Jiwa sejatimu selalu pulang dalam mimpiku, padahal ragamu ada bersamaku.
Masihkah tirai misteri menjadi dinding di antara kita?
Dalam mimpi tawamu masih seperti dulu.
Ketika kita mencuri sepotong surga penuh cinta, lalu kita terkapar di bawah pohon waru tepi pantai Pasir Putih.
Bisikmu berkejaran dengan deru angin laut, mendesis pada cuping telingaku yang hanya dapat menerka sebagian makna.
Hatiku, rasaku, bahasa tubuhku, dapat mengenali jiwa sejatimu, meski dengan mata terpejam.
Kemudian kamu masuk sepenuhnya dalam dunia mimpiku. Tawa kita menyatu.
Bertahun-tahun, sampai datang awan gelap penuh misteri, mencabut paksa kehadiranmu.
Memisahkan jiwa dengan tetap meninggalkan raga di sisiku.
Raga yang tak lagi kukenali.
Raga yang ditinggalkan jiwa sejati.
Aku terjebak pada sepi dan patah hati, yang perlahan tapi pasti kehilangan aroma cinta.
Tetap kubiarkan kelebat raga lalu lalang di hadapan hatiku yang lengang.
Aku hanya menggenggam hatiku sendiri, menunggu jiwa sejati kembali pulang.
Bertahun kemudian, barisan titik air jatuh berderak begitu saja di teratak.
Meluah merambati dinding dan lantai hati.
Mimpi tentangmu lama memudar.
Kutinggalkan semua harap pada hidup selibat.
Tiba-tiba aku terjebak pada bimbang.
Ketika kamu berkeras, agar kusentuh ragamu.
Maka selibat pun kupasrahkan.
Sebab jiwaku memang seharusnya menyatu dengan jiwamu.
....
*Sudah selesai berkahayalnya.
*Banyak diksi berkarat sebab lama tak menulis
*Rumah Sunduk Sate, 13 Pebruari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar