Langit bersih ketika kuintai dari balik tirai.
Bintang tanpa halangan menyapa dari tempat yang paling jauh sampai terdekat.
Cahaya kebiruan mengharu biru, seolah cemburu pada bintang kuning.
Bulan Juli baru saja mengantar purnama pada putaran hari ke empat.
Sinar berkilau membias memenuhi langit
Sedang angin seperti mati memberi ruang bulan menari di hati pecinta keindahannya.
Dekat sekali.
Konon ia berada pada edar terdekat, berbalikan dengan matahari yang berada pada edar paling jauh dari bumi.
Aku tidak tahu mengapa seharian terbawa perasaan. Ada kesedihan diam-diam menarik hasrat untuk menangis. Padahal sudah bertahun-tahun aku tak pernah lagi menangis.
Mungkinkah sebab kepalaku yang kurasa seperti semangka masak hendak meledak?
Sudah kubawa meditasi. Sebentar ringan, lalu memberat lagi.
Mungkinkah sebab aku yang selama ini tenggelam dalam hidup tenang tiba-tiba kembali memikul beban tanggung jawab kewajiban terhadap orang lain?
Gempuran kenyataan hidup yang membuat pikiran bertumpuk tanpa tersadari?
Aku merenung saat menatap rembulan di atas kepalaku.
Ia membuatku sadar.
Rencana-rencana menguasai pikiran. Padahal pada harinya nanti, semuanya akan berjalan alami.
Lantas kenapa aku terburu-buru merealisasikannya dalam kepalaku?
Harusnya aku tak perlu begitu. Cukup sekali merencana, kemudian meletakkan pada rencana-Nya.
Dan semangka itu tak perlu juga menjadi kepalaku.
Ah, purnama...
Terima kasih sudah menginspirasiku untuk kembali waras.
...
Rumah sunduk sate
Juli 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar