Sabtu, 21 Juli 2018

SGPC(Kuburan Dangkal Kenangan)



Gara-gara komen di status seorang kawan yang memosting gambar nasi pecel di atas daun jati, ingatanku tentang SGPC seperti zombi, muncul dari kubur kenangan.
SGPC adalah singkatan dari Sega Pecel, makanan murah meriah anak kampus yang warungnya nyempil di dekat balairung UGM. Yogyakarta? Ya, iyalah. Kan, ndak mungkin Universitas Gajah Mungkur(yang memang tidak ada).

Aku tahu tempat itu karena diajak senior ketika usai berkegiatan di kampus. Kampusku memang bukan UGM, tapi apa salahnya kalau anak UII juga nyasar ke sana untuk menikmati pecel bayam yang kadang bisa juga disiram dengan kuah, jadi sop bayam.
Tapi aku bukan mau cerita tentang warung SGPC yang sangat terkenal itu.
Ini hanyalah awal bagaimana aku bisa menyukai suasana kampus UGM terutama balairungnya yang diam-diam menjadi saksi, aku dan seniorku berdiam diri pada tangga batu ke sembilan entah dia mikir apa, aku mikir apa, terbawa oleh suasana heningnya meski cuaca panas musim kemarau sedang ganas-ganasnya.

Upayanya untuk mengenalkanku pada tempat nyaman untuk merenung sendirian membuatku kecanduan.
Sering aku pergi sendiri ke sana, terutama pada jam-jam salat Asar, panas cenderung sejuk menuju senja.
Suasana sepi membuatku leluasa bersandar di tembok teratas dari tangga yang sembilan itu, melihat sesekali ke ujung sepatu teplek kebanggaan dan tas karung motif goni di pangkuan.
Sementara ketika memandang ke arah Utara, di ujung pagar hutan ada sebuah tanaman besar, pohon bodhi yang dikloning dari pohon bodhi di Candi Borobudur.
Untuk pertama kalinya aku terbawa oleh rasa yang tak bisa kunamai, ketika pandangan tersuruk pada pohon yang ketika itu mendapat sinar dari arah Barat.
Jadi tampak kuning bersinar, dan hatiku berdesir melihat sehelai daun meliuk pelan jatuh dari pucuk pohon. Aku tak berkedip sampai daun itu terdiam di tanah. Subhanallah. Subhanallah. Seperti ada yang tercabut dari hatiku.
Bersyukur aku sendirian. Sebab jika tidak, barangkali akan ada yang melihatku ternganga tanpa sadar(ah, memalukan).

Kukejap mata berkali-kali sambil terus bertanya dan kagum.

"Kok, bisa, ya, hatiku seperti tercabut melihat sehelai daun jatuh ditimpa sinar matahari sore?"

Beberapa saat aku terbengong-bengong di tangga batu itu.
Sadar sudah sore, aku beranjak pulang, mengambil sepeda motor pinjaman(punya mbak Dwi teman kos yang kuliah di UPN kalau ndak salah). Ke Timur menyusuri jalan yang teduh oleh pepohonan. Lewat asrama Colombo, asrama tempat teman SMA Stella Duce dulu, kemudian balik lagi lewat RS Panti Rapih ke Selatan.

Dalam perjalanan itu pikiranku penuh dengan perenungan.
Di seputar kampus jalannya mulus, terus menuju jalan asrama banyak yang berlubang. Mulus lagi, berlubang lagi.
Hatiku membuat kesimpulan, barangkali seperti inilah perjalanan hidup itu.
Kadang melewati jalan mulus(ujian lulus) dan kadang penuh godaan(ujian harus remidi).
Pikirannya belum sampai ke masalah kehidupan yang ruwet. Ya, masih seputar lulus dan tidak lulus ujian mata kuliah, sebab berkaitan dengan bea siswa, yang malu kalau sampai tidak bisa bertanggung jawab dengan otak yang dibiayai dengan belas kasihan ini.
Kubilang belas kasihan karena memang benar aku hampir putus kuliah karena Ayahku nyaris tidak bisa membiayai kuliahku.
Bersaing dengan banyak teman untuk mendapat beasiswa itu. Dan alhamdulillah aku bisa mendapatkannya meski harus kubayar dengan prestasi menjadi mahasiswa teladan tingkat UII dan mahasiswa teladan Kopertis Wilayah V DIY.

Antara sedih dan senang karena masa-masaku di kampus menorehkan banyak kenangan yang berkontribusi besar dalam perjalanan batiniahku.

Dari jalan depan Panti Rapih aku pelan-pelan saja menuju Selatan. Berbagi jalan dengan colcampus yang banyak ngetem di bundaran UGM. Hidup riuh rendah dengan sopir-sopir yang mencari penumpang.
Terus ke Selatan, putar Mandala Krida, lewat rel Lempuyangan, sampailah aku di kosan. Perumahan Pegawai KA Lempuyangan.

Mendung mengikuti sejak aku sampai di stadion Mandala Krida.
Sinar matahari sore yang tadi kutemui di tangga batu balairung tidak kutemukan di sini.
Mendung yang menjadi tamu pada akhir musim kemarau rupanya.

Sampai kosan kepalaku masih penuh dengan pikiran tentang pelajaran hidup yang tadi kutemukan.
Meski mendung, aku naik ke atap lewat pohon belimbing yang tumbuh di samping kamar.
Aku biasa melakukannya sejak awal kos di situ ketika SMA, bahkan sampai sudah kuliah seperti saat itu. Dan ibu kosku cuma bisa mengingatkan dari bawah.

"Peny, ayo, turun. Tidak pantas anak gadis naik ke atap."

Tapi aku ndableg saja.
Ada rasa nyaman naik ke atap. Seperti dekat dengan langit, bergumul dengan angin, dan berasa udara begitu kaya memasuki paru-paruku.
Dan sore itu aku memeluk lutut di atap. Menatap mendung yang bergulung seperti sedang bergulat dengan angin. Makin lama makin gelap dan dingin.
Aku menggigil dan ada rasa takut.

"Ya, Allah, begitu kecil aku di antara pertarungan pesuruh-pesuruh-Mu itu."

Bergegas aku turun, membawa rasa dahsyatnya kekuatan alam yang menggulung hati kecilku.
Dan ketika azan Maghrib berkumandang, kulipat diriku sekecil mungkin dalam sujud. Memohon ampunan karena aku masih suka bolong-bolong salatnya.

Sebuah permohonan sederhana menjadi penutup rasa terima kasih dengan semua pengalaman batin hari itu.

"Teguhkan hatiku untuk bisa salat lima waktu tanpa bolong-bolong, ya, Allah."


...
#Rumah_Sunduk_Sate
22 Juli 2018
*Bangkit dari kubur kenangan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar