Sabtu, 01 Juni 2013

KENTRUNG - KESENIAN YANG NYARIS PUNAH

     Masa kecilku di sebuah kota kecil di ujung Timur Pulau Jawa ini, tepatnya di Bondowoso, sungguh masa kecil yang sarat dengan kenangan indah. Rumah berhalaman luas di sebelah lapas ( waktu itu disebut penjara ) dan berbatas jalan dengan alun-alun yang di tengahnya ditumbuhi satu pohon beringin ( sampai sekarang masih ada ), tak pernah sepi dari jerit toa entah itu ludruk, layar tancap ataupun  kentrung.
     Bagiku yang sungguh sangat membuat gembira anak seumurku adalah banyolan-banyolan dari pemain kentrung, saat itu yang terkenal adalah Trio Nor. Banyolan dalam bentuk pantun berbahasa Madura yang diselingi Bahasa Indonesia berisi sindiran-sindiran dan juga petuah-petuah, dan juga egol pemainnya mengikuti irama kentrung dari alat musik semacam rebana ( iramanya nyaris seperti hentakan dang dut koplo ).
     Di masa kini, kentrung tak terdengar lagi. Kota kecilku sudah menjadi kota modern. Seni tradisional menjadi barang langka untuk ditemukan. Bahkan anak-anakku tak kenal sama sekali yang namanya kentrung. Untuk itu aku mencoba mencari informasi sebanyak mungkin tentang kesenian ini. Sebagai awal mungkin informasi dari Wikipedia dapat membuka cakrawala untuk mengenal seperti apa seni kentrung itu.

Kentrung

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Kentrung sebuah kesenian asli Indonesia yang berasal dari pantai utara Jawa. Kesenian ini menyebar dari wilayah Semarang, Pati, Jepara, hingga Tuban - dimana kesenian ini dinamakan Kentrung Bate[1] karena berasal dari desa Bate, Bangilan, Tuban.[1] Kentrung Bate pertama kali dipopulerkan oleh Kiai Basiman di era zaman penjajahan Belanda tahun 1930-an.[1]
Seni Kentrung diiringi alat musik berupa tabuh timlung (kentheng) dan terbang besar (rebana). [2]. Seni Kentrung sendiri syarat muatan ajaran kearifan lokal[2] Dalam pementasannya, seorang seniman menceritakan urutan pakem dengan rangkaian parikan dengan menyelipkan candaan - candaan yang lucu di tengah-tengah pakem walaupun tetap dengan parikan yang seolah dilakukan luar kepala.[2] Parikan berirama ini dilantunkan dengan iringan dua buah rebana yang ditabuh sendiri.[2] Beberapa lakon yang dipentaskan di antaranya Amat Muhammad, Anglingdarma, Joharmanik, Juharsah, Mursodo Maling, dan Jalak Mas.[2]
Berdasarkan pernyataan yang didapat dari situs forum budaya Kesenian Kentrung dianggap terancam punah karena gagal melakukan regenerasi. [3] Sejumlah orang yang masih mampu memainkan kesenian ini dan kebanyakan sudah lanjut usia.[3] Isyu yang kini ada di antara para pemain Seni Kentrung adalah permintaan agar pemerintah segera mendokumentasikan kesenian tradisi, termasuk kentrung bate, dengan harapan terdokumentasinya (tidak hilang) budaya dan kesenian asli daerah.[3] Dokumentasi kentrung dianggap oleh pemainnya sangat penting mengingat sudah tidak ada penerus dalam kesenian ini.[3]

     Ada satu tulisan yang mungkin dapat memberi gambaran riil tentang kesenian ini.

PDF Cetak E-mail
Seni tradisi, Kentrung Bate asal Desa Bate, Kecamatan Bangilan, Kabupaten Tuban, nyaris punah. Pasalnya, seni yang sarat makna siar kebajikan ini kesulitan mencari generasi penerus. Kentrung Bate yang semula dipopulerkan Kiai Basiman di era zaman penjajahan Belanda tahun 1930-an, masih tersisa tiga orang yang berusia lanjut. Mereka yakni, Mbah Surati (90) sebagai Dalang Kentrung Bate, Mbah Setri (86) penabuh timlung (kentheng) dan Mbah Samijo (88) sebagai penabuh terbang besar (rebana). "Saya tidak tahu siapa yang akan meneruskan ngentrung. Anak-anak sekarang malu melakoni seni kentrung," kata Mbah Surati saat ditemui di rumahnya Desa Bate, Kecamatan Bangilan, Tuban kepada detiksurabaya.com, Rabu (22/10/2008).

Mbah Rati, panggilan perempuan yang penglihatannya sudah buta ini mengaku kesulitan mencari pemain pengganti. Dalam perhelatan seni tradisional bernuansa magis, hanya dimainkan tiga personel. Dirinya pun selain dalang kentrung, juga merangkap sebagai penabuh kendang.

Sementara Mbah Setri dan Mbah Samijo, memegang perangkat irama, sekaligus bertindak sebagai penembang. Praktis tiga pelakon seni yang banyak ditanggap karena nadzar warga masyarakat itu berperan ganda. Sebagai penabuh gamelan dan pelantun syair-syair sarat pesan moral.

Saat digelar perhelatan di rumah Mbah Rati, dalam rangka nadzar meminta turun hujan, puluhan warga Desa Bate, baik anak-anak dan orangtua memadati pelataran rumah papan sederhana tanpa plester. Mereka khusuk mengikuti irama tetabuhan kentrung, sekaligus menyimak bait demi bait syair yang dilantunkan Mbah Rati.

Bersamaan itu, 12 pelaku seni kontemporer dari Komunitas Soh dari Desa Sukorejo, Kecamatan Parengan, turut hadir mengikuti perhelatan di tepi tegalan kering. Mereka terlibat ikut meramu irama dengan perangkat rebana.

"Kita membantu Kentrung untuk persiapan festival Kesenian Pantai Utara yang akan digelar di Probolinggo minggu ini," kata Eko Kasmo dari Komunitas Soh saat di lokasi.

Tak hanya Mbah Rati, Mbah Wiji, suami Mbah Rati juga mengaku kesulitan mencari penerus seni kentrung. "Anak cucu saya tidak ada yang mau menggantikan pemain kentrung. Mereka malu melakoni seni tradisional. Tapi mereka justru tak malu kalau disuruh nembang dangdut," kata Mbah Setri yang terhitung masih saudara sepupu Mbah Rati.(fat/fat)

Sumber: detik

     Sebagai akhir dari pengenalan atas seni kentrung ini, ada nukilan mengenai detail kentrung yang lengkap aturannya, bahkan contoh parikannya.

     Kentrung mempunyai be­berapa unsur yang ada di setiap pertunjukan yaitu:
  1. Dalang, adalah pemba­wa cerita yang sekaligus menjadi pengatur jalan ce­rita. Dalang Kentrung hampir sama dengan dalang wa­yang, kesamaan tersebut dalam hal mengubah karak­ter suara sesuai dengan la­kon yang sedang berdialog.
  2. Cerita, merupakan un­sur kedua dalam pertunjukan kentrung. Cerita yang biasa diangkat oleh dalang adalah cerita kerajaan, legenda, Wali, Nabi, dsb.
  3. Instrumen pengiring merupakan hal yang penting dalam membawakan sebuah cerita, karena dengan Instru­men masyarakat tertarik mendengarkan cerita.
Instrumen-instrumen po­kok dalam pertunjukan Ken­trung, antara lain:
  1. Kendhang Kentrung, adalah sebuah alat yang ber­fungsi sebagai pamurba ira­ma dan sebagai variasi lagu atau dengan kata lain bertu­gas mengatur irama dan ja­lannya sajian. Kendhang se­cara ukuran berbeda dengan kendhang Jawa, kendhang Kentrung biasanya berukur­an lebih panjang, Seringkah Dalang berperan ganda de­ngan memainkan kendhang.
  2. Terbang/Kempling/Rebana (frome drum), alat pe­mukul yang lahir dari Jawa Te­ngah ini dari kayu berbentuk bulat dan dibalut dengan kulit kambing, berfungsi sebagai variasi instrumen lagu.
  3. Bonang, tidak semua dalang kentrung mengguna­kannya, alat yang dibuat dari perunggu/kuningan/besi me­rupakan salah satu pelengkap alat instrumen gamelan Jawa. Fungsi aslinya adalah pamur­ba lagu (pembuka jalannya sajian) pada beberapa gendhing, bonang digunakan se­bagai penghias lagu dalam pertunjukan Kentrung.
  4. Panjak, adalah penabuh instrumen dalam pertunjukan Kentrung. Selain yang telah disebutkan sebelumnya, di dalam pertunjukan Kentrung juga terdapat parikan. Parikan adalah sejenis pantun yang dilagukan atau dinyanyikan oleh dalang beserta panjaknya dengan iringan musik sederhana. Parikan juga memuat pesan-pesan moral terhadap masyarakat, Parikan juga memiliki kategori yaitu bagus, cacat dan jelek (Hutomo, 1993:xxxix).
Contoh parikan Kentrung kategori bagus:
Tuku karet dhuwite ilang
Tak baleni sandhale keri
Yen kepepet aja sumelang
Wis disedhiyani kantor ko­perasi
(Beli karet uangnya hilang Ketika kuambil sandalku tertinggal  Kalau terdesak janganlah bimbang Sebab sudah disediakan kantor koprasi) (Hutomo, 1993:49).
Contoh parikan kategori cacat:
Kembang terong abang
biru moblong-moblong,
sak iki wis Bebas ngomong,
tapi ojo clemang-clemong
(bunga terong berwarna merah biru mencorong, sekarang ini sudah bebas berbicara, tetapi jangan celometan).
Ijo ijo lak ijo ijo
Ijo-ijo godonge sawi
Paling enak duwe bojo
Lek bengi onok sing mijeti
(Hijau-hijau daunnya sawi, paling enak punya istri bila malam ada yang mijiti)
Banyolan
Kentrung juga memiliki ciri banyolan, berguna untuk mengatasi rasa bosan pe­nonton. Bentuk banyolan ini bisa berupa kritikan tidak langsung sehingga menjadi lucu ataupun berupa kata erotis yang agak berbau porno.
“Pemerintah dan masya­rakat diharapkan turun ta­ngan ikut menguri-uri kesenian rakyat yang hampir pu­nah ini,” ujar Pengamat Bu­daya Dari Universitas Jember (Unej) Prof Ayu Sutarto da­lam diasnatalis ke 10 Fa­kultas Ilmu Budaya (FIB) Uni­versitas Airlangga (Unair).
Bahkan pemerintah harus secepatnya menginventarisasi kesenian daerah di Ja­tim seperti ludruk, ketoprak, sandur, terbang jidor, jaranan, campursari, tandak bedes dan kentrung. Setelah itu segera dipatenkan agar ti­dak diakui negara lain seperti Reyog Ponorogo.
Sementara peran masya­rakat dan pemerintah juga harus ikut bertanggung ja­wab tentang kelangsungan kesenian tersebut dengan ja­lan mencintai seni budaya sendiri. “Apresiasinya ya ha­rus mau nanggab jika ada hajatan acara-acara lainnya,” katanya. (Sunaryo)
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: POTENSI JAWATIMUR, EDISI 12, TAHUN VIII/2008, hlm. 16.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar