solo dua minggu sebelum pernikahannya digelar.

Meski darah biru diambil sebagai judul, novel ini justru sama sekali tidak berkisah tentang kehidupan darah biru secara mendalam. Hanya menjadi latar utama untuk duka-duka yang terajut dalam pergolakan hidup Sri Khadijah di luar dunia keningratannya.

 Pernikahan Sri Khadijah dengan Samejo yang miskin harta, dirasakan sebagai hal yang sangat berarti untuk sisi religiusnya. Samejo mengajarkan, meski miskin, Sri dan anak-anaknya diajarkan untuk tidak meninggalkan kewajibannya sebagai umat Islam, yang tidak pernah didapatkan dari Ramanya ketika masih berada di Solo.

Memaknai tindakan ayahanda Sri, pasti Dewi sang penulis, tidaklah bermaksud memojokkan ningrat Solo dalam masalah ketaatan beragama, tetapi lebih mengetengahkan keteguhan tradisi Jawa yang kebanyakan masih memegang teguh kepercayaan terhadap Kejawen.

            Cerita selanjutnya mengalir seperti anak sungai di tengah hutan rindang.

            Pergulatan hidup Sri Khadijah yang sesungguhnya dimulai justru setelah ditinggal mati Samejo. Anak keluarga ningrat yang tak dijelaskan latar belakang pendidikannya itu, bertahan hidup dengan berjualan getuk lindri di sebuah pasar Kota Semarang, demi membesarkan ketiga anaknya, Oyong, Surami dan Supri.

            Dewi Sumardi, sungguh terarah dalam menulis novel ini. Masing-masing tokoh dan konfliknya diramu bagian demi bagian begitu apik, mengikuti karakter masing-masing.

            Oyong, anak sulung yang terlahir tak sempurna, cebol-pengkor-telat mental, pada usia 24 tahun terbujur kaku tak bernyawa karena membela Buliknya dari kawanan perampok.

            Konflik yang dibangun menyentuh hati, terutama kegigihan Oyong yang punya keterbatasan fisik tetapi tulus terhadap siapa pun. Meski itu buliknya sendiri yang tak pernah ikhlas jika suaminya (ipar Sri) memberi Oyong uang sekadarnya.

            Dewi sang Penulis menunjukkan kepeduliannya kepada sosok yang terlahir cacat. Seorang dengan keterbatasan fisik, menurutnya, juga punya impian. Begitu pesan yang dapat kutangkap saat  membaca bagian ini.

 Impian Oyong sederhana, ingin makan gulai kepala ikan sebagaimana diceritakan temannya. Sampai akhir hayatnya, dapatkah ia mewujudkan impiannya itu?

            Kesedihan sepeninggal Oyong melahirkan kesedihan baru untuk anak Sri yang lain, Surami, anak gadis satu-satunya.

            Cerita tentang Surami ini nyaris mendominasi seluruh isi buku. Seperti gado-gado, rasa yang hadir juga ikut turun naik saat membacanya.

            Jatuh bangun mengais rejeki dengan pendidikan SMP tak menghalangi Surami menjatuhkan cintanya pada seorang pemuda. Berakhir seperti gantungan baju ditiup angin, pemuda yang sudah jadi suaminya itu ditelikung ibunya sendiri, dijauhkan dari Surami yang sedang mengandung.

            Hidup harus terus berlanjut. Penulis mendaki bukit dan melintas jalan penuh kelok untuk menggambarkan perjalanan hidup Surami. Mengapa terperangkap pada lesbianisme? Bagaimanakah dapat terajut persahabatan yang tulus? Akankah bertemu kembali dengan suami yang lama tak tahu rimbanya? Dan akankah darah biru Sri Khadijah berakhir hanya sebagai penjual getuk lindri di tengah pasar? Tersambung kembalikah Sri dengan keluarga ningratnya? Semua ditulis begitu natural hingga aku membaca seolah akulah yang mengalaminya.

            Perdukunan juga diangkat dalam novel ini. Menjadi contoh, betapa perbuatan melintas kehendak Tuhan tidak akan pernah berakhir dengan kebahagiaan. Perbuatan jahat akan selalu mendapat balasan setimpal.

            Rangkaian kata dalam novel ini sempurna. Tidak ada satu kalimat pun yang bertele-tele. Dibungkus begitu rapi per bagiannya. Salut aku kepada Sekar Mayang sebagai editor. Bebarapa kali membaca buku dengan editor Sekar Mayang, tulisan jadi enak dibaca, mudah dicerna.

            Tidak rugi membaca novel yang kelihatannya sederhana ini, tetapi sarat dengan pemikiran tentang rasa syukur.

            Dan satu hal yang membuatku terkesima, Dewi Sumardi itu ternyata adalah nama pena dari sang pengirim buku, teman Face Book-ku, Erna Riyana Dewi. Holaaa….

*Sidoarjo, 23 Agustus 2016




Selasa, 02 Agustus 2016

Pedang Mulia Pengendali Fantasytopia (Sebuah Komentar)






Sebuah paket terbungkus kertas motif batik kuterima siang itu. Pengirimnya Ando Ajo, Kompasianer, penulis novel, cakep, pelukis, juga pedagang handal. Multi talenta pokoknya. Yang terbungkus itu jelaslah sebuah novel yang dikirim sebagai cindera mata karena aku ikutan komen berhadiah di akun facebooknya.

Fantasytopia judul novelnya.
Setebal 365 halaman, disunting Sekar Mayang, diterbitkan tahun 2014 oleh Jentera Pustaka (Mata Pena Group).

Aku senang karena tampilan buku dengan kaver bergambar tangan meraih sebuah cincin emas dilatarbelakangi warna mistis itu, layoutnya sederhana, nyaman dilihat, dan tentu saja jauh dari sensasi iklan oleh penerbit. Huruf yang dipakai pun pas di mata. Kertasnya juga bagus, tidak mudah lusuh meski bolak balik di bolak balik.

Novel ini unik. Bercerita tentang dua dunia, yang terhubung melalui hilangnya Ahmad, anak lelaki keluarga pemulung, umur 10 tahun.

Kemiskinan, ketidakmampuan membeli buku pelajaran, menjadi awal perjalanan gaibnya. Buku yang ia dapat secara aneh ternyata berisi sebuah cincin emas yang dalam pandangan para preman yang memalaknya hanyalah sebuah karet gelang. Mereka memaksanya menelan karet itu karena ia tidak dapat memberikan apa yang mereka minta.

Kisah mulai seru dengan keanehan lain, terdamparnya Ahmad di tepi Pantai Utara Jakarta. Di sana ia merasakan karet gelang yang ditelannya berubah kembali menjadi cincin yang bergerak liar dan menembus jantungnya.

Saat ia hendak meredakan rasa sakit dan terbakar di dadanya dengan merangkak ke bibir pantai, raksasa bertubuh menyerupai api mengangkat tubuhnya dan meminta agar ia menyerahkan cincin itu dengan paksa. Bahkan mengempaskan tubuhnya ke tumpukan karang. Tapi ada makhluk lain yang menyelamatkannya. Seperti bermimpi, yang dilihatnya adalah seekor kuda bersayap putih.

Ando Ajo dalam novel ini, benar-benar menunjukkan kecerdasannya dengan menggunakan tokoh fantasinya dari transformasi fauna. Pengetahuannya begitu mendalam tentang spesies, ordo, famili dari dunia fauna itu.  Ia jelaskan secara detail bahkan nama dalam bahasa latinnya.

Ahmad hanyalah tokoh yang mengantarkan Ando Ajo meliarkan fantasinya di negeri peri, Kerajaan Elfunity.

Nyaris buku setebal 365 halaman itu didominasi oleh peseteruan antara Kerajaan Elfunity dan Negeri Kegelapan.

Pertempuran begitu mencekam karena semua makhluk fantasi dari ordo burung bersayap, penunggang, pegasus, sembrani, lebah, kupu-kupu, naga putih dan lain-lainnya yang Ando Ajo beri nama dengan Avelf, Ryfas, dan banyak lagi nama yang ada di bawah pimpinan Ratu Meraelf, harus berhadapan dengan makhluk-makhluk mengerikan dari dunia kegelapan semacam kelelawar raksasa, naga bercula dan berekor kait,  raksasa merah  serta makhluk ganas di bawah pimpinan Nazarage.



                                          sumber: Foto Sampul Cataleya Arajoli

                                          Mendekati gambaran Ratu Meraelf dalam benakku


Ajo begitu piawai menuliskan rincian pertempuran itu. Aku tidak peduli dengan nama-nama makhluk yang banyak itu. Aku menikmati gambaran tentang senjata-senjata unik berupa cahaya warna-warni sesuai dengan karakternya, kemudian makhluk-makhluk raksasa bersayap yang melesat melakukan pertempuran di udara. Dan yang terpenting, aku cukup hanya dengan menandai yang mana laskar Kerajaan Elfunity dan yang mana laskar Negeri Kegelapan. Bahkan sempat kuletakkan buku dan aku bertepuk tangan menikmati kemenangan bala tentara Ratu Meraelf (hihi aku berpihak, ya)




                                         sumber: Jelajah Dunia Penuh Misteri di Hutan Terlarang
                                         Makhluk seperti ini yang membayang di kepalaku


Bagian yang sangat menarik adalah saat Ahmad tertusuk Pedang Mulia oleh Nazarage tepat di jantung yang dilingkari cincin emas yang ternyata adalah salah satu pusaka Kerajaan Elfunity bernama Sang Pemanggil. Akibat yang ditimbulkannya sungguh dahsyat, membangunkan Sang Pemusnah yang tidak mengenal kawan atau lawan, tetapi tunduk di bawah kendali Ahmad yang sudah berubah menjadi makhluk cahaya bersayap, menggenggam Pedang Mulia.

Seperti apa dahsyatnya? Mau tahu apa akar masalah perseteruan Kerajaan Elfunity dan Negeri Kegelapan, hubungannya dengan pusaka yang ada pada Ahmad? Siapakah Nazarage itu? Darimana muasal arti nama Pedang Kemuliaan dalam nama Ahmad yang dikaitkan dengan novel ini?

Ayo buruan pesan bukunya kepada Jentera Pustaka dan Ando Ajo kalau ingin tahu keseruannya. Benar-benar asik membacanya, sampai lupa kalau ini hanya fantasi belaka.

Hal yang tidak membosankan, cara Ando Ajo membuat alur cerita, berseling antara cerita dunia nyata yang diwakili bapak dan ibu Ahmad, dan cerita fantasi dengan tetap menghadirkan Ahmad anak manusia di antara makhluk-makhluk rekayasanya.

Top markotop, Ando Ajo.
*
Sidoarjo, 2 Agustus 2016.