sumber gambar:Google
Kepak sayap silih berganti dari yang
terdengar berat sampai yang lembut, seperti para penerjun mendaratkan kakinya
di pelataran samping dapur.
Puluhan merpati mendarat satu demi
satu, meninggalkan dahan pohon mangga demi memperebutkan butiran beras yang
ditebar oleh tangan seorang gadis cilik berumur
sembilan tahunan.
Awalnya, merpati itu hanya ada tiga
pasang dari jenis berbeda. Modena, King Pigeon, dan merpati balap. Di antara
ketiga jenis itu, Modena paling menggemaskan karena badannya buntet, ekornya
pendek, sayapnya berwarna colat, kepala hitam, punggung dan badannya berwarna
putih. Sedang merpati balap mengagumkan saat terbang melintas awan. Melesat secepat
kilat dengan tubuh rampingnya, meski untuk warna biasa saja. Leher hijau
kebiruan cenderung ungu saat diterpa sinar matahari, selebihnya hitam atau
abu-abu. Yang paling seksi King Pigeon. Badannya hampir sebesar ayam, kepaknya
paling keras kalau terbang tiba-tiba karena terkejut.
Perkembangbiakannya begitu cepat,
terutama untuk jenis merpati balap. Semakin bertambah, karena ada juga merpati
tak diundang. Tiba-tiba saja sudah bergabung dalam kerumunan yang ada dan tak
mau pergi lagi. Pun sebaliknya, harus ikhlas kalau sewaktu-waktu jumlahnya
berkurang karena ada yang pergi dan tak kembali. Risiko memelihara burung yang
dibiarkan bebas tanpa sangkar.
Kirani, gadis kecil penebar beras,
sangat menyukai merpati-merpatinya. Tak ada waktu terbuang tanpa bercengkerama
dengan mereka. Bahkan sering ia berbicara seolah mereka adalah sahabatnya.
“Dena, ayo erami telurmu. Jangan main
terus,” celetuknya sambil menggiring emak Modena yang meninggalkan dua telurnya
di sarang sekadar bercumbu dengan jantannya. Modena ini agak malas mengerami
telurnya, barangkali karena mereka pasangan yang masih muda, masih suka
bercumbu saja.
“Hush..hush!” Kirani menghalau salah
satu pasangan merpati balap yang berusaha mengambil sarang merpati lain yang
sedang mengerami telurnya. Kadang memang seperti itu, ada merpati yang tak bisa
bertelur meski sudah bercinta berkali-kali, dan berusaha merampok sarang lain
untuk dierami.
Hingga suatu hari, Modena malas lagi
untuk mengerami telurnya. Kirani berusaha menggiringnya agar kembali ke sarang.
Tapi ada yang janggal pada telur yang ditinggalkan.
“Hah, apa ini?” Ia mengambil sebutir
telur lain di antara dua telur yang ada. Seperti telur, tapi berat dan keras.
Warnanya hijau kebiru-biruan. Seketika ia memanggil ibunya.
“Ibuk…Ibuk…Ibuk….”
Panggilan itu seperti kata-kata
mantra.
Tiba-tiba langit berpendar. Kirani seperti berada dalam
gelembung transparan yang sangat besar. Ia bisa melihat dapur tempat ia biasa
menebar beras ke pelataran, tapi tak bisa melewati sekat yang seperti karet
tipis. Ia terus memanggil ibunya, tapi suaranya hanya memantul seolah berputar
dalam gelembung itu.
Belum hilang rasa takutnya, tiba-tiba
di hadapannya berdiri seorang pemuda berpakaian necis, jas coklat dipadu padan
dengan kemeja dan celana putih, dengan sepasang sayap kokoh di punggungnya.
Sepatu? Ah, kakinya bukan layaknya kaki manusia, tapi mirip kaki merpati. Empat
jari dengan cakar yang tidak begitu tajam berwarna merah.
Kirani ingin menangis. Tapi ia
menahannya dan menguatkan hati untuk berani.
“Kamu siapa?” Ia bertanya sambil tak
henti menatap kaki pemuda itu.
“Kamu tidak mengenaliku?” Pemuda itu
balik bertanya, tersenyum lucu, dan memutar tubuhnya sambil menderuk seperti
suara merpati yang berusaha menarik perhatian lawan jenisnya.
“Hah? Kamu, Modena?” Kirani segera
ingat tingkah Modena, merpati yang paling centil di antara merpati
peliharaannya.
“Iya.” Modena menjawab singkat tapi
tak membiarkan senyuman pergi dari bibirnya yang mungil.
Melihat Kirani masih bingung dengan
keberadaannya, Modena mengajaknya naik ke sebuah rumah sederhana, semacam rumah
dengan tangga tinggi di atas pohon mangga. Ternyata di dalam rumah ada sosok
perempuan seperti Modena. Gaunnya putih dipadu padan dengan kardigan coklat. Ia
sedang menyuapi sepasang anak kembar, lelaki dan perempuan. Eh, jantan dan
betina tepatnya. Dan tentunya, kakinya semua sama dengan Modena, kaki burung.
“Ini anak-anakmu? Bukankah kalian
berdua malas mengerami telur dan hanya sibuk bermain saja?” Kirani sudah tidak
takut lagi dan mencoba mencairkan suasana dengan menggoda keduanya.
“Itu kan dulu, waktu kami baru
bertemu. Masih muda dan inginnya bermain terus.” Modena dan istrinya tersipu.
Kirani lebih berani untuk menatap
keadaan sekitarnya.
“Ini aku di mana? Negeri burung?
Kenapa aku bisa ke sini?” Seperti gumam, pertanyaan-pertanyaan itu mengalir
tanpa putus.
Modena dan istrinya saling pandang.
Membiarkan Kirani berjalan ke seluruh sudut rumah. Melihat ke luar dan
memuaskan keingintahuannya.
Seolah lupa pada pertanyaannya,
Kirani begitu takjub melihat aktifitas di luar rumah. Orang-orang berpakaian
seperti tampilan jenis-jenis merpati dengan sayap di punggungnya. Mereka ada
yang sibuk bercocok tanam, ada yang memipil jagung, ada yang memisahkan gabah
dari jeraminya. Ada yang mengasuh anak, ada yang berkejaran bersenda gurau.
Riuh sekali, seperti suara merpati di rumah saat Kirani bermain bersama mereka.
“Ini negeri peri merpati, Kirani.”
Modena mulai menjawab pertanyaan Kirani yang terlihat mulai bisa beradaptasi
dengan lingkungan barunya.
“Coba buka genggamanmu. Itu adalah
batu kunci, pembuka gerbang dunia peri merpati. Sengaja sesepuh kami memberikan
itu kepadamu, karena kamu begitu peduli kepada kami selama ini.”
Perlahan Kirani membuka genggamannya.
Batu hijau kebiruan sebesar telur merpati, berpendar diterpa sinar matahari
yang masuk dari jendela. Ia timang dan amati dari berbagai sudut. Pendarnya
semakin berkilau di tangan mungilnya.
Tiba-tiba ia ingat sesuatu.
“Benar ini kunci pembuka gerbang
dunia peri?” Modena hanya mengangguk tanpa mengerti mengapa Kirani begitu
gembira menerima batu telur itu.
“Berarti aku sudah sampai di negeri peri, negeri fantasy. Modena, apakah negeri ini dipimpin oleh seorang ratu dari bangsa
bersayap sepertimu yang bernama Ratu Meraelf?” Mata Kirani berbinar. Terbayang
wajah seorang ratu cantik pemimpin negeri besar dengan rakyat dari berbagai
jenis binatang darat, udara, dan laut.
“Negeri ini besar sekali Kirani. Aku
tidak tahu siapa pemimpin negeri ini. Yang aku tahu hanyalah para sesepuh jenis
merpati yang memimpin kami turun temurun.”
“Ah, kau, Modena. Aku membacanya. Ada
buku yang menceritakan dunia yang kita injak seperti sekarang ini.”
Kirani
tidak tampak seperti gadis sembilan tahun. Ia memang gemar membaca buku. Selain
rajin mengunjungi perpustakaan di balai desa, ia juga suka membaca buku-buku
milik ibunya. Ibunya seorang penulis, karenanya Kirani mewarisi bakat ibunya,
menyukai dunia literasi.
“Negeri itu dekat dengan pantai
Utara, Modena. Ada seorang anak yang berhasil masuk ke sana, lewat pantai Utara
Jakarta. Ah, ya, nama negerinya Kerajaan Elfunity.” Kirani bersemangat sekali.
“Modena, aku ingin sekali pergi ke
kerajaan Elfunity. Mau, kan, kamu mengantarku mencarinya?” Kirani memandang
Modena dan istrinya bergantian. Penuh harap.
“Aku tidak bisa mengantarmu.
Anak-anakku masih kecil. Aku harus mengajari mereka mencari makan, terbang
sendiri, dan melindungi mereka dari makhluk pengganggu lainnya. Maafkan aku,
Kirani.”
Kirani sedikit kecewa. Tapi matanya
kembali cerah saat Modena berjanji mencarikan jalan agar ia bisa menemukan
Kerajaan Elfunity.
Modena mengajak Kirani mengunjungi
kediaman sesepuh merpati.
Tidak begitu jauh dari rumah Modena,
sebuah rumah dengan tangga yang lebih tinggi dari rumah-rumah di sekitarnya,
tampak sudah begitu tua dibangun pada dahan sebuah pohon kenari.
“Assalamu’alaikum, Pak Puh,”ucap
Modena di depan pintu tak berdaun.
“Wa’alaikumsalam. Masuklah, Anak Muda.”
Suara bergetar lebih dari seorang menjawab salam Modena.
Kirani menggumamkan ucapan salam sebagaimana
Modena. Ia menempel di belakang Modena, mengintip sedikit takut pada tiga kakek yang duduk berjajar menghadap
pintu. Sayap-sayapnya tidak sekokoh sayap Modena, tapi pandangan matanya tajam,
menghujam jantung Kirani yang merasakan aura kewibawaan seperti kewibawaan ayah
dan kakeknya.
“Duduklah. Bukankah ini pembawa batu
kunci gerbang dunia peri?” Tanpa dijelaskan mereka tahu siapa yang datang bersama
Modena.
“Iya, Kakek.” Dengan takzim Kirani
menjawab pertanyaan para sesepuh itu.
“Ada keperluan apa sampai harus
menemui kami, bukankah lebih menyenangkan kalau bermain dengan orang-orang di
sini?” Para sesepuh beranggapan pasti ada hal penting sampai Kirani harus
menemui mereka.
Mula-mula Kirani sedikit ragu untuk
menyampaikan maksudnya. Tapi tanpa terasa, semangatnya begitu menggebu ketika
menceritakan Kerajaan Elfunity yang ingin ia kunjungi.
Para sesepuh mendengarkan cerita
Kirani tanpa menyela sedikit pun. Dan secara bergantian mereka menanggapi
cerita Kirani.
“Sepengetahuan kami, dunia peri tak
punya struktur pemerintahan seperti peradaban yang ada dalam dunia manusia,
Anak Muda. Mungkin buku yang kaubaca, adalah sekadar rekayasa, seolah kehidupan dunia peri sama dengan
kehidupan dunia manusia.
Kirani tak sepenuhnya paham apa yang
para sesepuh ucapkan. Di dalam hatinya ia tetap percaya kalau Kerajaan Elfunity
itu ada. Ratu Meraelf, Ramelf, Arwann, Pegasus, Ahmad, semua itu ada.
“Di dunia peri seperti kami, tak ada
pengakuan kepada bangsa lain untuk menjadi pemimpin kami. Pemimpin kami adalah
bangsa kami sendiri. Masing-masing bangsa mempunyai pemimpinnya sendiri yang
mereka akui karena dianggap sanggup melindungi warga dari serangan pemangsa
bangsa lain. Tidak ada bangsa lain yang mengabdi pada kami, begitu pun kami,
tidak mengabdi kepada bangsa lain.” Para sesepuh panjang lebar menjelaskan
kepada Kirani, yang hanya duduk diam dan tetap berharap diijinkan diantar oleh
seorang warga peri merpati mencari kerajaan Ratu Meraelf.
“Ijinkan aku tetap mencarinya, Pak
Puh. Ijinkan, ya,” rengek Kirani seolah ia berhadapan dengan kakeknya.
Melihat keteguhan hati Kirani, para
sesepuh luluh hatinya dan mengutus salah satu jenis merpati balap untuk
mengantarnya.
Segera Kirani berpamitan setelah
mengucapkan terima kasih dan mencium tangan para sesepuh, yang sayap di
punggungnya sedikit bergetar karena tidak mampu meyakinkan Kirani kalau yang ia
baca itu adalah khayalan belaka.
Kirani gembira, merpati balap itu
masih muda, tampan, dan terlihat tidak sombong. Setelah mengucapkan terima
kasih dan berpamitan kepada Modena serta istrinya, Kirani berpamitan.
Racing, nama pembalap muda itu,
dengan sopan menyilakan Kirani naik ke punggungnya. Dan dengan sopan pula,
Kirani duduk dengan hati-hati. Ini pengalaman pertama Kirani terbang seperti
merpati balap yang ia punya di rumah. Hatinya berdebar kencang saat Racing
terbang pada kecepatan penuh melintasi awan hitam. Erat ia peluk bahu Racing
dan sejajar ia posisikan kepalanya dengan kepala Racing. Angin begitu kencang,
dingin menusuk tulang. Bersyukur istri
Modena memberinya baju tebal yang terbuat dari bulu-bulu berwarna coklat. Pasti
saat itu ia berpenampilan seperti jenis merpati Modena.
“Kita mencari ke mana, Rani?” Di sela
desir angin Racing menanyakan arah tujuan. Kirani sedikit terkesiap, hanya
ayah, ibu, kakak dan adiknya saja yang memanggilnya dengan sebutan Rani. Teman
sekolah dan gurunya biasa memanggilnya dengan sebutan Kiran.
“Ke arah Kenjeran Surabaya aja,
Racing. Kan, sama-sama pantai Utara. Barangkali bisa kita telusur dari penghuni
yang ada di sana.” Kirani memberi arahan.
Racing melesat ke arah Utara. Sekejap
kemudian ia menukik tajam, mendarat persis di pantai Kenjeran.
Kirani mengusap matanya yang pedih.
Udara laut dengan aroma garam seperti memercik ke bola matanya.
“Sini aku bersihkan matamu.” Racing
mengeluarkan sapu tangan dari balik sayap tegapnya, membersihkan mata Kirani
yang merah membasah.
“Terima kasih, Racing,” ujar Kirani
sambil menatap laut lepas yang bergelombang nun jauh di sana. Pantai Kenjeran
tak sedikit pun tersentuh ombak. Hanya lumpur membentang beberapa kilometer,
dengan sesekali ikan-ikan kecil berseluncur dan berlompatan, lari dari kejaran
camar yang tiba-tiba menukik mengancam nyawa mereka.
Ada seekor peri kupu-kupu melintas di
dekat kepala Kirani sedang bersenandung riang.
“Eh, maaf peri kupu-kupu, boleh aku
bertanya?” Kirani menghentikan kupu-kupu kuning itu sejenak.
“Iya, Kakak, mau tanya apa?” Peri
kupu-kupu itu ternyata ramah. Senyum manisnya tak lekang seperti sayap indahnya
yang terus mengepak.
“Adik, pernah dengar Kerajaan
Elfunity? Pernah kenal dengan peri kupu-kupu bernama Ramelf?” cecar Kirani.
“Oh, maaf, Kakak. Aku tidak pernah
mendengar nama kerajaan Elfunity, dan juga belum pernah mendengar nama Ramelf.”
Kupu-kupu itu menjawab singkat tanpa meninggalkan senyumannya.
“Apakah di sini Adik pernah melihat
bangsa Mermadian? Dulu nama pemimpinnya Racean. Tapi sekarang sudah meninggal
dan digantikan putranya, Arwann. Kalau muncul dari laut, Arwann ini sisiknya berguguran
dan akan berubah menjadi baju zirah.” Berapi-api Kirani menggambarkan yang
dicarinya.
“Tidak tahu, Kakak. Pantai ini jarang
sekali tersentuh ombak besar, kecuali saat purnama, air akan sampai di pantai.
Dan aku belum pernah sekali pun melihat bangsa Mermadian di laut ini,” ujarnya.
“Oh, begitu, ya. Terima kasih, Adik.”
Kirani tertunduk lesu. Tak ada yang tahu atau pernah mendengar nama Kerajaan
Elfunity di sini setelah Kirani menanyakan kepada peri Kepiting, ikan-ikan
kecil maupun lebah dan binatang lain, padahal ini adalah juga dunia peri yang
terhubung dengan laut yang sama dengan lokasi Kerajaan Elfunity.
Peperangan di Kerajaan Elfunity
menurut buku itu, melibatkan banyak bangsa dari ordo-ordo berbagai macam
binatang, yang mestinya binatang yang sama seperti yang ada di Kenjeran ini.
“Mau dicari ke mana lagi, Rani?”
Racing memecah hening kesedihan Kirani yang belum berhasil mendapatkan sedikit pun
titik terang tentang Kerajaan Elfunity seperti yang ia baca di buku.
“Tak tahulah. Jakarta jauh dari sini.
Kalau terlalu lama pergi, aku khawatir keluargaku akan bersedih.” Kirani
tiba-tiba sedih saat teringat kepada ibu, bapak, kakak, dan adiknya.
“Kita pulang? Naiklah ke punggungku.”
Racing membetulkan kancing baju hangat yang dipakai Kirani. Ia juga memasang
sapu tangan menutup mata Kirani agar tidak pedih kalau harus melesat di udara
bermendung tebal seperti sekarang ini. Racing melesat seperti jet tanpa
meninggalkan jejak. Rani meringkuk di punggungnya.
*
Sementara itu di Sidoarjo, mendung
tebal tak kuat lagi menggendong air di pundaknya. Tanpa pikir panjang,
diturunkannya semua beban itu, menjadi hujan deras yang disertai angin dan
petir.
Ibu tergesa-gesa menutup pintu dan
semua jendela. Baru ingat kalau sehabis makan siang tadi, Rani tak terlihat
kelebatnya. Kakak dan adiknya pulas bergelung dalam selimut. Ke mana Rani?
Bersijingkat ibu masuk ke kamar kerja
yang sekaligus dipakainya sebagai perpustakaan. Lega hatinya melihat Rani tidur
di kursi keheningan –kursi tempat ibu biasa mencari ide untuk tulisan-tulisannya-
sambil memeluk buku “Fantasytopia”.
Ada butir bening membekas di sudut
mata Rani. Ibu tidak tahu, apa yang Rani mimpikan, tidur memeluk buku dan
berurai air mata.
Sengaja ibu membiarkan Rani pulas. Kadang ibu merasa bersalah,
membiarkan anak umur sembilan tahun membaca novel fantasi berat semacam “Fantasytopia”.
Ia tentunya belum dapat membedakan, mana yang nyata, mana yang khayal.
Ibu mengelus kepala Rani, mencium
keningnya dengan lembut, dan membiarkannya tetap pulas.
*
Tamat
*Terinspirasi oleh novel “Fantasytopia”
karya Ando Ajo, Penerbit Jentera Pustaka(Mata Pena Group)