Jumat, 09 September 2016

Ada Apa Dengan Anglocita




 Membayangkannya seperti nama seorang gadis cantik berkulit putih, wajah kebule-bulean, tubuh tinggi semampai dengan rambut hitam tergerai di punggung berpinggang ramping.

Jika itu seorang gadis maka nama Anglocita sangatlah pas. Tapi yang nyata adalah sebuah buku kumpulan puisi berjudul Anglocita.

Barangkali terasa asing. Tapi jika dicari maknanya, anglocita bisa diartikan sebagai curahan hati. Dan dalam hal ini, kumpulan puisi yang ditulis oleh Alpaprana memang dimaksudkan sebagai karya yang lahir sebagai curahan hatinya.

Kegelisahan jiwa dalam pengembaraan daya ciptanya, dilukiskan melalui rangkaian kata dengan pendekatan kepada semesta. 

Puisi-puisi lahir dari rahsa Alpaprana dalam bahasa yang barangkali terasa asing untuk pembacanya. 
Yah, ia ingin menjadikan dirinya sebagai penulis yang mempunyai karakter unik, dalam hal ini ia mengajak pembaca untuk rajin membuka kamus Sanskerta.

Bikin pusing?
Tentu tidak. Bukankah Mbah Google selalu siap menolong siapa pun yang sedang dalam kesulitan?

Untuk memudahkan penyampaian maksud anglocitanya, Alpaprana mengelompokkan puisi-puisinya menjadi enam bab. Sebagai contoh, untuk menyampaikan rahsanya tentang sunyi, ia memberi judul babnya dengan Memiliki Kesunyian.

Dalam puisinya ia bertanya, "Untuk apa sunyi?"
Perenungannya kemudian berdenyut seperti detak nadi. Tidak berhenti namun terus bergerak dalam kelembutan.
Hingga tiba pada suatu perhentian, ia berkata, "Pada batas kekosongan nalar, waktu pun lenyap, makna menjawab. Isi jiwa memiliki kesunyian."
Ketika sampai pada relung atma terdalam, ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa 'dalam wujudku, rahsa memiliki kesunyian'

Wow...curahan hati yang cantik.

Alpaprana yang belum genap 30 tahun semakin liar dalam pengembaraan jiwa. Ia menelusuri pergerakan semesta, menghanyutkan diri dalam jiwa semua ciptaan-Nya. Bulan, angin bahkan daun mahoni pun dapat ia maknai perlambangnya.

Pada bab lain yang diberinya judul Syair Berdarah, secara spesifik ia tak memberi judul pada lima puisi yang tergabung di sana. Ia hanya menandai judulnya dengan #1 sampai dengan #5. Entah mengapa dibuat seperti itu. 
Dan mengapa ia menamai puisi-puisi itu dengan Syair Berdarah? Adakah ia menuliskan rahsa tentang peistiwa-peristiwa berdarah?
Gelebah. Kesedihan hati. Mungkinkah itu yang membuatnya menulis Syair Berdarah?

Masih banyak puisi lain yang menarik. Tapi jangan berharap dapat mengerti jalan cerita pada setiap puisinya. Sebab semua juga tahu, puisi itu mutlak hanya penulisnya yang tahu maksudnya secara detail. Pembaca hanya bisa menikmatinya, syukur-syukur bisa memahaminya, meski cuma sedikit. 

Anglocita, tampil begitu menawan, seperti noni-noni di atas. Diterbitkan oleh Penerbit Jentera Pustaka (Mata Pena Group), disunting oleh Nur Ridwan, hadir dalam ketebalan 140 halaman, terbit pada tahun 2016.

Satu hal penting yang membuat buku ini nyaman dibaca adalah kreatifitas layouter Kharisma Amalia menampilkan dua kolom dalam tiap halamannya. Karakter dan ukuran huruf pun pas, ruangan yang tidak berjubel dengan kata seolah memberi ruang untuk lebih bisa menikmati puisi yang terpampang di sana.

Melenakan, sampai tak terasa, 99 puisi dilahap dengan nikmat. 

Mau tahu keseluruhan isi Anglocita?
Miliki bukunya.
Kita bisa berbincang dan menggosipkannya nanti.

Tabik literasi!


Sidoarjo, menjelang Maghrib.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar