Ketika aku kecil, masa-masa yang bisa kuingat adalah masa ketika duduk di bangku Sekolah Dasar. Saat di Taman Kanak Kanak, kalau pun ada yang kuingat, itu karena cerita dari bapak, ibu, atau kakak-kakakku. Tidak betul-betul muncul dari ingatanku sendiri.
Aku anak bungsu dari enam bersaudara. Belum ada program Keluarga Berencana dua anak cukup. Andai ada, bisa dipastikan aku tak akan pernah terlahir.
Jarak kelahiranku dengan kakakku tidaklah jauh. Ketika kakak berumur tujuh bulan, aku mulai menghuni rahim ibu. Jadi bisa dibayangkan, setelah aku lahir, tidak butuh waktu lama aku jadi sebesar kakakku. Nyaris terlihat seperti anak kembar.
Beda kasatnya, kakakku lebih feminin, dan aku cenderung tumbuh dengan tingkah seperti anak laki-laki.
Suatu ketika, pohon pepaya di samping rumah mempersembahkan buah yang kuning meranum. Pohonnya tidak terlalu tinggi. Dengan tiga sampai lima panjatan kaki kecil kami, bisa meraih dan memetiknya.
"Utik atau Yuli yang berani memetik?" Ibu menawarkan kepada kami.
Kakakku tidak menjawab, malah duduk memeluk ibu.
"Aku saja, Bu," kataku membusung dada.
Aku langsung berlari menuju pohon pepaya itu. Penuh percaya diri memanjatnya. Seperti pemanjat kelapa, kupeluk pohon yang tak seberapa besar itu, menguncinya dengan dua telapak kaki.
Kuraih pepaya itu dengan tangan kananku. Tapi tiba-tiba, gedebuk!
Aku melihat ibu dan kakakku tergopoh menghampiriku. Aku celingukan mencari pepaya yang sempat kuraih. Ketika mendongak, pepaya itu seperti menyeringai, ia masih kokoh menggantung di pohonnya.
"Ibuuu...." Mataku mulai berkaca-kaca, tapi aku malu untuk menangis.
"Mananya yang sakit?" Ibu memeriksa tubuhku.
Aku berdiri sambil mengibas rokku yang berdebu.
"Ndak.... Ndak ada yang sakit."
"Lha, kok, mau nangis? Apanya yang sakit?" Ibu mengejar terus dengan pertanyaan.
Kakakku rupanya masuk ke rumah ketika ibu memeriksa tubuhku. Diam-diam dia memberiku segelas air. Meski sering bertengkar, rupanya dia sayang juga padaku.
Aku tidak menjawab pertanyaan ibu, hatikulah yang menjawab.
"Aku malu karena kehilangan keseimbangan ketika meraih pepaya tadi. Aku, kan, jagoan."
Inseden itu pun berlalu.
Biar pun aku bilang tidak apa-apa, sesungguhnya lengan sebelah kiri mulai nyut-nyutan.
Ibu tetaplah ibu. Rupanya diam-diam ibu mengetahuinya. Saat aku tidur, lenganku dikompresnya dengan air hangat. Ah, ibu.
Sedang kakakku, meski tak banyak bicara, diam-diam ia menatapku ketika aku pura-pura tidur dan mengintipnya bersijingkat lalu tidur di sampingku.
Kakakku benar-benar kebalikan dariku tingkahnya. Ia cenderung pemalu, penakut, dan selalu mengandalkanku kalau disuruh ibu beli ini itu. Jalannya bareng, tapi aku yang disuruh bilang ke penjualnya.
Pernah suatu ketika, aku kerjai dia. Aku suruh dia yang bilang ke penjual ketika diminta ibu beli bawang. Di depan toko dia mogok. Aku juga mogok. Air mata mulai berlinang. Dia nggondok pol.
Sampai keesokan harinya dia masih marah. Saat berangkat sekolah, kami biasa jalan bersama. Aku berjalan cepat.
"Ut, tunggu aku," pintanya. Dia takut jalan sendiri. Aku pun luluh. Menunggunya dan kembali berjalan beriringan.
Berpuluh tahun kemudian, kakakku tumbuh menjadi pejuang kanker. Tidak putus asa, penuh keberanian, ia berupaya untuk sembuh dari kanker yang kemudian hari terdeteksi sebagai kanker kelenjar getah bening pada stadium tinggi.
"Yul, tunggu aku. Aku jangan ditinggal." Aku meminta ketika ia berjalan mengejar hidupnya.
Ia tak menoleh lagi. Pergi dalam cahaya.
*nggondok= jengkel
Keren mak
BalasHapusTerima kasih, Om Du.
BalasHapusMana tulisan tentang masa kecilnya?