Minggu, 06 Mei 2018

KRECO SERAPAH


Masyarakat Jawa Timur tidaklah asing dengan sejenis molusca yang banyak ditemui diperairan dangkal seperti sungai-sungai kecil dan sawah.
Nyaris seperti bekicot tapi lebih bulat dan ukurannya sebesar ibu jari orang dewasa. Cangkangnya hitam berlumut hijau.
Di pasar banyak dijual 'telanjang', artinya sudah dibuang cangkangnya. Hati-hati jangan salah dengan keong emas.

Cara membedakan dengan keong emas, pada perut keong emas ada gumpalan bulat kecil isi perut. Sedang pada kreco gumpalan bulat berisi kotoran kekuningan itu tidak ada.
Mungkin untuk afdolnya, beli saja kreco yang masih bercangkang.

Minggu pagi, keluyuran ke Limgkar Barat Sidoarjo yang sepanjang jalan dari depan Mc D sampai ujung jalan menuju Pasar Larangan dipenuhi pedagang kaki lima.
Pakaian, alat masak, sepatu, buah, pecel, makanan siap saji sampai sempak ada di sana.
Nah, kulirik di antara macetnya kendaraan lewat yang nyaris semuanya melongok-longok dagangan, ada ibu yang sudah sepuh menyandarkan sepeda motor bebek.
Pada boncengannya ditancap sebuah banner kecil bertuliskan KRECO SERAPAH.
Ah, penasaran aku.

Baru sekali ini aku membcanya. Apa sih, serapah itu. Mosok sumpah serapah?
Aku menepi dan langsung memesan satu porsi bungkus.

"Pinten, Bu?"

"Sedasa ewu, Ning!" jawabnya sambil mengambil selembar plastik satu kiloan.

Tangannya mengaduk panci penuh kreco dengan sebuah irus besar.
Kuperhatikan, gerombolan kreco berenang di dalam kuah berselimut putih-putih entah parutan apa.
Dituangkan dua irus kreco kemudian diikat begitu saja tanpa karet.
Dimasukkan dalam kresek dilampiri sebuah tisu kuning dalam plastik yang disemat dua buah tusuk gigi.

"Hmmm, enak nih," gumamku sambil membayangkan rasanya seperti apa.

Sampai kubuka plastiknya di rumah, aku belum tahu rasanya seperti apa.
Yang menarik perhatianku adalah serutan putih dalam kuah tadi. Kujumput dengan jari.

"Kelapa tapi, kok, gak gurih?"

Eh, malah menggigit sepotong rasa jahe dan sepotong lagi rasa lengkuas.
Kuseruput kuahnya. Pedas gurih tapi tidak berminyak seperti kuah lodeh.
Ah, embuhlah bumbu apa, yang penting enak dimakan siang-siang yang panasnya luar biasa.
Dengan tusuk gigi, kucongkel si Kreco agar keluar. Kalau masih bandel, terpaksalah kuisap-isap tanpa ampun. Eh, hati-hati ada lempeng yang menutup permukaannya, jangan sampai tersedak, ya.

Usai menyisakan cangkang dalam kresek, kucari di kumpulan resep Mbak Google.
Ealah, ternyata bumbu serapah itu bumbu asli Indonesia yang bahan bakunya mudah dicari.
Bawang merah, bawang putih, cabe rawit, jahe, lengkuas yang ditumbuk halus kemudian ditumis.
Setelah harum, masukkan santan encer dan tambahkan air sesuai banyaknya kreco.
Kreco yang sudah dimandikan dengan bersih, artinya digosok semua lumut dan tanah yang melekat, kemudian ceples pantatnya dengan pisau dan keluarkan kotorannya.
Lubang di pantat ini selain membersihkan kotoran, juga memudahkan keluarnya kreci saat diisap-isap.
Setelah masak, masukkan kelapa parut (kebetulan yang aku beli kemarin kelapanya rasanya tinggal ampas doang karena tidak gurih sama sekali) lalu biarkan mendidih lagi lalu angkat.
Tentu saja jangan lupa garam dan gula jawanya dengan perbandingan seseimbang mungkin, hingga terasa gurih.

Ya, itu hasil keluyuranku pada Minggu Pagi.
Jangan takut keracunan. Kalau masaknya bener, dijamin tidak akan keracunan. Apalagi kreco ini mengandung protein dan zat-zat lain yang manfaat untuk tubuh.

Mau lebih seru?
Mari terjun ke saaah dan sungai-sungai kecil, berburu kreso.


*Sidoarjo, 7 Mei 2018
#Rumah_Sunduk_Sate


Tidak ada komentar:

Posting Komentar