Gemericik
alir bening menerpa bebatuan. Di sela rimbun pohon raksasa, matahari seperti
menyelinap diam-diam, cahaya halusnya memberi hangat lumut-lumut hijau berhias
tempias seolah butir embun.
Air menetes
di sela jari sepasang tangan yang menangkup alir air sungai itu. Berkali-kali
membasuh dengan kesegaran yang tiada tara.
“Ah,
segarnya,” desah diiringi kibas rambut panjang yang baru saja digerai dari
kondenya. Dagu runcingnya tengadah seolah hendak menangkap sinar matahari yang
masih malu-malu.
Tanpa
tergesa, pemilik dagu runcing itu, menikmati segarnya udara pagi tepi hutan
bukit Wonosalam. Tak ada siapa pun, karena tempat itu jauh dari pemukiman
penduduk. Ia, gadis manis yatim piatu yang tinggal bersama kakeknya; menuruni
bukit belasan kilometer bertahun-tahun sampai ia lulus SMA. Kini Ia memilih
tinggal di rumah, merawat kakek dan kebun sayur yang menjadi sumber
penghidupannya.
“Sudah
selesai buat buburnya, Nduk?” Suara Kakek
mengagetkan si Gadis yang asik membuat bubur lima warna.
“Sedikit
lagi, Mbah.” Ia menjawab sambil terus menekuni pekerjaannya.
Hari ini Minggu
Kliwon, hari pasaran wetonnya—hari kelahiran dalam penanggalan Jawa. Kakeknya
masih memegang tradisi leluhur, setiap weton harus membuat bubur lima warna.
Bubur nasi cukup dari segenggam beras. Dibagi menjadi lima warna; putih,
kuning, merah, hitam, dan hijau. Bagi si Gadis mudah membuatnya karena sejak
ibunya meninggal, ia terbiasa membuatnya sendiri. Memberi warna menjadi bubur
kuning, mencampur bubur beras dengan sedikit perasan kunyit, merah dengan
menambahkan gula kelapa, hitam mencampurnya dengan bubuk kopi, dan hijau
menambahkan air daun suji. Tidak perlu banyak-banyak, masing-masing warna cukup
satu sendok.
“Sudah
selesai, Mbah.” Diletakkannya piring di atas bufet.
“Diperiksa
lagi letak warnanya, Nduk.” Kakek mengingatkan sambil memeriksa nyala ‘damar
kambang’—lentera yang terbuat dari kapas sebagai sumbu, direndam dalam minyak
kelapa—sebagai pendamping bubur.
Meletakkan
warna memang tidak boleh sembarangan karena menyangkut ketenangan batin si
pemilik weton. Warna hijau harus selalu diletakkan di tengah, simbol dari
keteduhan.
Meski tak
terdengar suara azan, Kakek tahu Maghrib sudah tiba. Mereka segera berwudu dan
salat berjamaah. Bubur dalam bayang-bayang damar kambang menciptakan suasana
mistis tersendiri di ruang tengah yang hanya diterangi lampu minyak.
Ayu, pemilik
dagu runcing, begitu khusuk dalam dzikir. Meski umurnya belum lagi 25 tahun, ia
memiliki kepekaan batin. Mampu menangkap gelombang isyarat dari orang yang
membutuhan pertolongan atau jiwa yang
mengembara dari raga yang mati.
Jantungnya
berdesir. Saat ia khusuk, mata batinnya menangkap rintihan. Jantungnya makin
berdegup saat ia merasa, ada sosok duduk di hadapannya. Makin lama makin jelas,
wajah perempuan muda memakai baju seragam SMA. Pucat pasi dan tidak berkata
apa-apa, hanya sorot matanya seolah meminta tolong.
Cukup lama
Ayu meredakan getar dan meluruskan hati menekan rasa takutnya. Jika pun harus
melihat penampakan jin dan bala kurawanya, telah tertancap di hati, ia tak
boleh takut. Kata Kakek, manusia adalah makhluk yang memiliki derajat paling
tinggi di antara semua makhluk ciptaan-Nya. Tidak pada tempatnyalah kalau
justru manusia yang takut kepada makhluk-makhluk itu.
Selaras dengan usaha Ayu untuk
menguasai diri, Kakek yang sudah menyelesaikan salatnya, melihat nyala damar
kambang di ruang tengah bergerak gelisah, padahal tak ada angin masuk ke dalam
ruangan itu.
Ayu menatap
wajah pucat penuh nestapa dari sosok diam di hadapannya. Tapi tiba-tiba muncul wajah seorang pemuda, berdiri di belakang
sosok perempuan itu. Auranya terang, berusia sekitar 20 tahunan. Antara hilang
dan timbul, wajah itu menyorotkan ekspresi bingung. Kemudian menghilang begitu
saja.
Ayu fokus
kepada sosok perempuan yang duduk di hadapannya. Ayu tahu, sosok ini bukanlah
dari jenis jin yang menyerupakan diri seperti manusia, sebab dzikirnya tidak
membuat sosok itu menghilang.
“Salam
untukmu jiwa yang mengembara.” Ayu menyapa sosok itu dengan suara batinnya.
Beberapa saat hanya suara burung kedasih terdengar di kejauhan rimba. Tak ada
jawab, sampai wajah pasi itu mendongak mencari tatap mata Ayu.
“Salaaam…Kakak,”
lirih nyaris meratap.
“Tolong
akuuu….” Sosok itu merebahkan kepalanya di pangkuan Ayu. Tercekat, Ayu melihat
dengan jelas, sosok itu adalah remaja cantik meski wajahnya pasi tak berdarah
dan matanya nanar berselimut kabut nestapa. Ayu mengelus punggung tak kasat
mata itu. Dengan lembut ia berusaha meredakan guncangan sayat tangisnya.
Di ruang
tengah, damar kambang menyala tenang. Ayu sedang mendengarkan cerita batin
remaja tak kasat mata itu, yang menutup ceritanya dengan permohonan.
“Tolong cari
dia, Kakak. Aku akan pergi dengan tenang, aku tidak akan datang menemui Kakak
lagi. Cari dia, Kakak….”
Sebelum Ayu
menjawab, sosok itu menghilang dari pangkuan Ayu. Meninggalkan cerita dan wangi
jiwa murni dalam hati dan pikiran Ayu.
Ayu menarik napas panjang. Kemudian
ia menemui Kakek dan menceritakan kejadian yang baru dialaminya. Banyak hal
yang Ayu tanyakan kepada Kakek, bagaimana harus memenuhi permintaan jiwa yang
sedang mengembara itu.
“Ini hari kejayaanmu, Nduk. Berkah
Allah kalau mata batinmu semakin tajam.”
“Iya, Mbah. Doakan Ayu bisa berbuat
kebaikan dengan berkah ini.” Ayu mencium tangan kakeknya dan melanjutkan dzikir
demi mencari petunjuk-Nya agar dapat menolong jiwa remaja yang tadi hadir di
hadapannya.
**
Sementara
itu, ada yang terseok-seok menaiki bukit. Gelap sehabis Isya’ membuatnya jatuh
bangun di tanah lembek sehabis hujan. Engah napasnya lebih mengerikan daripada
suara-suara hewan malam di sekitarnya.
Entah berapa
jauh sosok itu berlari. Ia tak peduli pada suara-suara pengejarnya yang
terdengar semakin jauh. Ia hanya berharap, nyawanya bisa selamat dari amukan
warga desanya.
Sosok itu
adalah Irun. Anak kabur kanginan yang dibuang oleh orangtuanya karena dianggap
membawa sial. Ketika lahir, ayahnya bangkrut, tokonya disita oleh rentenir. Tak
bisa bangkit dari keterpurukan, hidup miskin tak berkesudahan, tak berubah
menjadi kaya meski hari-harinya dilewatkan di meja judi, membuat ayahnya gelap
mata. Kala itu, Irun yang baru berumur satu tahun ditinggalkan di sebuah pos
kamling desa tetangga. Ibunya meraung, tapi justru digebuki oleh ayahnya. Karena
warga desa itu tak bisa menemukan orang tuanya, akhirnya ia diserahkan ke
sebuah panti asuhan.
Hidup di
panti asuhan tak sepenuhnya membahagiakan. Kasih sayang yang didapat juga
seadanya karena harus berbagi dengan anak-anak lainnya. Namun demikian, Irun
tak pernah mendendam kepada orang tua yang ia tak ingat lagi bagaimana
wajahnya. Disekolahkan oleh panti, ia mensyukurinya. Meski hanya sampai SMP ia
bangga karena bisa bekerja menjadi pembantu di rumah seorang juragan sapi.
Prilakunya baik. Ia disayang oleh juragan dan seluruh anggota keluarganya.
Tapi
kemalangan seolah menjadi garis hidupnya. Kini ia harus meninggalkan rumah
juragannya, dikejar-kejar warga sampai ia harus menerobos rimbun hutan pada
malam yang gelap seperti ini.
Ayu yang
mengambil air wudu di sumur untuk salat malam, mendengar kerisik di belakang
dapur. Penerangan yang seadanya, tak menjangkau pandang di sana. Ayu hanya
menoleh sebentar, tapi nyaris pingsan ketika di belakangnya berdiri sosok yang
tak jelas wajahnya. Ketika akan berteriak, sosok itu sudah membekap mulutnya.
Ia meronta, mencakar, dan menendang apa saja yang ada di sana, berharap
kakeknya mendengar jerit ketakutannya.
“Sttt…sttt..diam…diam….”
Sosok itu berbisik di telinga Ayu.
Ayu terus
meronta, mencakar sekenanya, dan sempat menggigit bahu sosok yang membekapnya.
Kakinya menendang kuat. Bekapan terlepas dan sosok tadi terpental membentur
guci padasan tempat air wudu.
Glomprang!!
Brukk!!
Sepertinya guci pecah
diikuti suara jatuhnya sosok pembekap Ayu.
Ayu tidak
berpikir lagi, langsung masuk ke dapur yang pintunya tak tertutup. Dengan
gemetar berusaha memasukkan kayu pengunci pintu. Sejenak ia lunglai dan
terjerambab di lantai. Tapi segera dapat menguasai diri, memeriksa grendel
jendela dan pintu-pintu. Kemudian masuk kamar Kakek, tapi tak berani
membangunkan ketika mendengar dengkur halus teratur napasnya. Ayu bersimpuh di
bawah tempat tidur Kakek, berdzikir memanjatkan rasa syukur karena terlepas
dari mara bahaya. Ia berharap sosok itu pergi jauh-jauh dari rumahnya setelah
gagal membekap Ayu.
“Nduk…ada
apa, kok, duduk di sini?” Kakek terjaga dan terkejut melihat Ayu bersimpuh di
lantai dekat ia tidur. Terkantuk-kantuk, tapi tangannya terus memainkan biji
tasbih.
“Oh, Simbah…nuwun sewu, jangan ke sumur dulu, ya.”
Ayu membantu Kakek turun dari tempat tidur.
“Lah,
kenapa?”
“Ehm…Ayu
lihat dulu, sudah pergi atau belum orang itu.” Bergegas Ayu mendahului Kakek
menuju sumur.
“Hei…orang
siapa, Nduk? Ada tamukah?” Kakek memberondong Ayu dengan tanya tapi Ayu terlalu
sibuk mematikan dan menyalakan senter. Menguji senter masih baik atau tidak
nyalanya.
Dengan sorot
senter, Ayu memeriksa sumur dan tempat padasan. Langkah Ayu terhenti dan
lututnya gemetar karena ia melihat ada sosok terbaring di lantai sumur di
antara tebaran pecahana guci tanah yang cukup tebal.
“Kakek…jangan
keluar dulu.”
Ayu mencegah Kakek untuk keluar dan menggenggam kayu pengunci
pintu dapur kuat-kuat. Kakek yang masih tidak tahu apa-apa, menurut dan
mengendap di belakang Ayu. Ketika mencoba mengintip dari bahu Ayu, rambut
panjang Ayu terkibas mengenai wajahnya karena tiba-tiba Ayu memutar kepala,
menempelkan jari yamg memegang senter di bibir sebagai isyarat agar Kakek
jangan bersuara.
Satu tangan
memegang senter, lainnya Ayu pakai menyodok kepala sosok yang terkapar itu.
Tidak ada reaksi. Entah mati atau sekadar pingsan. Setelah memastikan sosok itu
tidak bereaksi, Ayu mendekat dan memeriksa, adakah sosok itu membawa senjata.
Ternyata tak ada senjata sama sekali.
Mungkin
sosok itu kelelahan, langsung tidur setelah pingsan tertimpa guci padasan. Ayu
akan memegang kepala sosok itu, tapi langsung menjauh karena mata sosok itu
tiba-tiba terbuka. Belum sadar sepenuhnya, menggeliat, dan berusaha menutup
mata dengan lengannya ketika sorot senter Ayu mengarah kepadanya.
Belum sadar
sepenuhnya, Kakek yang masih kekar, meringkus dan mengikat sosok itu dengan
tambang yang masih terikat pada ember yang biasa dipakai untuk menimba.
Sosok yang
ternyata anak muda berumur dua puluhan, diam saja dalam ringkusan Kakek.
Wajahnya penuh bekas cakaran, barangkali kuku Ayu mengukir wajah tampan pemuda
itu ketika bergumul semalam.
Saat tanah
terang seiring riuhnya kokok ayam jantan, pemuda yang diikat pada batang pohon
sirsak oleh Kakek, terlihat jelas begitu kumuh. Tanpa alas kaki, celana butut yang
tak jelas lagi warnanya robek di sana sini, kaus kuning bergambar sapi dengan
tulisan Juragan Ramli, semuanya berlepot lumpur. Menyempurnakan kemalangan pada
wajah tampannya.
Ketika Ayu
mendekat dan mengamati pemuda itu, Ayu terperanjat.
“Heh,
bukankah itu wajah yang kemarin ada di belakang jiwa pengembara?” gumamnya
sambil terus berpikir apakah ada hubungannya satu sama lain.
Karena tidak
memperlihatkan sikap membahayakan, Kakek membawa pemuda itu ke ruang depan.
Masih dalam keadaan terikat, karena Kakek berjaga-jaga saja. Ayu memberinya teh
hangat dan sarapan seadanya.
“Namaku…maafkan
tindakanku semalam, Mbak,” ujarnya setelah tubuhnya terasa segar. Kakek menatap
Ayu penuh tanya tentang kejadian semalam. Tapi Ayu hanya mengedip dan
menggeleng, seolah mengatakan tak ada apapun yang terjadi.
Ayu kembali
mengingat wajah pemuda itu ketika terlihat oleh mata batinnya. Mengapa auranya
terang? Karena ternyata wajah ini masih hidup. Ayu hanya bisa melihat, tapi tak
bisa berkomunikasi lewat batin dengannya. Lain halnya jika orang itu juga
memiliki kepekaan mata batin, bisa berkomunikasi meski raga berjauhan. Ah,
sudahlah, yang penting sekarang Ayu akan bisa mengorek semua hal yang masih
misteri ini.
“Tidak
apa-apa, kan, kalau Kakek antar nak Irun ke Polsek terdekat?” Kakek meminta
pendapat Irun setelah mendengar pengakuan menyedihkan sampai ia diburu warga
desa.
“Tidak
apa_apa, Kakek…tapi aku tidak mau mati…aku tidak melakukannya.” Air mata
kembali membasahi wajah tampan yang masih berlepot lumpur dan bekas cakaran.
“Aku minta
maaf, Mbak…semalam aku hanya ingin Mbak diam. Aku hanya ingin istirahat dan
makan karena seharian lari dari kejaran warga.” Lirih katanya dan tak berani
menatap Ayu. Ayu tak sepenuhnya memercayai apa yang diceritakan Irun, dikejar
warga karena disangka melakukan perkosaan terhadap anak gadis Juragan Ramli,
juragan tempat ia bekerja.
Di Polsek
Wonosalam, Irun diserahkan kepada petugas yang langsung menjembloskannya ke dalam sel tahanan.
Di sel
sempit itu Irun tetap berurai air mata. Ia merasa Tuhan tidak pernah berlaku
adil kepadanya. Dibuang orang tua, hidup di panti asuhan, disangka memerkosa
anak juragan yang sesungguhnya sangat ia lindungi. Sejak bekerja di rumah
Juragan Ramli, ia sangat menyayangi Anna. Anak SMA yang cantik dan santun meski
ayahnya terlihat seperti Abang Jampang. Galak dan menakutkan.
Hingga suatu
hari, Anna ditemukan warga di kebun jagung belakang pasar sapi saat ia baru
pulang karya wisata. Tubuh telanjangnya ditutup dengan seragam SMA-nya. Bercak
darah di mana-mana. Bahkan di kuku jarinya ada secuil kulit, yang mungkin hasil
cakaran saat ia meronta.
Saat
ditemukan warga, Anna masih hidup dan sempat menyebut satu nama, “Irun…Irun...,”
kemudian terkulai dan tewas.
Sejak itu
warga memburu Irun dan menemukan Irun yang berkeliaran di kaki bukit Wonosalam.
Ketika hasil otopsi
Anna keluar, ada kesamaan golongan darah Irun dengan darah yang ada di kuku Anna.
Irun makin
histeris. Irun mengamuk dan membetur-benturkan kepalanya di dinding sel
tahanan.
“Tidak
adil! Tidak adil! Aku tidak melakukannya…,” teriaknya.
Teriakannya
tidak digubris Polisi jaga, tetapi sebentar kemudian malah digotong ke
Puskesmas karena percobaan bunuh dirinya yang gagal itu.
Di bukit
Wonosalam Ayu bernapas lega. Sosok perempuan muda yang ada di pangkuannya
kemarin adalah Anna. Ayu mendoakan ketenangan jiwa Anna, agar tidak mengembara
lagi karena pemerkosa dan pembunuhnya telah ditemukan.
**
Sementara
itu di desa sebelah, seorang pemuda lebih muda tetapi berperawakan dan berwajah
persis Irun, bermabuk-mabukan dan berjudi bersama lelaki tua yang juga mirip
Irun. Dalam mabuknya, sesekali ia menggaruk luka bekas cakaran yang mulai
bernanah.
**
Catatan:
Nuwun sewu: permisi, maaf
*Tulisan ini diikutsertakan dalam Event Fiksi Horor dan
Misteri Grup Fiksiana Community
#FiksiHorordanMisteri
gak ada horor-horornya sama sekali, ya, Ajo
BalasHapus