Sebuah
novel tak kunyana hadir begitu saja. Dari seseorang yang tak kukenal baik di
dunia nyata maupun dunia maya. Lama aku menimangnya sambil terus berpikir,
‘jatuh dari langit mana, buku ini?’
Buku
ini ternyata dikirim oleh Erna Riyana Dewi yang baru saja berteman denganku di
Face Book. Merealisasikan komitmen bagi buku dapat buku dengan teman-temannya
dan temanku juga.
Judul buku: Duka Darah Biru
Pengarang: Dewi Sumardi
Editor: Sekar Mayang
Penerbit: Penerbit Jentera Pustaka (Mata Pena Group)
Tahun terbit:2016
Sesuai dengan judulnya, novel ini berkisah tentang perjuangan
hidup seorang gadis ningrat yang 'mbalelo', lari dari rumah hanya berbekal
sepotong asmara.
Terlahir dari keluarga ningrat Solo, memilih jalan hidup keluar
dari keningratannya yang telah dijalaninya selama 24 tahun demi keagungan
cintanya kepada lelaki dari kalangan rakyat biasa. Sri Khadijah, putri Raden
Mas Haryo Kusumo, lari dari rumah dan dianggap sebagai ‘endog ilang’, telur yang
hilang oleh ayahandanya yang marah hebat, sebab menolak dijodohkan dengan Raden
Bagus Purnomo Sidi. Ia meninggalkan Solo dua minggu sebelum pernikahannya
digelar.
Meski darah biru diambil sebagai judul, novel ini justru sama
sekali tidak berkisah tentang kehidupan darah biru secara mendalam. Hanya
menjadi latar utama untuk duka-duka yang terajut dalam pergolakan hidup Sri
Khadijah di luar dunia keningratannya.
Pernikahan Sri Khadijah dengan Samejo yang
miskin harta, dirasakan sebagai hal yang sangat berarti untuk sisi religiusnya.
Samejo mengajarkan, meski miskin, Sri dan anak-anaknya diajarkan untuk tidak
meninggalkan kewajibannya sebagai umat Islam, yang tidak pernah didapatkan dari
Ramanya ketika masih berada di Solo.
Memaknai tindakan ayahanda Sri, pasti Dewi sang penulis, tidaklah
bermaksud memojokkan ningrat Solo dalam masalah ketaatan beragama, tetapi lebih
mengetengahkan keteguhan tradisi Jawa yang kebanyakan masih memegang teguh
kepercayaan terhadap Kejawen.
Cerita
selanjutnya mengalir seperti anak sungai di tengah hutan rindang.
Pergulatan
hidup Sri Khadijah yang sesungguhnya dimulai justru setelah ditinggal mati
Samejo. Anak keluarga ningrat yang tak dijelaskan latar belakang pendidikannya
itu, bertahan hidup dengan berjualan getuk lindri di sebuah pasar Kota Semarang, demi membesarkan
ketiga anaknya, Oyong, Surami dan Supri.
Dewi
Sumardi, sungguh terarah dalam menulis novel ini. Masing-masing tokoh dan
konfliknya diramu bagian demi bagian begitu apik, mengikuti karakter masing-masing.
Oyong,
anak sulung yang terlahir tak sempurna, cebol-pengkor-telat mental, pada usia
24 tahun terbujur kaku tak bernyawa karena membela Buliknya dari kawanan
perampok.
Konflik
yang dibangun menyentuh hati, terutama kegigihan Oyong yang punya keterbatasan
fisik tetapi tulus terhadap siapa pun. Meski itu buliknya sendiri yang tak
pernah ikhlas jika suaminya (ipar Sri) memberi Oyong uang sekadarnya.
Dewi
sang Penulis menunjukkan kepeduliannya kepada sosok yang terlahir cacat.
Seorang dengan keterbatasan fisik, menurutnya, juga punya impian. Begitu pesan
yang dapat kutangkap saat membaca bagian
ini.
Impian Oyong sederhana, ingin makan gulai kepala ikan
sebagaimana diceritakan temannya. Sampai akhir hayatnya, dapatkah ia mewujudkan
impiannya itu?
Kesedihan
sepeninggal Oyong melahirkan kesedihan baru untuk anak Sri yang lain, Surami,
anak gadis satu-satunya.
Cerita
tentang Surami ini nyaris mendominasi seluruh isi buku. Seperti gado-gado, rasa
yang hadir juga ikut turun naik saat membacanya.
Jatuh
bangun mengais rejeki dengan pendidikan SMP tak menghalangi Surami menjatuhkan
cintanya pada seorang pemuda. Berakhir seperti gantungan baju ditiup angin,
pemuda yang sudah jadi suaminya itu ditelikung ibunya sendiri, dijauhkan dari
Surami yang sedang mengandung.
Hidup
harus terus berlanjut. Penulis mendaki bukit dan melintas jalan penuh kelok
untuk menggambarkan perjalanan hidup Surami. Mengapa terperangkap pada
lesbianisme? Bagaimanakah dapat terajut persahabatan yang tulus? Akankah
bertemu kembali dengan suami yang lama tak tahu rimbanya? Dan akankah darah
biru Sri Khadijah berakhir hanya sebagai penjual getuk lindri di tengah pasar?
Tersambung kembalikah Sri dengan keluarga ningratnya? Semua ditulis begitu
natural hingga aku membaca seolah akulah yang mengalaminya.
Perdukunan
juga diangkat dalam novel ini. Menjadi contoh, betapa perbuatan melintas
kehendak Tuhan tidak akan pernah berakhir dengan kebahagiaan. Perbuatan jahat
akan selalu mendapat balasan setimpal.
Rangkaian
kata dalam novel ini sempurna. Tidak ada satu kalimat pun yang bertele-tele. Dibungkus begitu rapi per bagiannya. Salut aku kepada Sekar Mayang sebagai editor.
Bebarapa kali membaca buku dengan editor Sekar Mayang, tulisan jadi enak
dibaca, mudah dicerna.
Tidak
rugi membaca novel yang kelihatannya sederhana ini, tetapi sarat dengan
pemikiran tentang rasa syukur.
Dan
satu hal yang membuatku terkesima, Dewi Sumardi itu ternyata adalah nama pena
dari sang pengirim buku, teman Face Book-ku, Erna Riyana Dewi. Holaaa….
*Sidoarjo, 23 Agustus
2016