Selasa, 17 Juli 2018
Pergolakan Batin Sufi
Foto di atas adalah rekayasa terhadap cover buku yang ditulis oleh Dues K. Arbain. Seorang bankir (banker?) yang mencintai dunia tulis menulis dan sastra.
Buku ini entah masuk kategori apa, novel bukan, cerpen bukan, prosa atau puisi juga bukan. Mungkin bisa disebut sebagai kisah perjalanan anak manusia yang mencari jalan sufi sebagaimana tokohnya yang bernama Sufi.
Diterbitkan oleh Penerbit Jentera Pustaka pada cetakan pertama Februari 2017. Editornya almarhum Ardian Syam yang semasa hidupnya begitu dekat dengan dunia tasawuf sehingga sangat tepat membidani lahirnya buku ini yang juga sarat dengan pencarian Sufi pada dunia itu.
Dan buku ini sepertinya meninggalkan kenangan tersendiri, karena pendesain sampulnya, Kharisma Amalia juga mengikuti jejak editornya, sudah berpulang.
Buku ini ditulis dalam gaya bertutur seorang ayah kepada anaknya. Jika kemudian pembaca merasa seperti menjadi seorang anak ketika menelusuri kisahnya, itu tidaklah salah.
Ada kekuatan dari penulis untuk mengajak pembaca menjadi Sufi, terutama pada kisah awal, di mana Sufi sebagai mahasiswa, dongkol dengan keadaan ibunya yang sakit dan selalu minta tolong ini dan itu.
Seperti ketika hendak berangkat kuliah, ibunya qkqn salat Duha, minta dipapah ke kamar mandi, kemudian minta juga dipasangkan mukenahnya. Ia tersulut gundah dan berkata:
"Kenakan sendiri, kenapa, sih, Bu?"
Ibunya terhenyak.
Ekspresi ibunya semakin membuat galau. Ia sadar betapa ia merasa jiwanya redup. Pikirannya mengulas semua kebaikan dan juga penderitaan serta pengabdian seorang ibu membesarkan dirinya.
Bagian cerita ini begitu meguras emosi pembaca. Pembaca merasa Sufi itu adalah mereka yang juga pernah merasakan hal yang sama, jengkel, dongkol kepada ibunya yang dianggapnya mengatur ini dan itu. Perasaan seorang anak usia belasan yang masih galau dan dalam pencarian jati diri.
Dues, mencurahkan isi hati Sufi dalam bahasa yang mampu mengoyak rasa haru dan sesal.
Sufi yang merasa dirinya berada dalam jelaga dosa, tersadar untuk mencari arti kehidupan. Mencari Tuhan sandaran hatinya.
Berangkat dari kotornya jiwa, ia membersihkan dengan laku perbuatan-perbuatan baik.
Ia kemudian menamakan dirinya sebagai Sufi Anak Zaman.
Ia berharap anak-anaknya kelak dapat meneladani perbuatan baik sebagaimana ia sudah lakukan dalam pencarian arti kehidupan itu.
"Beribadah itu tetap harus bertanggung jawab kepada nafkah keluarga. Tidak harus mengasingkan diri." Begitu kurang lebih prinsip yang hendak disampaikan penulis dalam buku ini.
Membaca buku ini memang harus cermat, terutama ketika penulis mulai menyebut istilah Sufi Anak Zaman.
Petuah kepada 'Nak', sebagai Sufi Anak Zaman, akan terasa sedikit membingungkan. Tapi lambat laun akan mengerti, semua anak yang ia sebut dengan Nak, itulah Sufi Anak Zaman.
Kutipan hadits maupun ayat-ayat alquranul Karim membuat pembaca lebih luas wawasannya tentang perbuatan-perbuatan baik yang telah diisyaratkan dalam hadits maupun ayat-ayat itu.
Bacaan ini membuat kaya batin pembacanya. Dan tentunya membuat kaya penulis dan penerbitnya jika best seller. Semoga.
...
Sidoarjo, 18 Juli 2018
#Rumah_Sunduk_Sate
#PWI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
keren bukunya dan keren pula reviewnya...
BalasHapusTerima kasih, Mbak Sri Subekti Astadi...
HapusTerima kasih mak...
BalasHapusSama-sama, Om Du. Jadi sarana pembelajaran juga untukku.
Hapussufi selalu punya celah untuk melalui celah batin. salaman
BalasHapusSalaman.. .
Hapus