Kamis, 24 November 2016

[Fantasi] Mencari Negeri Fantasi




                                          sumber gambar:Google



Kepak sayap silih berganti dari yang terdengar berat sampai yang lembut, seperti para penerjun mendaratkan kakinya di pelataran samping dapur.

Puluhan merpati mendarat satu demi satu, meninggalkan dahan pohon mangga demi memperebutkan butiran beras yang ditebar oleh tangan seorang gadis cilik berumur  sembilan tahunan.

Awalnya, merpati itu hanya ada tiga pasang dari jenis berbeda. Modena, King Pigeon, dan merpati balap. Di antara ketiga jenis itu, Modena paling menggemaskan karena badannya buntet, ekornya pendek, sayapnya berwarna colat, kepala hitam, punggung dan badannya berwarna putih. Sedang merpati balap mengagumkan saat terbang melintas awan. Melesat secepat kilat dengan tubuh rampingnya, meski untuk warna biasa saja. Leher hijau kebiruan cenderung ungu saat diterpa sinar matahari, selebihnya hitam atau abu-abu. Yang paling seksi King Pigeon. Badannya hampir sebesar ayam, kepaknya paling keras kalau terbang tiba-tiba karena terkejut.

Perkembangbiakannya begitu cepat, terutama untuk jenis merpati balap. Semakin bertambah, karena ada juga merpati tak diundang. Tiba-tiba saja sudah bergabung dalam kerumunan yang ada dan tak mau pergi lagi. Pun sebaliknya, harus ikhlas kalau sewaktu-waktu jumlahnya berkurang karena ada yang pergi dan tak kembali. Risiko memelihara burung yang dibiarkan bebas tanpa sangkar.

Kirani, gadis kecil penebar beras, sangat menyukai merpati-merpatinya. Tak ada waktu terbuang tanpa bercengkerama dengan mereka. Bahkan sering ia berbicara seolah mereka adalah sahabatnya.

“Dena, ayo erami telurmu. Jangan main terus,” celetuknya sambil menggiring emak Modena yang meninggalkan dua telurnya di sarang sekadar bercumbu dengan jantannya. Modena ini agak malas mengerami telurnya, barangkali karena mereka pasangan yang masih muda, masih suka bercumbu saja.

“Hush..hush!” Kirani menghalau salah satu pasangan merpati balap yang berusaha mengambil sarang merpati lain yang sedang mengerami telurnya. Kadang memang seperti itu, ada merpati yang tak bisa bertelur meski sudah bercinta berkali-kali, dan berusaha merampok sarang lain untuk dierami.

Hingga suatu hari, Modena malas lagi untuk mengerami telurnya. Kirani berusaha menggiringnya agar kembali ke sarang. Tapi ada yang janggal pada telur yang ditinggalkan.

“Hah, apa ini?” Ia mengambil sebutir telur lain di antara dua telur yang ada. Seperti telur, tapi berat dan keras. Warnanya hijau kebiru-biruan. Seketika ia memanggil ibunya.

“Ibuk…Ibuk…Ibuk….”

Panggilan itu seperti kata-kata mantra.

Tiba-tiba langit  berpendar. Kirani seperti berada dalam gelembung transparan yang sangat besar. Ia bisa melihat dapur tempat ia biasa menebar beras ke pelataran, tapi tak bisa melewati sekat yang seperti karet tipis. Ia terus memanggil ibunya, tapi suaranya hanya memantul seolah berputar dalam gelembung itu.

Belum hilang rasa takutnya, tiba-tiba di hadapannya berdiri seorang pemuda berpakaian necis, jas coklat dipadu padan dengan kemeja dan celana putih, dengan sepasang sayap kokoh di punggungnya. Sepatu? Ah, kakinya bukan layaknya kaki manusia, tapi mirip kaki merpati. Empat jari dengan cakar yang tidak begitu tajam berwarna merah.

Kirani ingin menangis. Tapi ia menahannya dan menguatkan hati untuk berani.

“Kamu siapa?” Ia bertanya sambil tak henti menatap kaki pemuda itu.

“Kamu tidak mengenaliku?” Pemuda itu balik bertanya, tersenyum lucu, dan memutar tubuhnya sambil menderuk seperti suara merpati yang berusaha menarik perhatian lawan jenisnya.

“Hah? Kamu, Modena?” Kirani segera ingat tingkah Modena, merpati yang paling centil di antara merpati peliharaannya.

“Iya.” Modena menjawab singkat tapi tak membiarkan senyuman pergi dari bibirnya yang mungil.

Melihat Kirani masih bingung dengan keberadaannya, Modena mengajaknya naik ke sebuah rumah sederhana, semacam rumah dengan tangga tinggi di atas pohon mangga. Ternyata di dalam rumah ada sosok perempuan seperti Modena. Gaunnya putih dipadu padan dengan kardigan coklat. Ia sedang menyuapi sepasang anak kembar, lelaki dan perempuan. Eh, jantan dan betina tepatnya. Dan tentunya, kakinya semua sama dengan  Modena, kaki burung.

“Ini anak-anakmu? Bukankah kalian berdua malas mengerami telur dan hanya sibuk bermain saja?” Kirani sudah tidak takut lagi dan mencoba mencairkan suasana dengan menggoda keduanya.

“Itu kan dulu, waktu kami baru bertemu. Masih muda dan inginnya bermain terus.” Modena dan istrinya tersipu.

Kirani lebih berani untuk menatap keadaan sekitarnya.

“Ini aku di mana? Negeri burung? Kenapa aku bisa ke sini?” Seperti gumam, pertanyaan-pertanyaan itu mengalir tanpa putus.

Modena dan istrinya saling pandang. Membiarkan Kirani berjalan ke seluruh sudut rumah. Melihat ke luar dan memuaskan keingintahuannya.

Seolah lupa pada pertanyaannya, Kirani begitu takjub melihat aktifitas di luar rumah. Orang-orang berpakaian seperti tampilan jenis-jenis merpati dengan sayap di punggungnya. Mereka ada yang sibuk bercocok tanam, ada yang memipil jagung, ada yang memisahkan gabah dari jeraminya. Ada yang mengasuh anak, ada yang berkejaran bersenda gurau. Riuh sekali, seperti suara merpati di rumah saat Kirani bermain bersama mereka.

“Ini negeri peri merpati, Kirani.” Modena mulai menjawab pertanyaan Kirani yang terlihat mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya.

“Coba buka genggamanmu. Itu adalah batu kunci, pembuka gerbang dunia peri merpati. Sengaja sesepuh kami memberikan itu kepadamu, karena kamu begitu peduli kepada kami selama ini.”

Perlahan Kirani membuka genggamannya. Batu hijau kebiruan sebesar telur merpati, berpendar diterpa sinar matahari yang masuk dari jendela. Ia timang dan amati dari berbagai sudut. Pendarnya semakin berkilau di tangan mungilnya.

Tiba-tiba ia ingat sesuatu.

“Benar ini kunci pembuka gerbang dunia peri?” Modena hanya mengangguk tanpa mengerti mengapa Kirani begitu gembira menerima batu telur itu.

“Berarti aku sudah sampai di negeri peri, negeri fantasy. Modena, apakah negeri ini dipimpin oleh seorang ratu dari bangsa bersayap sepertimu yang bernama Ratu Meraelf?” Mata Kirani berbinar. Terbayang wajah seorang ratu cantik pemimpin negeri besar dengan rakyat dari berbagai jenis binatang darat, udara, dan laut.

“Negeri ini besar sekali Kirani. Aku tidak tahu siapa pemimpin negeri ini. Yang aku tahu hanyalah para sesepuh jenis merpati yang memimpin kami turun temurun.”

“Ah, kau, Modena. Aku membacanya. Ada buku yang menceritakan dunia yang kita injak seperti sekarang ini.”

Kirani tidak tampak seperti gadis sembilan tahun. Ia memang gemar membaca buku. Selain rajin mengunjungi perpustakaan di balai desa, ia juga suka membaca buku-buku milik ibunya. Ibunya seorang penulis, karenanya Kirani mewarisi bakat ibunya, menyukai dunia literasi.

“Negeri itu dekat dengan pantai Utara, Modena. Ada seorang anak yang berhasil masuk ke sana, lewat pantai Utara Jakarta. Ah, ya, nama negerinya Kerajaan Elfunity.” Kirani bersemangat sekali.

“Modena, aku ingin sekali pergi ke kerajaan Elfunity. Mau, kan, kamu mengantarku mencarinya?” Kirani memandang Modena dan istrinya bergantian. Penuh harap.

“Aku tidak bisa mengantarmu. Anak-anakku masih kecil. Aku harus mengajari mereka mencari makan, terbang sendiri, dan melindungi mereka dari makhluk pengganggu lainnya. Maafkan aku, Kirani.”

Kirani sedikit kecewa. Tapi matanya kembali cerah saat Modena berjanji mencarikan jalan agar ia bisa menemukan Kerajaan Elfunity.

Modena mengajak Kirani mengunjungi kediaman sesepuh merpati.

Tidak begitu jauh dari rumah Modena, sebuah rumah dengan tangga yang lebih tinggi dari rumah-rumah di sekitarnya, tampak sudah begitu tua dibangun pada dahan sebuah pohon kenari.

“Assalamu’alaikum, Pak Puh,”ucap Modena di depan pintu tak berdaun.

“Wa’alaikumsalam. Masuklah, Anak Muda.” Suara bergetar lebih dari seorang menjawab salam Modena.

Kirani menggumamkan ucapan salam sebagaimana Modena. Ia menempel di belakang Modena, mengintip sedikit takut  pada tiga kakek yang duduk berjajar menghadap pintu. Sayap-sayapnya tidak sekokoh sayap Modena, tapi pandangan matanya tajam, menghujam jantung Kirani yang merasakan aura kewibawaan seperti kewibawaan ayah dan kakeknya.

“Duduklah. Bukankah ini pembawa batu kunci gerbang dunia peri?” Tanpa dijelaskan mereka tahu siapa yang datang bersama Modena.

“Iya, Kakek.” Dengan takzim Kirani menjawab pertanyaan para sesepuh itu.

“Ada keperluan apa sampai harus menemui kami, bukankah lebih menyenangkan kalau bermain dengan orang-orang di sini?” Para sesepuh beranggapan pasti ada hal penting sampai Kirani harus menemui mereka.

Mula-mula Kirani sedikit ragu untuk menyampaikan maksudnya. Tapi tanpa terasa, semangatnya begitu menggebu ketika menceritakan Kerajaan Elfunity yang ingin ia kunjungi.

Para sesepuh mendengarkan cerita Kirani tanpa menyela sedikit pun. Dan secara bergantian mereka menanggapi cerita Kirani.

“Sepengetahuan kami, dunia peri tak punya struktur pemerintahan seperti peradaban yang ada dalam dunia manusia, Anak Muda. Mungkin buku yang kaubaca, adalah sekadar rekayasa,  seolah kehidupan dunia peri sama dengan kehidupan dunia manusia.

Kirani tak sepenuhnya paham apa yang para sesepuh ucapkan. Di dalam hatinya ia tetap percaya kalau Kerajaan Elfunity itu ada. Ratu Meraelf, Ramelf, Arwann, Pegasus, Ahmad, semua itu ada.

“Di dunia peri seperti kami, tak ada pengakuan kepada bangsa lain untuk menjadi pemimpin kami. Pemimpin kami adalah bangsa kami sendiri. Masing-masing bangsa mempunyai pemimpinnya sendiri yang mereka akui karena dianggap sanggup melindungi warga dari serangan pemangsa bangsa lain. Tidak ada bangsa lain yang mengabdi pada kami, begitu pun kami, tidak mengabdi kepada bangsa lain.” Para sesepuh panjang lebar menjelaskan kepada Kirani, yang hanya duduk diam dan tetap berharap diijinkan diantar oleh seorang warga peri merpati mencari kerajaan Ratu Meraelf.

“Ijinkan aku tetap mencarinya, Pak Puh. Ijinkan, ya,” rengek Kirani seolah ia berhadapan dengan kakeknya.

Melihat keteguhan hati Kirani, para sesepuh luluh hatinya dan mengutus salah satu jenis merpati balap untuk mengantarnya.

Segera Kirani berpamitan setelah mengucapkan terima kasih dan mencium tangan para sesepuh, yang sayap di punggungnya sedikit bergetar karena tidak mampu meyakinkan Kirani kalau yang ia baca itu adalah khayalan belaka.

Kirani gembira, merpati balap itu masih muda, tampan, dan terlihat tidak sombong. Setelah mengucapkan terima kasih dan berpamitan kepada Modena serta istrinya, Kirani berpamitan.

Racing, nama pembalap muda itu, dengan sopan menyilakan Kirani naik ke punggungnya. Dan dengan sopan pula, Kirani duduk dengan hati-hati. Ini pengalaman pertama Kirani terbang seperti merpati balap yang ia punya di rumah. Hatinya berdebar kencang saat Racing terbang pada kecepatan penuh melintasi awan hitam. Erat ia peluk bahu Racing dan sejajar ia posisikan kepalanya dengan kepala Racing. Angin begitu kencang, dingin  menusuk tulang. Bersyukur istri Modena memberinya baju tebal yang terbuat dari bulu-bulu berwarna coklat. Pasti saat itu ia berpenampilan seperti jenis merpati Modena.

“Kita mencari ke mana, Rani?” Di sela desir angin Racing menanyakan arah tujuan. Kirani sedikit terkesiap, hanya ayah, ibu, kakak dan adiknya saja yang memanggilnya dengan sebutan Rani. Teman sekolah dan gurunya biasa memanggilnya dengan sebutan Kiran.

“Ke arah Kenjeran Surabaya aja, Racing. Kan, sama-sama pantai Utara. Barangkali bisa kita telusur dari penghuni yang ada di sana.” Kirani memberi arahan.

Racing melesat ke arah Utara. Sekejap kemudian ia menukik tajam, mendarat persis di pantai Kenjeran.

Kirani mengusap matanya yang pedih. Udara laut dengan aroma garam seperti memercik ke bola matanya.

“Sini aku bersihkan matamu.” Racing mengeluarkan sapu tangan dari balik sayap tegapnya, membersihkan mata Kirani yang merah membasah.

“Terima kasih, Racing,” ujar Kirani sambil menatap laut lepas yang bergelombang nun jauh di sana. Pantai Kenjeran tak sedikit pun tersentuh ombak. Hanya lumpur membentang beberapa kilometer, dengan sesekali ikan-ikan kecil berseluncur dan berlompatan, lari dari kejaran camar yang tiba-tiba menukik mengancam nyawa mereka.

Ada seekor peri kupu-kupu melintas di dekat kepala Kirani sedang bersenandung riang.

“Eh, maaf peri kupu-kupu, boleh aku bertanya?” Kirani menghentikan kupu-kupu kuning itu sejenak.

“Iya, Kakak, mau tanya apa?” Peri kupu-kupu itu ternyata ramah. Senyum manisnya tak lekang seperti sayap indahnya yang terus mengepak.

“Adik, pernah dengar Kerajaan Elfunity? Pernah kenal dengan peri kupu-kupu bernama Ramelf?” cecar Kirani.

“Oh, maaf, Kakak. Aku tidak pernah mendengar nama kerajaan Elfunity, dan juga belum pernah mendengar nama Ramelf.” Kupu-kupu itu menjawab singkat tanpa meninggalkan senyumannya.

“Apakah di sini Adik pernah melihat bangsa Mermadian? Dulu nama pemimpinnya Racean. Tapi sekarang sudah meninggal dan digantikan putranya, Arwann. Kalau muncul dari laut, Arwann ini sisiknya berguguran dan akan berubah menjadi baju zirah.” Berapi-api Kirani menggambarkan yang dicarinya.

“Tidak tahu, Kakak. Pantai ini jarang sekali tersentuh ombak besar, kecuali saat purnama, air akan sampai di pantai. Dan aku belum pernah sekali pun melihat bangsa Mermadian di laut ini,” ujarnya.

“Oh, begitu, ya. Terima kasih, Adik.” Kirani tertunduk lesu. Tak ada yang tahu atau pernah mendengar nama Kerajaan Elfunity di sini setelah Kirani menanyakan kepada peri Kepiting, ikan-ikan kecil maupun lebah dan binatang lain, padahal ini adalah juga dunia peri yang terhubung dengan laut yang sama dengan lokasi Kerajaan Elfunity.

Peperangan di Kerajaan Elfunity menurut buku itu, melibatkan banyak bangsa dari ordo-ordo berbagai macam binatang, yang mestinya binatang yang sama seperti yang ada di Kenjeran ini.

“Mau dicari ke mana lagi, Rani?” Racing memecah hening kesedihan Kirani yang belum berhasil mendapatkan sedikit pun titik terang tentang Kerajaan Elfunity seperti yang ia baca di buku.

“Tak tahulah. Jakarta jauh dari sini. Kalau terlalu lama pergi, aku khawatir keluargaku akan bersedih.” Kirani tiba-tiba sedih saat teringat kepada ibu, bapak, kakak, dan adiknya.

“Kita pulang? Naiklah ke punggungku.” Racing membetulkan kancing baju hangat yang dipakai Kirani. Ia juga memasang sapu tangan menutup mata Kirani agar tidak pedih kalau harus melesat di udara bermendung tebal seperti sekarang ini. Racing melesat seperti jet tanpa meninggalkan jejak. Rani meringkuk di punggungnya.

*
Sementara itu di Sidoarjo, mendung tebal tak kuat lagi menggendong air di pundaknya. Tanpa pikir panjang, diturunkannya semua beban itu, menjadi hujan deras yang disertai angin dan petir.

Ibu tergesa-gesa menutup pintu dan semua jendela. Baru ingat kalau sehabis makan siang tadi, Rani tak terlihat kelebatnya. Kakak dan adiknya pulas bergelung dalam selimut. Ke mana Rani?

Bersijingkat ibu masuk ke kamar kerja yang sekaligus dipakainya sebagai perpustakaan. Lega hatinya melihat Rani tidur di kursi keheningan –kursi tempat ibu biasa mencari ide untuk tulisan-tulisannya- sambil memeluk buku “Fantasytopia”.

Ada butir bening membekas di sudut mata Rani. Ibu tidak tahu, apa yang Rani mimpikan, tidur memeluk buku dan berurai air mata.

Sengaja ibu membiarkan Rani pulas. Kadang ibu merasa bersalah, membiarkan anak umur sembilan tahun membaca novel fantasi berat semacam “Fantasytopia”. Ia tentunya belum dapat membedakan, mana yang nyata, mana yang khayal.
Ibu mengelus kepala Rani, mencium keningnya dengan lembut, dan membiarkannya tetap pulas.

*
Tamat

*Terinspirasi oleh novel “Fantasytopia” karya Ando Ajo, Penerbit Jentera Pustaka(Mata Pena Group)



























Minggu, 25 September 2016

[Fiksi Horor dan Misteri] Irun Malang








            Gemericik alir bening menerpa bebatuan. Di sela rimbun pohon raksasa, matahari seperti menyelinap diam-diam, cahaya halusnya memberi hangat lumut-lumut hijau berhias tempias seolah butir embun.

            Air menetes di sela jari sepasang tangan yang menangkup alir air sungai itu. Berkali-kali membasuh dengan kesegaran yang tiada tara.

            “Ah, segarnya,” desah diiringi kibas rambut panjang yang baru saja digerai dari kondenya. Dagu runcingnya tengadah seolah hendak menangkap sinar matahari yang masih malu-malu.

            Tanpa tergesa, pemilik dagu runcing itu, menikmati segarnya udara pagi tepi hutan bukit Wonosalam. Tak ada siapa pun, karena tempat itu jauh dari pemukiman penduduk. Ia, gadis manis yatim piatu yang tinggal bersama kakeknya; menuruni bukit belasan kilometer bertahun-tahun sampai ia lulus SMA. Kini Ia memilih tinggal di rumah, merawat kakek dan  kebun sayur yang menjadi sumber penghidupannya.

            “Sudah selesai buat buburnya, Nduk? Suara Kakek mengagetkan si Gadis yang asik membuat bubur lima warna.

            “Sedikit lagi, Mbah.” Ia menjawab sambil terus menekuni pekerjaannya.

         Hari ini Minggu Kliwon, hari pasaran wetonnya—hari kelahiran dalam penanggalan Jawa. Kakeknya masih memegang tradisi leluhur, setiap weton harus membuat bubur lima warna. Bubur nasi cukup dari segenggam beras. Dibagi menjadi lima warna; putih, kuning, merah, hitam, dan hijau. Bagi si Gadis mudah membuatnya karena sejak ibunya meninggal, ia terbiasa membuatnya sendiri. Memberi warna menjadi bubur kuning, mencampur bubur beras dengan sedikit perasan kunyit, merah dengan menambahkan gula kelapa, hitam mencampurnya dengan bubuk kopi, dan hijau menambahkan air daun suji. Tidak perlu banyak-banyak, masing-masing warna cukup satu sendok.

            “Sudah selesai, Mbah.” Diletakkannya piring di atas bufet.

            “Diperiksa lagi letak warnanya, Nduk.” Kakek mengingatkan sambil memeriksa nyala ‘damar kambang’—lentera yang terbuat dari kapas sebagai sumbu, direndam dalam minyak kelapa—sebagai pendamping bubur.

            Meletakkan warna memang tidak boleh sembarangan karena menyangkut ketenangan batin si pemilik weton. Warna hijau harus selalu diletakkan di tengah, simbol dari keteduhan.

            Meski tak terdengar suara azan, Kakek tahu Maghrib sudah tiba. Mereka segera berwudu dan salat berjamaah. Bubur dalam bayang-bayang damar kambang menciptakan suasana mistis tersendiri di ruang tengah yang hanya diterangi lampu minyak.

            Ayu, pemilik dagu runcing, begitu khusuk dalam dzikir. Meski umurnya belum lagi 25 tahun, ia memiliki kepekaan batin. Mampu menangkap gelombang isyarat dari orang yang membutuhan pertolongan  atau jiwa yang mengembara dari raga yang mati.

            Jantungnya berdesir. Saat ia khusuk, mata batinnya menangkap rintihan. Jantungnya makin berdegup saat ia merasa, ada sosok duduk di hadapannya. Makin lama makin jelas, wajah perempuan muda memakai baju seragam SMA. Pucat pasi dan tidak berkata apa-apa, hanya sorot matanya seolah meminta tolong.

            Cukup lama Ayu meredakan getar dan meluruskan hati menekan rasa takutnya. Jika pun harus melihat penampakan jin dan bala kurawanya, telah tertancap di hati, ia tak boleh takut. Kata Kakek, manusia adalah makhluk yang memiliki derajat paling tinggi di antara semua makhluk ciptaan-Nya. Tidak pada tempatnyalah kalau justru manusia yang takut kepada makhluk-makhluk itu.

Selaras dengan usaha Ayu untuk menguasai diri, Kakek yang sudah menyelesaikan salatnya, melihat nyala damar kambang di ruang tengah bergerak gelisah, padahal tak ada angin masuk ke dalam ruangan itu.

            Ayu menatap wajah pucat penuh nestapa dari sosok  diam di hadapannya. Tapi tiba-tiba muncul  wajah seorang pemuda, berdiri di belakang sosok perempuan itu. Auranya terang, berusia sekitar 20 tahunan. Antara hilang dan timbul, wajah itu menyorotkan ekspresi bingung. Kemudian menghilang begitu saja.

            Ayu fokus kepada sosok perempuan yang duduk di hadapannya. Ayu tahu, sosok ini bukanlah dari jenis jin yang menyerupakan diri seperti manusia, sebab dzikirnya tidak membuat sosok itu menghilang.

            “Salam untukmu jiwa yang mengembara.” Ayu menyapa sosok itu dengan suara batinnya. Beberapa saat hanya suara burung kedasih terdengar di kejauhan rimba. Tak ada jawab, sampai wajah pasi itu mendongak mencari tatap mata Ayu.

            “Salaaam…Kakak,” lirih nyaris meratap.

            “Tolong akuuu….” Sosok itu merebahkan kepalanya di pangkuan Ayu. Tercekat, Ayu melihat dengan jelas, sosok itu adalah remaja cantik meski wajahnya pasi tak berdarah dan matanya nanar berselimut kabut nestapa. Ayu mengelus punggung tak kasat mata itu. Dengan lembut ia berusaha meredakan guncangan sayat tangisnya.

            Di ruang tengah, damar kambang menyala tenang. Ayu sedang mendengarkan cerita batin remaja tak kasat mata itu, yang menutup ceritanya dengan permohonan.

            “Tolong cari dia, Kakak. Aku akan pergi dengan tenang, aku tidak akan datang menemui Kakak lagi. Cari dia, Kakak….”

            Sebelum Ayu menjawab, sosok itu menghilang dari pangkuan Ayu. Meninggalkan cerita dan wangi jiwa murni dalam hati dan pikiran Ayu.

Ayu menarik napas panjang. Kemudian ia menemui Kakek dan menceritakan kejadian yang baru dialaminya. Banyak hal yang Ayu tanyakan kepada Kakek, bagaimana harus memenuhi permintaan jiwa yang sedang mengembara itu.

“Ini hari kejayaanmu, Nduk. Berkah Allah kalau mata batinmu semakin tajam.”

“Iya, Mbah. Doakan Ayu bisa berbuat kebaikan dengan berkah ini.” Ayu mencium tangan kakeknya dan melanjutkan dzikir demi mencari petunjuk-Nya agar dapat menolong jiwa remaja yang tadi hadir di hadapannya.

**

            Sementara itu, ada yang terseok-seok menaiki bukit. Gelap sehabis Isya’ membuatnya jatuh bangun di tanah lembek sehabis hujan. Engah napasnya lebih mengerikan daripada suara-suara hewan malam di sekitarnya.

            Entah berapa jauh sosok itu berlari. Ia tak peduli pada suara-suara pengejarnya yang terdengar semakin jauh. Ia hanya berharap, nyawanya bisa selamat dari amukan warga desanya.

            Sosok itu adalah Irun. Anak kabur kanginan yang dibuang oleh orangtuanya karena dianggap membawa sial. Ketika lahir, ayahnya bangkrut, tokonya disita oleh rentenir. Tak bisa bangkit dari keterpurukan, hidup miskin tak berkesudahan, tak berubah menjadi kaya meski hari-harinya dilewatkan di meja judi, membuat ayahnya gelap mata. Kala itu, Irun yang baru berumur satu tahun ditinggalkan di sebuah pos kamling desa tetangga. Ibunya meraung, tapi justru digebuki oleh ayahnya. Karena warga desa itu tak bisa menemukan orang tuanya, akhirnya ia diserahkan ke sebuah panti asuhan.

            Hidup di panti asuhan tak sepenuhnya membahagiakan. Kasih sayang yang didapat juga seadanya karena harus berbagi dengan anak-anak lainnya. Namun demikian, Irun tak pernah mendendam kepada orang tua yang ia tak ingat lagi bagaimana wajahnya. Disekolahkan oleh panti, ia mensyukurinya. Meski hanya sampai SMP ia bangga karena bisa bekerja menjadi pembantu di rumah seorang juragan sapi. Prilakunya baik. Ia disayang oleh juragan dan seluruh anggota keluarganya.

            Tapi kemalangan seolah menjadi garis hidupnya. Kini ia harus meninggalkan rumah juragannya, dikejar-kejar warga sampai ia harus menerobos rimbun hutan pada malam yang gelap seperti ini.

            Ayu yang mengambil air wudu di sumur untuk salat malam, mendengar kerisik di belakang dapur. Penerangan yang seadanya, tak menjangkau pandang di sana. Ayu hanya menoleh sebentar, tapi nyaris pingsan ketika di belakangnya berdiri sosok yang tak jelas wajahnya. Ketika akan berteriak, sosok itu sudah membekap mulutnya. Ia meronta, mencakar, dan menendang apa saja yang ada di sana, berharap kakeknya mendengar jerit ketakutannya.

            “Sttt…sttt..diam…diam….” Sosok itu berbisik di telinga Ayu.

        Ayu terus meronta, mencakar sekenanya, dan sempat menggigit bahu sosok yang membekapnya. Kakinya menendang kuat. Bekapan terlepas dan sosok tadi terpental membentur guci padasan tempat air wudu.

            Glomprang!! Brukk!!

            Sepertinya guci pecah diikuti suara jatuhnya sosok pembekap Ayu.

            Ayu tidak berpikir lagi, langsung masuk ke dapur yang pintunya tak tertutup. Dengan gemetar berusaha memasukkan kayu pengunci pintu. Sejenak ia lunglai dan terjerambab di lantai. Tapi segera dapat menguasai diri, memeriksa grendel jendela dan pintu-pintu. Kemudian masuk kamar Kakek, tapi tak berani membangunkan ketika mendengar dengkur halus teratur napasnya. Ayu bersimpuh di bawah tempat tidur Kakek, berdzikir memanjatkan rasa syukur karena terlepas dari mara bahaya. Ia berharap sosok itu pergi jauh-jauh dari rumahnya setelah gagal membekap Ayu.

            “Nduk…ada apa, kok, duduk di sini?” Kakek terjaga dan terkejut melihat Ayu bersimpuh di lantai dekat ia tidur. Terkantuk-kantuk, tapi tangannya terus memainkan biji tasbih.

            “Oh, Simbah…nuwun sewu, jangan ke sumur dulu, ya.” Ayu membantu Kakek turun dari tempat tidur.

            “Lah, kenapa?”

          “Ehm…Ayu lihat dulu, sudah pergi atau belum orang itu.” Bergegas Ayu mendahului Kakek menuju sumur.

            “Hei…orang siapa, Nduk? Ada tamukah?” Kakek memberondong Ayu dengan tanya tapi Ayu terlalu sibuk mematikan dan menyalakan senter. Menguji senter masih baik atau tidak nyalanya.

            Dengan sorot senter, Ayu memeriksa sumur dan tempat padasan. Langkah Ayu terhenti dan lututnya gemetar karena ia melihat ada sosok terbaring di lantai sumur di antara tebaran pecahana guci tanah yang cukup tebal.

            “Kakek…jangan keluar dulu.”

          Ayu mencegah Kakek untuk keluar dan menggenggam kayu pengunci pintu dapur kuat-kuat. Kakek yang masih tidak tahu apa-apa, menurut dan mengendap di belakang Ayu. Ketika mencoba mengintip dari bahu Ayu, rambut panjang Ayu terkibas mengenai wajahnya karena tiba-tiba Ayu memutar kepala, menempelkan jari yamg memegang senter di bibir sebagai isyarat agar Kakek jangan bersuara.

            Satu tangan memegang senter, lainnya Ayu pakai menyodok kepala sosok yang terkapar itu. Tidak ada reaksi. Entah mati atau sekadar pingsan. Setelah memastikan sosok itu tidak bereaksi, Ayu mendekat dan memeriksa, adakah sosok itu membawa senjata. Ternyata tak ada senjata sama sekali.

            Mungkin sosok itu kelelahan, langsung tidur setelah pingsan tertimpa guci padasan. Ayu akan memegang kepala sosok itu, tapi langsung menjauh karena mata sosok itu tiba-tiba terbuka. Belum sadar sepenuhnya, menggeliat, dan berusaha menutup mata dengan lengannya ketika sorot senter Ayu mengarah kepadanya.

            Belum sadar sepenuhnya, Kakek yang masih kekar, meringkus dan mengikat sosok itu dengan tambang yang masih terikat pada ember yang biasa dipakai untuk menimba.

            Sosok yang ternyata anak muda berumur dua puluhan, diam saja dalam ringkusan Kakek. Wajahnya penuh bekas cakaran, barangkali kuku Ayu mengukir wajah tampan pemuda itu ketika bergumul semalam.

            Saat tanah terang seiring riuhnya kokok ayam jantan, pemuda yang diikat pada batang pohon sirsak oleh Kakek, terlihat jelas begitu kumuh. Tanpa alas kaki, celana butut yang tak jelas lagi warnanya robek di sana sini, kaus kuning bergambar sapi dengan tulisan Juragan Ramli, semuanya berlepot lumpur. Menyempurnakan kemalangan pada wajah tampannya.

            Ketika Ayu mendekat dan mengamati pemuda itu, Ayu terperanjat.

           “Heh, bukankah itu wajah yang kemarin ada di belakang jiwa pengembara?” gumamnya sambil terus berpikir apakah ada hubungannya satu sama lain.

            Karena tidak memperlihatkan sikap membahayakan, Kakek membawa pemuda itu ke ruang depan. Masih dalam keadaan terikat, karena Kakek berjaga-jaga saja. Ayu memberinya teh hangat dan sarapan seadanya.

            “Namaku…maafkan tindakanku semalam, Mbak,” ujarnya setelah tubuhnya terasa segar. Kakek menatap Ayu penuh tanya tentang kejadian semalam. Tapi Ayu hanya mengedip dan menggeleng, seolah mengatakan tak ada apapun yang terjadi.

            Ayu kembali mengingat wajah pemuda itu ketika terlihat oleh mata batinnya. Mengapa auranya terang? Karena ternyata wajah ini masih hidup. Ayu hanya bisa melihat, tapi tak bisa berkomunikasi lewat batin dengannya. Lain halnya jika orang itu juga memiliki kepekaan mata batin, bisa berkomunikasi meski raga berjauhan. Ah, sudahlah, yang penting sekarang Ayu akan bisa mengorek semua hal yang masih misteri ini.

            “Tidak apa-apa, kan, kalau Kakek antar nak Irun ke Polsek terdekat?” Kakek meminta pendapat Irun setelah mendengar pengakuan menyedihkan sampai ia diburu warga desa.

            “Tidak apa_apa, Kakek…tapi aku tidak mau mati…aku tidak melakukannya.” Air mata kembali membasahi wajah tampan yang masih berlepot lumpur dan bekas cakaran.

            “Aku minta maaf, Mbak…semalam aku hanya ingin Mbak diam. Aku hanya ingin istirahat dan makan karena seharian lari dari kejaran warga.” Lirih katanya dan tak berani menatap Ayu. Ayu tak sepenuhnya memercayai apa yang diceritakan Irun, dikejar warga karena disangka melakukan perkosaan terhadap anak gadis Juragan Ramli, juragan tempat ia bekerja.

              Di Polsek Wonosalam, Irun diserahkan kepada petugas yang langsung menjembloskannya ke dalam sel tahanan.

        Di sel sempit itu Irun tetap berurai air mata. Ia merasa Tuhan tidak pernah berlaku adil kepadanya. Dibuang orang tua, hidup di panti asuhan, disangka memerkosa anak juragan yang sesungguhnya sangat ia lindungi. Sejak bekerja di rumah Juragan Ramli, ia sangat menyayangi Anna. Anak SMA yang cantik dan santun meski ayahnya terlihat seperti Abang Jampang. Galak dan menakutkan. 

          Hingga suatu hari, Anna ditemukan warga di kebun jagung belakang pasar sapi saat ia baru pulang karya wisata. Tubuh telanjangnya ditutup dengan seragam SMA-nya. Bercak darah di mana-mana. Bahkan di kuku jarinya ada secuil kulit, yang mungkin hasil cakaran saat ia meronta.

            Saat ditemukan warga, Anna masih hidup dan sempat menyebut satu nama, “Irun…Irun...,” kemudian terkulai dan tewas.

         Sejak itu warga memburu Irun dan menemukan Irun yang berkeliaran di kaki bukit Wonosalam.

           Ketika hasil otopsi Anna keluar, ada kesamaan golongan darah Irun dengan darah yang ada di kuku Anna.

          Irun makin histeris. Irun mengamuk dan membetur-benturkan kepalanya di dinding sel tahanan.

            “Tidak adil! Tidak adil! Aku tidak melakukannya…,” teriaknya.

           Teriakannya tidak digubris Polisi jaga, tetapi sebentar kemudian malah digotong ke Puskesmas karena percobaan bunuh dirinya yang gagal itu.

            Di bukit Wonosalam Ayu bernapas lega. Sosok perempuan muda yang ada di pangkuannya kemarin adalah Anna. Ayu mendoakan ketenangan jiwa Anna, agar tidak mengembara lagi karena pemerkosa dan pembunuhnya telah ditemukan.

            **

            Sementara itu di desa sebelah, seorang pemuda lebih muda tetapi berperawakan dan berwajah persis Irun, bermabuk-mabukan dan berjudi bersama lelaki tua yang juga mirip Irun. Dalam mabuknya, sesekali ia menggaruk luka bekas cakaran yang mulai bernanah.

            **

Catatan:
Nuwun sewu: permisi, maaf
           
*Tulisan ini diikutsertakan dalam Event Fiksi Horor dan Misteri Grup Fiksiana Community

#FiksiHorordanMisteri           
           

Jumat, 09 September 2016

Ada Apa Dengan Anglocita




 Membayangkannya seperti nama seorang gadis cantik berkulit putih, wajah kebule-bulean, tubuh tinggi semampai dengan rambut hitam tergerai di punggung berpinggang ramping.

Jika itu seorang gadis maka nama Anglocita sangatlah pas. Tapi yang nyata adalah sebuah buku kumpulan puisi berjudul Anglocita.

Barangkali terasa asing. Tapi jika dicari maknanya, anglocita bisa diartikan sebagai curahan hati. Dan dalam hal ini, kumpulan puisi yang ditulis oleh Alpaprana memang dimaksudkan sebagai karya yang lahir sebagai curahan hatinya.

Kegelisahan jiwa dalam pengembaraan daya ciptanya, dilukiskan melalui rangkaian kata dengan pendekatan kepada semesta. 

Puisi-puisi lahir dari rahsa Alpaprana dalam bahasa yang barangkali terasa asing untuk pembacanya. 
Yah, ia ingin menjadikan dirinya sebagai penulis yang mempunyai karakter unik, dalam hal ini ia mengajak pembaca untuk rajin membuka kamus Sanskerta.

Bikin pusing?
Tentu tidak. Bukankah Mbah Google selalu siap menolong siapa pun yang sedang dalam kesulitan?

Untuk memudahkan penyampaian maksud anglocitanya, Alpaprana mengelompokkan puisi-puisinya menjadi enam bab. Sebagai contoh, untuk menyampaikan rahsanya tentang sunyi, ia memberi judul babnya dengan Memiliki Kesunyian.

Dalam puisinya ia bertanya, "Untuk apa sunyi?"
Perenungannya kemudian berdenyut seperti detak nadi. Tidak berhenti namun terus bergerak dalam kelembutan.
Hingga tiba pada suatu perhentian, ia berkata, "Pada batas kekosongan nalar, waktu pun lenyap, makna menjawab. Isi jiwa memiliki kesunyian."
Ketika sampai pada relung atma terdalam, ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa 'dalam wujudku, rahsa memiliki kesunyian'

Wow...curahan hati yang cantik.

Alpaprana yang belum genap 30 tahun semakin liar dalam pengembaraan jiwa. Ia menelusuri pergerakan semesta, menghanyutkan diri dalam jiwa semua ciptaan-Nya. Bulan, angin bahkan daun mahoni pun dapat ia maknai perlambangnya.

Pada bab lain yang diberinya judul Syair Berdarah, secara spesifik ia tak memberi judul pada lima puisi yang tergabung di sana. Ia hanya menandai judulnya dengan #1 sampai dengan #5. Entah mengapa dibuat seperti itu. 
Dan mengapa ia menamai puisi-puisi itu dengan Syair Berdarah? Adakah ia menuliskan rahsa tentang peistiwa-peristiwa berdarah?
Gelebah. Kesedihan hati. Mungkinkah itu yang membuatnya menulis Syair Berdarah?

Masih banyak puisi lain yang menarik. Tapi jangan berharap dapat mengerti jalan cerita pada setiap puisinya. Sebab semua juga tahu, puisi itu mutlak hanya penulisnya yang tahu maksudnya secara detail. Pembaca hanya bisa menikmatinya, syukur-syukur bisa memahaminya, meski cuma sedikit. 

Anglocita, tampil begitu menawan, seperti noni-noni di atas. Diterbitkan oleh Penerbit Jentera Pustaka (Mata Pena Group), disunting oleh Nur Ridwan, hadir dalam ketebalan 140 halaman, terbit pada tahun 2016.

Satu hal penting yang membuat buku ini nyaman dibaca adalah kreatifitas layouter Kharisma Amalia menampilkan dua kolom dalam tiap halamannya. Karakter dan ukuran huruf pun pas, ruangan yang tidak berjubel dengan kata seolah memberi ruang untuk lebih bisa menikmati puisi yang terpampang di sana.

Melenakan, sampai tak terasa, 99 puisi dilahap dengan nikmat. 

Mau tahu keseluruhan isi Anglocita?
Miliki bukunya.
Kita bisa berbincang dan menggosipkannya nanti.

Tabik literasi!


Sidoarjo, menjelang Maghrib.



Rabu, 24 Agustus 2016

Menyingkap Tirai "Duka Darah Biru"






            Sebuah novel tak kunyana hadir begitu saja. Dari seseorang yang tak kukenal baik di dunia nyata maupun dunia maya. Lama aku menimangnya sambil terus berpikir, ‘jatuh dari langit mana, buku ini?’

            Buku ini ternyata dikirim oleh Erna Riyana Dewi yang baru saja berteman denganku di Face Book. Merealisasikan komitmen bagi buku dapat buku dengan teman-temannya dan temanku juga.

             Judul buku: Duka Darah Biru
             Pengarang: Dewi Sumardi
             Editor: Sekar Mayang
             Penerbit: Penerbit Jentera Pustaka (Mata Pena Group)
             Tahun terbit:2016

Sesuai dengan judulnya, novel ini berkisah tentang perjuangan hidup seorang gadis ningrat yang 'mbalelo', lari dari rumah hanya berbekal sepotong asmara.

          Terlahir dari keluarga ningrat Solo, memilih jalan hidup keluar dari keningratannya yang telah dijalaninya selama 24 tahun demi keagungan cintanya kepada lelaki dari kalangan rakyat biasa. Sri Khadijah, putri Raden Mas Haryo Kusumo, lari dari rumah dan dianggap sebagai ‘endog ilang’, telur yang hilang oleh ayahandanya yang marah hebat, sebab menolak dijodohkan dengan Raden Bagus Purnomo Sidi. Ia meninggalkan Solo dua minggu sebelum pernikahannya digelar.

Meski darah biru diambil sebagai judul, novel ini justru sama sekali tidak berkisah tentang kehidupan darah biru secara mendalam. Hanya menjadi latar utama untuk duka-duka yang terajut dalam pergolakan hidup Sri Khadijah di luar dunia keningratannya.

 Pernikahan Sri Khadijah dengan Samejo yang miskin harta, dirasakan sebagai hal yang sangat berarti untuk sisi religiusnya. Samejo mengajarkan, meski miskin, Sri dan anak-anaknya diajarkan untuk tidak meninggalkan kewajibannya sebagai umat Islam, yang tidak pernah didapatkan dari Ramanya ketika masih berada di Solo.

Memaknai tindakan ayahanda Sri, pasti Dewi sang penulis, tidaklah bermaksud memojokkan ningrat Solo dalam masalah ketaatan beragama, tetapi lebih mengetengahkan keteguhan tradisi Jawa yang kebanyakan masih memegang teguh kepercayaan terhadap Kejawen.

            Cerita selanjutnya mengalir seperti anak sungai di tengah hutan rindang.

            Pergulatan hidup Sri Khadijah yang sesungguhnya dimulai justru setelah ditinggal mati Samejo. Anak keluarga ningrat yang tak dijelaskan latar belakang pendidikannya itu, bertahan hidup dengan berjualan getuk lindri di sebuah pasar Kota Semarang, demi membesarkan ketiga anaknya, Oyong, Surami dan Supri.

            Dewi Sumardi, sungguh terarah dalam menulis novel ini. Masing-masing tokoh dan konfliknya diramu bagian demi bagian begitu apik, mengikuti karakter masing-masing.

            Oyong, anak sulung yang terlahir tak sempurna, cebol-pengkor-telat mental, pada usia 24 tahun terbujur kaku tak bernyawa karena membela Buliknya dari kawanan perampok.

            Konflik yang dibangun menyentuh hati, terutama kegigihan Oyong yang punya keterbatasan fisik tetapi tulus terhadap siapa pun. Meski itu buliknya sendiri yang tak pernah ikhlas jika suaminya (ipar Sri) memberi Oyong uang sekadarnya.

            Dewi sang Penulis menunjukkan kepeduliannya kepada sosok yang terlahir cacat. Seorang dengan keterbatasan fisik, menurutnya, juga punya impian. Begitu pesan yang dapat kutangkap saat  membaca bagian ini.

 Impian Oyong sederhana, ingin makan gulai kepala ikan sebagaimana diceritakan temannya. Sampai akhir hayatnya, dapatkah ia mewujudkan impiannya itu?

            Kesedihan sepeninggal Oyong melahirkan kesedihan baru untuk anak Sri yang lain, Surami, anak gadis satu-satunya.

            Cerita tentang Surami ini nyaris mendominasi seluruh isi buku. Seperti gado-gado, rasa yang hadir juga ikut turun naik saat membacanya.

            Jatuh bangun mengais rejeki dengan pendidikan SMP tak menghalangi Surami menjatuhkan cintanya pada seorang pemuda. Berakhir seperti gantungan baju ditiup angin, pemuda yang sudah jadi suaminya itu ditelikung ibunya sendiri, dijauhkan dari Surami yang sedang mengandung.

            Hidup harus terus berlanjut. Penulis mendaki bukit dan melintas jalan penuh kelok untuk menggambarkan perjalanan hidup Surami. Mengapa terperangkap pada lesbianisme? Bagaimanakah dapat terajut persahabatan yang tulus? Akankah bertemu kembali dengan suami yang lama tak tahu rimbanya? Dan akankah darah biru Sri Khadijah berakhir hanya sebagai penjual getuk lindri di tengah pasar? Tersambung kembalikah Sri dengan keluarga ningratnya? Semua ditulis begitu natural hingga aku membaca seolah akulah yang mengalaminya.

            Perdukunan juga diangkat dalam novel ini. Menjadi contoh, betapa perbuatan melintas kehendak Tuhan tidak akan pernah berakhir dengan kebahagiaan. Perbuatan jahat akan selalu mendapat balasan setimpal.

            Rangkaian kata dalam novel ini sempurna. Tidak ada satu kalimat pun yang bertele-tele. Dibungkus begitu rapi per bagiannya. Salut aku kepada Sekar Mayang sebagai editor. Bebarapa kali membaca buku dengan editor Sekar Mayang, tulisan jadi enak dibaca, mudah dicerna.

            Tidak rugi membaca novel yang kelihatannya sederhana ini, tetapi sarat dengan pemikiran tentang rasa syukur.

            Dan satu hal yang membuatku terkesima, Dewi Sumardi itu ternyata adalah nama pena dari sang pengirim buku, teman Face Book-ku, Erna Riyana Dewi. Holaaa….

*Sidoarjo, 23 Agustus 2016