Kamis, 20 Juni 2013

REVOLUSI MENJELANG "MAGHRIB"

Ada denyit halus di relung hati. Barangkali terlalu halus untuk di dengar dengan telinga telanjang. 
Butuh perenungan panjang. Kontemplasi yang terus menerus bahkan pengheningan riuh rendah nurani.

Berawal dari obrolan dengan kakak kelas semasa kuliah di Universitas Islam Indonesia.
Sebenarnya tak pernah intens kami berkomunikasi. 
Meski demikian keterikatan rasa persaudaraan yang kami bina tak membuat kami lupa satu sama lain meski kami terpisah oleh jarak yang begitu jauh dan terpisah waktu selama lebih kurang 30 tahun. Facebook mempertemukan kami kembali.

Sebuah pertanyaan sederhana dari sebut saja namanya Sholeh Amin :
"Saya ingin nanya, kapan kamu berijab (berjilbab).? Jangan marah dan jangan tersinggung ya."

Waktu itu spontan kujawab :
"gpp mas....saya belum terpikir...hidup saya masih penuh air mata. saya ingin menghadapkan diri padaNya apa adanya....biar hati dan prilaku saya murni karena saya, bukan karena hijab saya....anak2 saya dua2nya sdh berhijab karena hasrat mereka sendiri..sementara saya tidak ingin mengotori hijab saya nantinya, selama saya masih mencari dan berusaha memahami bagaimana akhir cerita yang hendak ditunjukkanNya pada saya....Insyaallah walaupun belum berhijab saya berusaha untuk hidup dalam jalur agama yang benar ( secara hakikat saya shalat, saya mengaji, saya mendidik anak dg syariat Islam, saya berprilaku bgmn seharusnya istri dlm Islam....) Insyaallah...casing saya aja yang masih spt preman, tapi hati dan prilaku saya insyaallah perempuan sholihah."

Dan ia pun membalas dengan pernyataan ini :
"Kalau religiusitasnya adinda Peny sejak dahulu saya tahu dan tidak saya ragukan, saya hanya menanyakan ttg ijab ."

Sayapun menjawab kembali :
"Insyaallah mas....sekarang masih buka tutup."

Percakapan pendek itu terjadi antara 18 Mei sampai 26 Mei 2013. Sedemikian lama karena memang sesempatnya kami membuka facebook.

Saat itu memasuki bulan Rajab menurut penanggalan Hijriah.
Diingatkan oleh teman, Yusmi Hariyatun Suwarto, berpuasalah di bulan Rajab kalau bisa sebulan penuh, kalau tak bisa tiga hari, kalau masih tak bisa minimal satu hari lakukanlah. Dan aku memulainya tepat di hari keenam di bulan Rajab sehari setelah temanku mengingatkan.

Apa hubungannya dengan hijabku?
Di hari ke sepuluh setelah aku berpuasa, air mata yang biasanya selalu berderai-derai saat usai shalat fardlu, tak lagi mengalir, seolah sumbernya di hati ini mengering. Hati dan pikiran menjadi satu kata, hilang lenyap semua kedukaan. Fantastis. Hampir aku tak percaya atas apa yang kurasakan ini. Barangkali di dunia ini hanya aku sendirilah yang bisa memahami keajaiban ini. Tangan Allah SWT sudah bekerja menjawab doa-doaku. Aku bersujud syukur dan berusaha untuk tetap memeluk-Nya atas perasaan ini.

Menyelinap dalam pikiran ini percakapanku dengan Sholeh Amin. Bahwa aku akan berhijab jika tak ada lagi air mata yang akan mengotori hijabku.
Berhari-hari aku dikejar oleh hasratku. Di kepala ini ada rasa hangat kalau aku akan keluar rumah tanpa hijab. Aku sempat mengurung diri. Tapi dengan bismillah, aku mulai keluar rumah dengan berkerudung pakai kerudung anak-anakku. Langkah awal adalah membuat seragam kantor. Selanjutnya semua teratasi dengan mudah. Apalagi si sulung, Tika, yang baru belajar cari duit sendiri, berkeras membelikanku banyak kerudung. Sedang baju yang lain aku tak masalah karena dalam keseharianku, aku selalu berpakaian menutup aurat, kecuali kurang satu : kerudung.

Alhamdulillah
Perjalanan panjang pencarian kebutuhan rohaniku,di saat akhir, seperti sebuah revolusi yang berproses demikian cepat penyempurnaannya. Di saat usiaku memasuki usia senja, menjelang "maghrib".




 Kilas Balik :
Perjalanan pencarian kebutuhan rohaniku sangatlah unik.

Ketika aku duduk di bangku SD, ibuku mengajarkan puasa di bulan Ramadhan untuk semua anaknya.
Kami tidak paham untuk apa, tapi kami melaksanakannya tanpa bertanya. Kenapa demikian, karena kami tidak tahu Islam itu apa. Dalam keluarga kami Islam adalah agama yang tertera dalam KTP. Pengenalan kami terhadap Tuhan lebih pada pendekatan kejawen, Islam abangan. Percaya bahwa Tuhan itu ada tapi tak berjalan pada satu kitab apapun untuk memandu jalan kepada-Nya.

Pada masa itu sekolah-sekolah negeri masih dianggap sekolah kampung yang jauh dari ingin para orangtua memberi bekal ilmu yang memadai pada anak-anaknya. Kamipun disekolahkan di sekolah swasta berbasis agama Nasrani. Dan dari TK sampai SMA kujalani di sana.

Pencarianku seperti tautan benang merah perjalanan dari Nabi Isa kepada Nabi Muhammad SAW.
Pendidikan tentang keagamaan di masa aku kecil sangat kental dengan nuansa Nasrani. Karena memang di rumah tidak ada pembinaan keagamaan secara khusus. Pada masa itu aku melewatinya dengan kegembiraan seorang anak. Hanya di bulan puasa dimana tetangga banyak yang berpuasa, kami juga berpuasa.
Rumah kami di pinggir alun-alun kota, saat itu sungguh sangat menyenangkan menunggu waktu berbuka dengan melihat blenggur ( petasan besar ) yang dinyalakan di depan masjid besar, dan suara sirine dari penjara di samping rumah.

Hari Raya pun kami juga menyiapkan baju baru dan kue, saling bersilahturahmi dengan tetangga. Dan itu mengalir begitu saja. Tak ada keresahan, tak ada cibir-cibiran sekolah di sekolah Nasrani kok lebaran, semuanya begitu damai. Gembira.

Selepas SMP aku melanjutkan sekolah di kota Yogyakarta. Masuk sekolah Nasrani lagi. Pada masa ini aku mulai menyadari pentingnya hubungan dengan Penciptaku.
Masa remaja yang tidak stabil tidak menjadikanku lepas kendali. Karena Bapak Ibu guruku dan teman-temanku di sekolah ini sangatlah dekat denganku dalam pergaulan dan kegiatan-kegiatan yang positif. Membuat majalah sekolah, pramuka, volley, sepakbola, bahkan dalam kegiatan keagamaan seperti mengikuti jalan salib di Kulon Progo, retret di Sangkal Putung dan ibadah di gereja.

Keadaan ini menggelitik hatiku untuk mendalami agama ini. Waktu itu aku masih kos di Blok Patook ( dekat pusat bakpia ). Gereja yang terdekat dengan kosku adalah Gereja Kemetiran. Mula-mula aku hanya ikut kebaktian dengan mengambil tempat di sudut paling belakang. Dan selalu begitu setiap aku mengikuti kebaktian. Rupanya keadaan ini tak lepas dari pantauan seorang pastur. Dan di akhir kebaktian sempat berdialog, kenapa aku tak ikut magang di sana saja, sarannya.
Tanpa pikir panjang akupun ikut magang di sana. Berbulan-bulan belajar, sampai tiba waktu ada pembabtisan. Saat akan babtis itu aku bertanya pada Ibuku, bolehkah aku masuk agama ini. Ibuku hanya menjawab pendek, " terserah ".
Aku terhenyak. Dengan jawaban ini bukan membuatku berjingkrak gembira, tetapi malah menimbulkan pemikiran baru.
Aku memang sering berbeda pendapat dengan ibuku. Tapi aku sangat sayang kepadanya. Setelah berpikir lama, kutanya pada diriku sendiri, kenapa ibuku menjawab dengan kata "terserah", bukan dengan kata "boleh". Dan hatiku pun berbisik. Itu berarti ibuku berat melepasku untuk masuk agama ini.( Di kemudian hari kutahu, Ibuku mengharapkan aku dapat menjalani agama Islam dengan baik. Menjelang akhir hayatnya, Ibuku sudah belajar Islam, rajin sholat, rajin puasa dan ikut pengajian di RT. Bahkan semua anaknya yang dulu tak tahu cara menjalani hidup beragama, menjadi muslim dan muslimah semua. Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah atas hidayah ini. )

Kembali padaku, setelah kejadian itu, aku tidak lagi pergi ke gereja. Aku berdoa dengan caraku sendiri. Toh Tuhan tak akan pernah marah meski aku berdoa kepada-Nya dengan caraku.
Menjelang akhir SMA aku pindah kost ke Lempuyangan. Di sana berkumpul dengan mbak-mbak yang sudah mahasiswa, mayoritas beragama Islam. Aku sendiri yang masih SMA dan dianggap sebagai adik paling bontot. Nah pada saat Idul Qurban, aku diajak sholat, waktu itu digelar di perempatan Korem, dekat kampus UII Cik Diro. Aku dipinjami mukenah. Aku bilang tidak bisa sholat. Tapi mereka bilang, wis ikut saja daripada di kosan sendiri. Lucunya rakaat demi rakaat aku ikut juga, tapi istilah Jawanya "ngrubuh gedhang". Ruku' ya ikut ruku', sujud ya ikut sujud. Bacaan doanya tidak tahu.

Selepas SMA aku maunya melanjutkan ke PTN. Tapi tidak diterima dan malah diterima di Fakultas Hukum Universitas Islam  Indonesia Yogyakarta.
Sejarah perjalanan rohaniku mengalami perjalanan dahsyat di sini.
Pada awal penerimaan mahasiswa baru, kami dikumpulkan di kampus Cik Di Tiro. Karena Universitas ini berbasis Islam, setiap acara selalu diawali dengan pembacaan kitab suci.
Duh Gusti, pada saat ayat suci dibacakan, padahal aku tak tahu apa artinya, ada dorongan dari hati ini akan hadirnya sesuatu yang aku tak tahu apa, air mataku berlinangan. Aku seperti tersuruk dalam ruang yang begitu pekat, menyesakkan dan seolah menyungkurkanku untuk mengakui kekerdilanku di hadapan-Nya.
( Di kemudian hari, Wakapolres Sidoarjo, Bpk. Fadli Widiyanto menunjukkan padaku ayat Al Qur'an yang menggambarkan keadaanku ini yaitu Surat Al Isra' ayat 107 , terjemahannya kurang lebih begini : Katakanlah : Berimanlah kamu kepada Al Qur'an ini atau tiada beriman. Sesungguhnya orang-orang yang berilmu sebelum turunnya, apabila dibacakan Qur'an kepada mereka, lalu mereka meniarap sujud, atas dahinya. )

Di UII ini aku dituntut untuk bisa sholat. Akupun belajar sendiri sebisaku, sholat sambil membuka panduan sholat di buku. Lama-lama hafal dan tak perlu buka buku lagi. Sholatnya juga masih bolong-bolong .

Untuk masalah ibadah aku sudah mulai bisa. Sedang untuk motor di hati dan otakku masih mengalami pergumulan. Di saat ini aku mengenal senior-senior seperti mas Sholeh Amin, AE Priyono, Fauzi Kadir, Moch Nasir Rosyid dan banyak lagi lainnya. Mereka adalah petinggi-petinggi di Senat Mahasiswa, LPM dan juga HMI. Mereka sangatlah kental dengan pemikiran-pemikiran tentang Islam. Aku suka sekali mengikuti kegiatan kelompok diskusi yang mereka bimbing di OSPEK saat itu. Bahkan sebagai satu-satunya organisasi ektra kurikuler, aku tidak ragu untuk masuk HMI. Aku seperti mualaf rasanya. Haus akan pengetahuan ke-Islam-an. Mengikuti basic training HMI aku pernah didapuk untuk mengisi kultum. Waktu itu hijab belum populer. Banyak mahasiswi UII yang tidak berhijab. Jadi aku berdiri di mimbar tanpa hijab, seperti pidato sambutan saja.

Kegiatan-kegiatan fisik itu aku jalani. Sampailah aku pada masa dekat dengan alam. Waktu itu aku mulai dekat dengan seniorku AE priyono. Pribadi yang sangat dekat dengan perenungan-perenungan. Seperti ngengat mencari sumber cahaya, aku menempel padanya. Teman di kampus menganggap kedekatan ini adalah kedekatan asmara. Tetapi sebenarnya bukanlah demikian.
Ia hadir menjadi katalisator dalam aku mencari kesejatian diri dalam soal rohani ini.
Kami bertukar catatan tentang perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidup kami.
Dalam hal ini aku ingat sekali. Suatu kali ia menulis : Peny adalah sosok pribadi yang cepat membangun diri.
 ( penilaian ini sampai hari ini lekat di dalam diri dan selalu aku ingat, jika aku terpuruk aku akan cepat bangkit )
Kedekatanku dengan alam seperti ini :
Saat aku duduk di tangga batu di kampus UGM menghadap ke Utara, ada pohon besar berbatang putih tertimpa cahaya matahari ashar. Ada selembar daun jatuh meliuk, hatiku berdesir mengikuti jatuhnya daun itu.
Ketika pulang kembali ke kosan aku berputar lewat Colombo. Di sepanjang jalan aku merenung saat melewati jalanan yang sesaat rusak berat, dan sesaat yang lain begitu mulus. Seperti perjalananku, kataku dalam hati. Hidup tak selalu mulus jalannya.

Mendung hitam bergulung mengikuti arah angin.
Di kosku ada sebatang pohon belimbing manis. Setiap pulang kuliah aku menyempatkan untuk memanjatnya dan melompat ke atas atap. Aku senang melihat langit dari sana.
Saat mendung gelap itu aku sedang di atas atap. Hatiku bergidik. Ya Allah begitu besar kuasa-Mu. Aku tak lebih dari sebutir debu yang akan tersungkur sebelum jentikan-Mu menyentuhku.
Terasa aku begitu dekat dengan alam. Begitu dekat dengan-Mu ya Allah. 

Setelah masa-masa dekat dengan alam, aku merasakan kehampaan yang begitu hebat. Tak mau sholat, tak mau dekat dengan alam. Tak mau berpikir apapun.

Sampai suatu pagi menjelang subuh, antara sadar dan tidak, aku seperti berhadapan dengan seorang bapak agak tua, kecil, berkulit terang, memakai kopiah. Hanya wajahnya tak dapat kulihat dengan jelas.
Ia seperti menantangku. Bisa atau tidak aku membaca surat Al Fatihah.
Dengan semangat kukatakan, aku bisa tapi sambil duduk aja ya ( aku menawar )." Boleh", katanya.
Dan akupun membaca surat Al Fatihah dengan irama seperti Qiro'ah di masjid-masjid.
Seusai mengucap kata "amin", masih takjub karena aku kok bisa ya qiro'ah seperti tadi, pria itu menepuk bahuku sambil mengangguk-angguk, kemudian hilang.
Aku tersadar penuh. Masih termangu untuk beberapa saat. Dan akupun bangkit untuk melaksanakan sholat subuh. Subhanallah. Subhanallah.
Sejak saat itu mantap aku jalani agama Islam yang kuperoleh dengan cara aneh seperti itu. 

**

Terimakasih : Mas AE Priyono, mas Sholeh Amin. Engkau memang ditakdirkan untuk membimbingku dari awal sampai akhir.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar