Selasa, 06 Agustus 2019

Dahulu Kala (Sekadar Mengenang)

                    Sumber: google

Masa-masa masih tinggal di Jogja, sesekali Bapak datang menengok anak bungsu yang jarang pulang ke Bondowoso.
Bhaaaa...
Selain aktif meninba ilmu di kampus, rupanya si Bungsu juga menimba ilmu kehidupan, menjalin komitmen rasa atas dalih cinta. Maklumlah, kan, masih remaja, muda, banyak bergaul dengan sesama yang juga muda dan 'petakilan'. Singkat kata punya pacar, gitu...
Boleh pacaran?
Ya, bolehlah. Daripada dilarang lalu backstreet, kan, malah gak bagus jadinya.
Alhasil kalau Bapak datang, kami biasa pergi ramai-ramai.

Malam satu Suro, niat ingsun, ke Parangtritis.
Sepeda motoran. Bapakku boncengan dengan masku. Aku bonceng pacarku.

Ba'da Isya' sudah grendeng-grendeng beriringan. Sampai di sana, pantai penuh orang-orang yang tak dapat kulihat dengan jelas wajahnya.
Ada yang hanya menyusuri pantai, ada juga yang membawa 'uba rampe' untuk ritual. Bakar-bakar dupa dan kemenyan juga ada.
Menurut orang aliran Kejawen, ini adalah saat yang tepat untuk unjuk kekuatan yang dilontar ke Laut Selatan. Ada yang memakai sarana bakar kelapa muda dan bunga-bunga, duduk bersila bersemedi menghadap laut.
Ada juga yang melakukan gerakan-gerakan silat yang berakhir dengan gerakan melontar ke arah laut.

Untuk yang bisa melihat dengan indra ke enamnya, kekuatan-kekuatan itu nampak seperti seleret sinar. Jadi seperti nyala kembang api saling silang. Kadang ada yang saling bentur. Pertarungan kekuatan terjadi tanpa tahu di mana tepatnya si empunya kekuatan. Dan si kalah akan dengan sportif mengakui kekalahannya, berlatih lebih keras lagi. (Itu sih, kata Bapak. Kalau aku, mah, mana bisa lihat yang tak kasat seperti itu. Bisanya cuma memandang wajah pacarku yang cakep seperti Rano Karno  😁).

Aku, Bapak, mas dan pacarku memandang kegelapan laut. Hanya terdengar debur ombak serta aroma asin terbawa angin  terhirup cukup memerihkan hidung..
Sesekali dapat melihat, lata air laut menuju kaki kami.
Beberapa kali tak sampai menyentuh kami.
Tiba-tiba datang ombak besar. Kami tak sempat menepi. Aku, mas dan pacarku basah kuyup sampai paha.
Tapi ajaibnya, Bapak tak setetes pun tersentuh air laut yang datang menerpa, padahal posisi kami bersisihan.
Aku meraba-raba celana dan sepatu Bapak. Bapakku cuma senyum-senyum saja.

"Bapak, kok bisa?" tanyaku masih tak percaya.

"Lha, kamu tahu sendiri, Bapak juga diterpa ombak, to?" kilah Bapak membingungkanku.

"Iya...tapi Bapak, kok tidak basah?" Aku masih mengejar jawab penuh rasa penasaran.

Mas dan pacarku juga menanyakan hal yang sama, sambil melihat celana dan sepatu Bapak yang tetap kering.

Akhirnya, entah bergurau entah sungguhan, Bapak berkata, "Bapak tadi dibopong Kanjeng Ratu Kidul. Makanya tidak basah sama sekali."

Haaahhh??? Kami bertiga serempak ternganga-nganga.

"Masak iya, sih?"

Aku menggandeng lengan Bapak erat-erat. Takut Bapak dibawa Kanjeng Ratu Kidul ke keratonnya.


  • *Cuthel. Bahasa kerennya, end.


Tulisan yang kubuat di:

*Sidoarjo, 13 Oktober 2015. Malam 1 Suro. Malam 1 Muharam 1437 H

*Kenangan bersama Bapak, di masa mudaku.

Bukan maksud mengajak syirik atau pun musyrik. Hanya menceritakan apa yang terjadi kala itu.

Seperti kata banyak orang, " Suka kau bacalah, tak suka lewatilah. Tak perlu kau telan mentah-mentah. Jadikan sekadar penanda bahwa cerita semacam ini akan terus ada, bersama laju kehidupan."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar