Rama-rama mengecup sekejap, lalu kepakkan sayap
indahnya di antara bunga ilalang.
Pualam tapaku, menatap jelmaan
tubuh para belatung pejuang.
Masih tercium aroma cintamu, saat kau baringkan
tubuhku di tanah basah.
Rintih meminta tetap bersama, melayang seperti
daun gugur di hutan sunyi.
Bulir kristal di sudut matamu melukis
janji, akan tiba jiwa kita membola surga.
Doa-doa dilantun menjadi nina bobok terindah, iringi musnah, raga mendebu jelaga.
Terbit asa kecambah rindu.
Bertahan tak tersesat, seperti biji zarah di gersang gurun Zahara
Bertahan tak tersesat, seperti biji zarah di gersang gurun Zahara
Kusemat satu demi satu menabir pembungkus raga
fanaku.
Mulai menghitung magenta senja, menggantung harap pada penantian tak bertepi.
Dini hari datang, gantang kafanku
meraih surya hingga senja.
Tetabuh dan terompet begitu cepat menyusui waktu.
Berkali sukma menghitung derap kaki pemanggul keranda berhias ronce bunga.
Berkali sukma menghitung derap kaki pemanggul keranda berhias ronce bunga.
Tubuh cahayaku berkilau saat doa-doa melayang meruang semesta jagad raya.
Sembilan ribu seratus dua puluh empat batang
ilalang, mengering, menoktah penantian.
Mematah rerumputan sehari kemudian, derak cangkul mengetuk
istirah, mengais jejak.
Seperti dengung lebah, orang-orang bergumam takjub, “Subhanallah...subhanallah.”
Kafan kelabu menyembul dari
genangan air bercampur lumpur.
Seseorang sembunyikan air mata. "Tepat hari ke-9.125 Bunda damai di tanah ini," gumamnya.
Raga mendebu, menyatu kini di kubur yang sama: kekasih, cintaku.
Raga mendebu, menyatu kini di kubur yang sama: kekasih, cintaku.
*Sidoarjo, 1 Pebruari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar